“Mengkursikan” Politisi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
DImuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis, 5 Februari 2009

Di tengah bising bunyi knalpot kendaraan, puluhan bendera partai politik berkibar. Melambai menjadi pemandangan siapa pun yang mengitari jalanan. Beragam warna bendera parpol tampak begitu indah dengan lambang-lambang yang indah pula. Lambang yang tentunya memiliki makna filosofis. Apapun makna filosofis dari lambang di bendera yang berkibar itu, segenap parpol umumnya bertekad akan memperjuangkan kepentingan kawula alit. Selain itu, iklan politik juga semarak di setiap sudut jalan di kota ini. Para calon anggota legislatif alias caleg telah mempromosikan dirinya agar kelak di pilih masyarakat.
Tak bisa dimungkiri jika setiap parpol mengklaim calegnya yang terbaik di antara yang terbaik. Politisi-politisi yang bakal dikursikan di gedung dewan adalah terbaik. Tentu saja terbaik menurut kacamata parpol itu. Di kaca mata lain, politisi hitam ternyata masih bertebaran. Parpol pun tak sudi mengganti kacamata dan tetap mengatakan calegnya tak hitam. Rayuan-rayuan parpol dan juga para caleg memang memikat. Siapa pun bisa bertekuk lutut meskipun kerap kali hanya rayuan gombal. Betapa pintarnya parpol dan para caleg merias wajah untuk sekadar mencuri hati masyarakat. Seketika masyarakat terpikat, parpol dan caleg masih menahan untuk menampakkan ceria. Menunda keceriaan atas kian tegapnya perolehan kursi di legilatif dan membiarkan masyarakat terhanyut dalam buaian tentang impian negeri di awan. Menebar pesona dengan manis mulut dan pentas tokoh, parpol dan caleg merangkul masyarakat agar memasuki sangkarnya.

Para caleg memang akan terus mencoba menduduki kursi di rumah DPR/D. Tak ada kursi lain yang serupa kursi itu sehingga setiap parpol tak lelah merebutnya. Kursi di DPR/D tetap tak ada bandingannya, apalagi kursi RI-1. Parpol yang sudah memiliki kursi di DPR/D tetap perlu mati-matian mempertahankannya. Betapa mahalnya kursi itu ketika memiliki. Kursi yang menyediakan gaji berlimpah, fasilitas dan tunjangan beraneka rupa. Menduduki kursi itu bisa berdasi bangga saat bersafari, menyusuri negeri manca, dan meraup rupiah dari rapat berkali-kali. Kursi yang kuasa mengangkat status sosial di mata sekitar. Naasnya, menjadi anggota dewan ternyata tak sekira mata memandang. Politisi yang sedari cilik pontang-panting memegahkan bangunan parpolnya, nyatanya tak sedikit yang ditepikan. Karena kursi itu mahal, calegnya harus mahal pula. Caleg yang berkelas murah tak menjamin memperoleh kursi yang mahal. Di sebagian parpol, drama pun diputar dengan akhir cerita tercantumnya nama politisi yang hanya mengandalkan kantong tebal. Di sudut cerita lain, aktor layar kaca pun dipinang parpol untuk turut serta memperebutkan kursi yang mahal. Sebuah pembacaan partai yang tidak meleset karena masyarakat saat ini cenderung memprimadonakan aktor layar kaca. Namun demikian, tanpa disadari parpol jika itu justru menampakkan murahnya politisi parpol bersangkutan. Politisi parpol yang murah karena selama ini tak cakap mengelola rahim parpol untuk melahirkan sosok yang mumpuni.
Pastinya, perjalanan masih terus berlanjut. Derap parpol dan para caleg belum berhenti karena titik pemberhentian itu pada perhelatan Pemilu nanti. Parpol akan terus mengibarkan bendera yang ke depan tentunya lebih hingar-bingar lagi. Begitu juga para caleg akan mempromosikan dirinya lewat iklan-iklan politik yang ditebar. Kampanye akan terus menggeliat ke depan. Di ruang-ruang manapun akan membahana lidah tak bertulang parpol dan para caleg untuk membujukrayu masyarakat. Janji-janji disuarakan untuk masyarakat mendengar. Tak ada waktu lagi berleha-leha bagi parpol dan para caleg untuk selekas mungkin memikat hati masyarakat. Parpol dan para caleg akan mengeluarkan amunisi program kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat yang masih penuh kepiluan.
Pilihan akhirnya di tangan masyarakat. Meskipun tak mau menggerakkan tangan untuk memilih, di antara barisan caleg itu tetap saja menuju gedung dewan. Memilih atau tidak memilih, masyarakat tetap mengkursikan politisi. Tentu di barisan caleg itu tidak seluruhnya hitam. Ada yang putih benderang untuk menuntaskan perubahan. Untuk itu, debu yang menempel di kaca mata selaiknya dibersihkan agar dapat melihat seterang-terangnya barisan caleg yang beredar. Dengan kaca mata itu, masyarakat perlu menilai seberapa putihnya caleg yang dijajakan parpol di etalase Pemilu 2009. Tak usah terlalu cepat jatuh hati terhadap setiap bujuk rayu parpol dan juga caleg karena boleh jadi akan membuat sakit hati di kemudian hari. Masyarakat dengan kacamata yang bersih akan melihat senyata-nyata caleg terbaik. Kacamata yang bersih semoga mampu mengkursikan politisi yang nyata-nyata putih. Jika ternyata caleg yang terpilih tidak putih, kaca mata masyarakat yang mungkin pecah satu sehingga tak mampu melihat dengan jernih. Atau boleh jadi kacamata parpol yang pecah satu karena terlanjur mengklaim calegnya yang terbaik. Jika dengan kacamata yang utuh dan bersih masih sulit mendapatkan caleg terbaik, kita hanya mengelus dada, beristighfar, mendendangkan lagu kesedihan, dan barkata: tanyakan saja pada bendera parpol yang berkibar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Staf Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

0 komentar: