Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 1 Mei 2009
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan Hardiknas bisa menjadi titik refleksi terkait pendidikan di negeri ini. Siapa pun tentunya tidak membantah jika aspek pendidikan memainkan peranan signifikan dalam upaya mendidik generasi bangsa. Bahkan, kita bisa mengatakan bahwa wajah pendidikan saat ini adalah wajah bangsa di masa mendatang. Baik buruknya peradaban di negeri ini amat ditentukan oleh aspek pendidikan yang diberikan kepada anak-anak bangsa sebagai cikal bakal generasi di masa mendatang. Maka, pendidikan jelas merupakan faktor penting mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Pendidikan diselenggarakan agar anak-anak bangsa mampu beradaptasi dan berkontribusi positif membangun peradaban di masa depan.
Berbicara aspek pendidikan tentu ada beragam hal yang bisa dikemukakan. Salah satu dari beragam hal itu adalah sosok guru. Meskipun guru bukan satu-satunya komponen pendidikan, namun posisi guru dalam proses pendidikan tetaplah penting. Mantan Mendiknas Fuad Hasan pernah mengatakan bahwa sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas, maka semua akan sia-sia. Sebaliknya, kurikulum yang kurang baik, kekurangannya akan dapat ditopang oleh guru yang berkualitas.
Pentingnya kehadiran guru bagi maju mundurnya peradaban bangsa memang disadari segenap pihak. Di pendidikan formal persekolahan, guru adalah ”orang tua” bagi anak-anak didiknya. Guru memiliki tanggung jawab besar menyiapkan anak-anak didiknya agar kelak menjadi manusia yang positif bagi kehidupan. Guru berperan membimbing anak-anak didiknya menjadi manusia dewasa yang bernurani, cendekia sekaligus memiliki kemandirian. Betapa pentingnya guru sehingga dua badan PBB pun merumuskan rekomendasi pada 5 Oktober 1966 bertajuk Recommendation Concerning The Status of Teachers. Rekomendasi berisi 13 bab dan 146 pasal itu dikeluarkan UNESCO dan ILO untuk memperhatikan lebih seksama posisi dan peran guru sebagai pendidik sekaligus pekerja.
Pastinya, guru sebagai aktor pendidikan dituntut profesional dan memiliki kompetensi memadai. Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban profesional. Dijelaskan dalam Bab IV, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8). Adapun kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10).
Dengan demikian, kedudukan guru bukanlah main-main. Artinya, guru tidak sekadar mengajar dan mengevaluasi belajar anak-anak didiknya, tetapi juga membimbing, mengarahkan, dan mendidik. Guru berperan mendidik anak-anak didik agar berkembang potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang kontributif serta bertanggung jawab. Meskipun tugas yang diemban guru tidaklah ringan, tapi merupakan tugas yang mulia.
Dengan menyaksikan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, guru semestinya terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan wajah negeri. Menyelamatkan Indonesia bukan terletak di pundak parpol atau presiden sekali pun, tapi di pundak guru yang mendidik anak-anak bangsa. Justru dari tangan-tangan gurulah akan terlahir anak-anak bangsa yang kelak akan mampu menampilkan Indonesia lebih bermartabat. Di tengah krisis keteladanan, guru dituntut menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Pada saat ini guru harus mampu membangun paradigma bahwa baik buruknya wajah Indonesia mendatang ditentukan oleh hasil didikan guru kepada anak-anak didiknya.
Maka, guru harus senantiasa menyadari perannya untuk mendidik generasi bangsa. Perubahan teks lagu Hymne Guru karya Sartono yang awalnya ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menjadi ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” pada peringatan Hari Guru tahun 2008 lalu perlu dimaknai secara substantif oleh guru. Guru tentu saja dapat menjadi pahlawan yang perlu juga diberi tanda jasa. Guru juga manusia yang membutuhkan tanda jasa berupa immateri maupun materi. Ungkapan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” perlahan tapi pasti tidak akan melekat lagi pada sosok guru. Namun demikian, guru tidak serta-merta menuntut tanda jasa tanpa pengabdian. Justru pengabdian yang menjadi prioriotas utama agar sebutan pahlawan tak sekadar kata. Adapun ungkapan ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” selayaknya menjadi cermin guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia mengandung arti: (1) tajam pikiran, lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu), cerdas, pandai; (2) cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau pandai menggunakan kesempatan; (3) terpelajar; cerdik pandai, cerdik cendekia. Insan yang cendekia adalah manusia yang terpanggil melakukan perbaikan terhadap kehidupan sosial. Tidak hanya berwacana saja, insan cendekia adalah manusia yang dapat menawarkan strategi jitu untuk memecahkan permasalahan yang berkembang di masyarakat secara solutif.
Pada dasarnya, membangun insan cendekia saja tidaklah cukup. Guru harus melampaui ungkapan itu dengan membangun anak-anak bangsa yang tidak hanya cendekia, tapi juga memiliki nurani dan kesadaran ber-Tuhan. Tentu saja, guru harus menjadi sosok yang cendekia, bernurani, beriman, dan bertakwa terlebih dahulu. Menjadi tantangan guru untuk melahirkan generasi Indonesia masa depan yang mampu berpikir dan bertindak besar membangun kemaslahatan kehidupan. Bersamaan dengan peringatan Hardiknas, kita haturkan selamat berjuang teruntuk guru di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis adalah Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan Hardiknas bisa menjadi titik refleksi terkait pendidikan di negeri ini. Siapa pun tentunya tidak membantah jika aspek pendidikan memainkan peranan signifikan dalam upaya mendidik generasi bangsa. Bahkan, kita bisa mengatakan bahwa wajah pendidikan saat ini adalah wajah bangsa di masa mendatang. Baik buruknya peradaban di negeri ini amat ditentukan oleh aspek pendidikan yang diberikan kepada anak-anak bangsa sebagai cikal bakal generasi di masa mendatang. Maka, pendidikan jelas merupakan faktor penting mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Pendidikan diselenggarakan agar anak-anak bangsa mampu beradaptasi dan berkontribusi positif membangun peradaban di masa depan.
Berbicara aspek pendidikan tentu ada beragam hal yang bisa dikemukakan. Salah satu dari beragam hal itu adalah sosok guru. Meskipun guru bukan satu-satunya komponen pendidikan, namun posisi guru dalam proses pendidikan tetaplah penting. Mantan Mendiknas Fuad Hasan pernah mengatakan bahwa sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas, maka semua akan sia-sia. Sebaliknya, kurikulum yang kurang baik, kekurangannya akan dapat ditopang oleh guru yang berkualitas.
Pentingnya kehadiran guru bagi maju mundurnya peradaban bangsa memang disadari segenap pihak. Di pendidikan formal persekolahan, guru adalah ”orang tua” bagi anak-anak didiknya. Guru memiliki tanggung jawab besar menyiapkan anak-anak didiknya agar kelak menjadi manusia yang positif bagi kehidupan. Guru berperan membimbing anak-anak didiknya menjadi manusia dewasa yang bernurani, cendekia sekaligus memiliki kemandirian. Betapa pentingnya guru sehingga dua badan PBB pun merumuskan rekomendasi pada 5 Oktober 1966 bertajuk Recommendation Concerning The Status of Teachers. Rekomendasi berisi 13 bab dan 146 pasal itu dikeluarkan UNESCO dan ILO untuk memperhatikan lebih seksama posisi dan peran guru sebagai pendidik sekaligus pekerja.
Pastinya, guru sebagai aktor pendidikan dituntut profesional dan memiliki kompetensi memadai. Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban profesional. Dijelaskan dalam Bab IV, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8). Adapun kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10).
Dengan demikian, kedudukan guru bukanlah main-main. Artinya, guru tidak sekadar mengajar dan mengevaluasi belajar anak-anak didiknya, tetapi juga membimbing, mengarahkan, dan mendidik. Guru berperan mendidik anak-anak didik agar berkembang potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang kontributif serta bertanggung jawab. Meskipun tugas yang diemban guru tidaklah ringan, tapi merupakan tugas yang mulia.
Dengan menyaksikan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, guru semestinya terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan wajah negeri. Menyelamatkan Indonesia bukan terletak di pundak parpol atau presiden sekali pun, tapi di pundak guru yang mendidik anak-anak bangsa. Justru dari tangan-tangan gurulah akan terlahir anak-anak bangsa yang kelak akan mampu menampilkan Indonesia lebih bermartabat. Di tengah krisis keteladanan, guru dituntut menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Pada saat ini guru harus mampu membangun paradigma bahwa baik buruknya wajah Indonesia mendatang ditentukan oleh hasil didikan guru kepada anak-anak didiknya.
Maka, guru harus senantiasa menyadari perannya untuk mendidik generasi bangsa. Perubahan teks lagu Hymne Guru karya Sartono yang awalnya ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menjadi ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” pada peringatan Hari Guru tahun 2008 lalu perlu dimaknai secara substantif oleh guru. Guru tentu saja dapat menjadi pahlawan yang perlu juga diberi tanda jasa. Guru juga manusia yang membutuhkan tanda jasa berupa immateri maupun materi. Ungkapan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” perlahan tapi pasti tidak akan melekat lagi pada sosok guru. Namun demikian, guru tidak serta-merta menuntut tanda jasa tanpa pengabdian. Justru pengabdian yang menjadi prioriotas utama agar sebutan pahlawan tak sekadar kata. Adapun ungkapan ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” selayaknya menjadi cermin guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia mengandung arti: (1) tajam pikiran, lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu), cerdas, pandai; (2) cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau pandai menggunakan kesempatan; (3) terpelajar; cerdik pandai, cerdik cendekia. Insan yang cendekia adalah manusia yang terpanggil melakukan perbaikan terhadap kehidupan sosial. Tidak hanya berwacana saja, insan cendekia adalah manusia yang dapat menawarkan strategi jitu untuk memecahkan permasalahan yang berkembang di masyarakat secara solutif.
Pada dasarnya, membangun insan cendekia saja tidaklah cukup. Guru harus melampaui ungkapan itu dengan membangun anak-anak bangsa yang tidak hanya cendekia, tapi juga memiliki nurani dan kesadaran ber-Tuhan. Tentu saja, guru harus menjadi sosok yang cendekia, bernurani, beriman, dan bertakwa terlebih dahulu. Menjadi tantangan guru untuk melahirkan generasi Indonesia masa depan yang mampu berpikir dan bertindak besar membangun kemaslahatan kehidupan. Bersamaan dengan peringatan Hardiknas, kita haturkan selamat berjuang teruntuk guru di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis adalah Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
1 komentar:
saya mendukung tuliasan anda.. sekedar kritik untuk guru dan dosen..
Semua guru/dosen bisa memberi nilai 10/A untuk anak didiknya tetapi tidak semua guru/dosen bisa membuat anak didiknya mendapatkan nilai 10/A
Posting Komentar