Mengajar, Sebuah Pekerjaan Mulia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 29 Maret 2012


Cicero (dalam Suyanto: 2006) mengatakan, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?” Pertanyaan tersebut, menurut penulis, bukan mengajak kita berpikir untuk menjawabnya, tetapi justru menegaskan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai. Dalam konteks lebih luas, tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik.

Dengan sebuah pengajaran, generasi bangsa akan memiliki kecakapan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Ilmu, wawasan, dan pengetahuan didapatkan generasi bangsa melalui pengajaran. Secara formal, pengajaran diinstitusionalisasikan ke dalam sebuah lembaga bernama sekolah. Adapun pekerjaan mengajar dilakukan oleh guru. Di tengah berbagai kritik dan koreksi, sesungguhnya guru dan lembaga sekolah dibutuhkan dalam menempa dan mendidik generasi bangsa. Apa yang telah diberikan guru untuk generasi bangsa layaklah dihargai. Seiring gerak dan kemajuan zaman, guru harus terus belajar mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya. Sampai kapan pun, negeri ini tetap membutuhkan kehadiran guru yang profesional dan memiliki dedikasi.

Di sisi lain, pemerataan guru di negeri ini ternyata masih menimbulkan persoalan pelik. Ada daerah yang kelebihan guru, ada pula yang justru kekurangan guru. Di wilayah DIY-Jawa Tengah, persoalan ini tak dimungkiri masih kentara. Bahkan, untuk jenjang pendidikan dasar, persoalan juga terkait dengan jumlah guru kelas dan guru bidang studi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis di Indonesia. Di daerah yang terpencil, terdepan, dan tertinggal, guru yang memenuhi kualifikasi masih kurang.

Dalam hal ini, kita pastinya sepakat bahwa pengajaran kepada generasi bangsa tak mungkin diabaikan. Pendidikan diperlukan bagi seluruh generasi bangsa untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan di masa mendatang. Kita menginginkan agar seluruh generasi bangsa memiliki kecakapan, kecerdasan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang memadai untuk hari depannya. Untuk mengatasi kebutuhan guru, tanggung jawab memang berada di pundak negara. Sesuai amanat konstitusi, negara mengemban kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya ditempuh dengan menyediakan guru yang berkualitas.

Di tengah kekurangan, pemerintah sebagai representasi negara tentu telah berusaha mengatasi persoalan tersebut.
Salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI yang tentunya perlu diapresiasi adalah menerjunkan sarjana pendidikan yang belum menjadi guru untuk bertugas di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di Indonesia selama setahun. Di daerah tersebut juga ada program kuliah kerja nyata bagi mahasiswa. Dengan tajuk Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Kemendikbud juga berusaha memajukan guru-guru di daerah 3T.

Kebutuhan guru tentu tak hanya di bangku pendidikan formal, tetapi juga di ranah nonformal. Coba kita lihat, di negeri ini penduduk yang buta aksara masih menjadi persoalan pelik. Pendidikan berbasis masyarakat juga membutuhkan kehadiran guru. Bahkan, diperlukan pula guru yang memiliki kompetensi membina dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Tentu saja, pengajaran dan pendidikan harus diberikan kepada seluruh generasi bangsa tanpa terkecuali.

Untuk kebangunan dan kemajuan negeri ini, panggilan menjadi guru terus menggema setiap saat. Jika Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom Amerika Serikat bertanya berapa jumlah guru yang masih hidup, Indonesia pun bertanya siapakah yang bersedia untuk menjadi guru? Guru yang tulus mengabdi dan memberikan ilmu yang bermanfaat akan berpahala meskipun telah tiada. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta

0 komentar: