Yogyakarta, Kota Pendidikan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Selasa 3 Februari 2009
SEKIAN lama kota Yogyakarta menyandang predikat sebagai kota pendidikan. Adanya predikat itu tentu memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Pertanyaan pun akhirnya mencuat, atas dasar apa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan? Karakter seperti apakah yang diperlihatkan kota Yogyakarta sehingga menyandang predikat tersebut? Sebagian kalangan boleh jadi mencari jawab atas pertanyaan itu.
Untuk mencari jawab atas pertanyaan itu salah satunya bisa lakukan dengan menyaksikan wajah kota . Apa yang kita saksikan? Ketika melintasi jalan-jalan di kota ini selalu jumpai anak-anak mengais nafkah. Setiap kali mata memandang, hati kita mungkin menaruh iba menyaksikan mereka ‘hidup belum saatnya’. Pemandangan anak-anak di jalan-jalan kota harus diakui memang memilukan, tapi itulah fakta yang kerap kali kita saksikan. Di kota pendidikan itu, anak-anak usia sekolah ternyata belum sepenuhnya menempuh bangku pendidikan. Di jalan-jalan kota, kita juga menyaksikan iklan-iklan luar ruang yang harus diakui jauh dari unsur mencerahkan. Berjejal iklan produk rokok menyingkirkan pesan-pesan moral di ruang publik. Dapat dikatakan, unsur yang bersifat mendidik dari iklan luar ruang di kota itu sangatlah minim.

Untuk mencari jawab atas pertanyaan di muka, kita juga bisa melakukan observasi di sekolah-sekolah. Diutarakan guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah, perilaku kurang santun ternyata banyak dilakukan siswa. Perilaku coret-mencoret meja dan kursi tak lagi sungkan dilakukan sebagian dari mereka, lebih-lebih perilaku itu dilakukan di kamar mandi atau pun toilet.
Bahkan, di luar gedung sekolah, kita mungkin sempat menyaksikan ‘perilaku tak biasa’ yang dilakukan sebagian siswa. Malah di warung-warung di dekat sekolah yang tak terpantau gurunya, anak-anak sekolah tak segan menyulut rokok. Tak cuma itu, ada juga di antara mereka berpasangan dengan lawan jenis dan tak merasa malu menunjukkan hubungan intimnya. Perilaku yang mereka praktikkan mungkin bukan hal yang aneh, tapi perilaku itu menimbulkan tanda tanya jika dilakukan oleh anak-anak sekolah seusia SMP. Boleh jadi ada juga yang mengatakan bahwa perilaku mereka adalah wajar dengan dalih modernitas. Namun, apakah tolok ukur dari modernitas? Anak-anak usia sekolah sudah berani berciuman dan berpelukan di muka umum. Tubuh tidak lagi disakralkan, tetapi diumbar begitu saja. Jika dahulu bagian tubuh perempuan disentuh laki-laki terasa jijik, namun sekarang diremas-remas menjadi biasa. Ini kenyataan yang tak bisa dimungkiri. Anak-anak usia sekolah berbeda jenis kelamin saling berdekapan erat layaknya suami-istri. Bukan maksud menggeneralisir, tetapi kenyataan seperti itu terjadi di kota pendidikan Yogyakarta.
Di kalangan mahasiswa ternyata tak jauh berbeda. Kos-kos mahasiswa sering kali digunakan untuk menginap dan tidur bersama antarlawan jenis. Lagi-lagi bukan untuk menggenelisir, tetapi setidaknya membuka mata kita terhadap kenyataan yang mengkhawatirkan. Masih banyak kos-kos mahasiswa di kota Yogyakarta tidak ada induk semang atau pemilik kos yang tinggal bersama dengan anak-anak kos. Lalu, bagaimana dengan tawuran antarpelajar?
Ada cerita dari aparat polisi, tawuran dan adu kekuatan biasanya dilakukan sebagian siswa antarsekolah di tempat-tempat yang sepi dan lapang di malam hari. Biasanya warga sekitar yang tempatnya dijadikan ajang tawuran langsung melapor ke kantor polisi terdekat. Laporan warga tidak hanya terkait dengan tawuran, pesta minuman keras aliasa miras yang dilakukan beberapa siswa sekolah di tempat-tempat sepi kadang tak luput dari perhatian warga. Ya, ada pesta miras yang dilakukan anak-anak sekolah di kota ini. Penyalahgunaan narkoba? Tidak bisa dimungkiri jika pelajar dan mahasiswa di kota Yogyakarta ada juga yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Berbagai pihak pun prihatin dengan fakta yang memperlihatkan maraknya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di kota pendidikan Yogyakarta.
Dari apa yang dipaparkan di atas, kita mungkin belum menemukan jawab atas pertanyaan mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Dari hasil ujian nasionalkah? Dari data yang ada, kota ini tidak masuk dalam urutan tiga besar peraih hasil terbaik dalam ujian nasional. Kita mungkin malah terhenyak membaca berita di koran ini beberapa waktu silam. Kasus korupsi dana sekolah menimbulkan keprihatinan karena pernah terjadi di kota Yogyakarta yang mendapat predikat sebagai kota pendidikan.
Sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas tidaklah sulit. Berdialog dengan beberapa kalangan, ada jawaban mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Jawabnya sederhana, karena di kota ini banyak pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Kota Yogyakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi warga luar kota atau luar daerah untuk mencari sekolah dan perguruan tinggi. Ada lagi jawaban selain itu, yakni banyak tokoh-tokoh nasional dulunya pernah menempuh pendidikan di kota ini. Atas dasar itulah kota Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota pendidikan.
Namun demikian, jawaban tersebut sepertinya belum memuaskan. Terkait dengan upaya mempertahankan kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, banyak berita yang menyebutkan bahwa pihak perguruan tinggi di kota ini tak henti-hentinya mempromosikan institusinya. Bencana gempa bumi 2006 silam, misalnya, memunculkan tantangan bagi dunia pendidikan di kota ini untuk mencitrakan diri kembali. Maraknya seks bebas dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar-mahasiswa tak luput menjadi pemantik untuk mencitrakan Yogyakarta yang tetap save dan kondusif untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Lalu, apakah sekadar berjubelnya pelajar dan mahasiswa yang belajar di kota Yogyakarta yang mendasari kota tersbut sebagai kota pendidikan? Masih tepatkah memaknai kota pendidikan sekadar dari banyaknya gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi?
Kita mungkin masih mencoba mencari jawab, masih layakkah Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan? Jika tak ada yang memberi jawab, kita cukup bertanya pada bendera parpol yang berkibar di sepanjang jalan.. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis adalah peneliti muda pada FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=63803

0 komentar: