Opini Suara Karya, Rabu 29 April 2009
Pekan ini Ujian Nasional (UN) dihadapi siswa-siswa SMP/MTs (27-30 April 2009). UN sudah dilaksanakan untuk siswa-siswa SMA/MAN/SMK pada 20-24 April 2009 lalu. Adapun untuk tingkat SD yang bertajuk UASBN akan diselenggarakan 11-13 Mei 2009. Berbicara mengenai UN tampaknya tak akan pernah membosankan. Ditengah polemik UN yang pasang surut menerpa, pihak sekolah tetap harus menyelenggarakan perhelatan UN.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak sekolah dalam persiapan menghadapi UN menyelenggarakan program pengayaan melalui penambahan jam pelajaran, bahkan tak ketinggalan menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses UN. Jika kita saksikan, pihak sekolah dan para siswa cukup tertantang dengan pergelaran UN. Entah apakah direkayasa atau berangkat dari kesadaran pribadi, siswa terus mempersiapkan diri dengan tekun belajar. Pihak sekolah pun tak mengenal bosan untuk memberikan pendalaman terhadap materi pelajaran yang akan di-UN-kan. Bahkan, dengan target lulus UN, siswa tingkat akhir terus di-drill dengan menjawab soal-soal multiple choice yang diprediksi keluar di UN. Terkait pola menghadapi UN seperti itu, pro kontra diakui terus muncul sampai detik ini.
Disadari atau tidak, dari pengalaman selama ini, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tak dimungkiri menjadi momok tersendiri. Motivasi pihak sekolah menggulirkan kebijakan penambahan jam pelajaran dan program tryout UN lebih disebabkan adanya standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas. Asumsi ini tentu tak berlebihan karena tak pernah pihak sekolah membuat kebijakan seperti itu saat diselenggarakan ujian sekolah. Dengan adanya standar kelulusan yang harus dicapai, pihak sekolah pun tidak bisa main-main lagi karena berkaitan dengan masa depan siswa. Berbeda dengan ujian sekolah, pihak sekolah tak pernah “terbebani” dengan target standar kelulusan, bahkan pengatrolan nilai tidak dimungkiri sering kali dilakukan. Memang tak dimungkiri jika UN dengan standar kelulusan yang dipatok secara nasional telah menyebabkan pihak sekolah berorientasi pada UN ansich. Kendati masih ada ujian yang diselenggarakan pihak sekolah, otoritas UN dalam meluluskan siswa tetap besar. Dengan kata lain, ujian sekolah belum bertaji berhadapan dengan standar kelulusan UN yang dipatok Depdiknas. Pada tahun ini, standar kelulusan UN 2009 dari sebelumnya 5,25 dinaikkan menjadi 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai minimal 4,00 paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dikatakan Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas Burhanudin Tolla bahwa pemerintah daerah dan satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai standar kelulusan. Sedangkan UASBN, kriteria kelulusannya murni ditetapkan oleh pihak sekolah. Adapun untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00.
Berbicara lebih lanjut, dengan melihat fakta di lapangan dan berita-berita di surat kabar, tampaknya ada beberapa hal yang perlu dijernihkan mengenai UN. Pertama, apakah UN merupakan penentu tunggal kelulusan? Kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jika UN dikatakan sebagai penentu tunggal kelulusan boleh jadi akibat dari standar nasional yang ditetapkan. Dengan adanya standar nasional, para siswa dituntut untuk berjuang maksimal agar bisa lulus. Adanya kondisi seperti itu akhirnya berkembang persepsi bahwa kelulusan siswa hanya ditentukan lewat UN. Padahal, penentuan kelulusan siswa memiliki berbagai persyaratan—tidak hanya lulus UN.
Persyaratan kelulusan siswa itu telah dijelaskan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 disebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus ujian nasional.
Pada poin a, b, dan c yang menentukan kelulusan siswa itu sepertinya agak dilupakan. Yang terjadi selama ini adalah kejar target lulus UN dengan menempatkan mata pelajaran non-UN secara kurang proporsional. Dengan mencermati isi Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 itu seharusnya pihak sekolah mendudukkan setiap mata pelajaran pada posisi sederajat karena sama-sama menentukan kelulusan siswa.
Dari uraian di atas akhirnya menjawab pertanyaan kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jawabannya kian jelas bahwa semua mata pelajaran memegang posisi penting dalam meluluskan siswa. Pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah berani untuk tidak meluluskan siswa jika siswa tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tertera pada poin a, b, dan c Pasal 72 (1) PP No. 19/2005? Apakah pihak sekolah tidak akan meluluskan siswa jika hasil ujian sekolahnya terhitung di bawah rata-rata? Tentu saja hanya pihak sekolahlah yang berhak menjawabnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225667
Pekan ini Ujian Nasional (UN) dihadapi siswa-siswa SMP/MTs (27-30 April 2009). UN sudah dilaksanakan untuk siswa-siswa SMA/MAN/SMK pada 20-24 April 2009 lalu. Adapun untuk tingkat SD yang bertajuk UASBN akan diselenggarakan 11-13 Mei 2009. Berbicara mengenai UN tampaknya tak akan pernah membosankan. Ditengah polemik UN yang pasang surut menerpa, pihak sekolah tetap harus menyelenggarakan perhelatan UN.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak sekolah dalam persiapan menghadapi UN menyelenggarakan program pengayaan melalui penambahan jam pelajaran, bahkan tak ketinggalan menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses UN. Jika kita saksikan, pihak sekolah dan para siswa cukup tertantang dengan pergelaran UN. Entah apakah direkayasa atau berangkat dari kesadaran pribadi, siswa terus mempersiapkan diri dengan tekun belajar. Pihak sekolah pun tak mengenal bosan untuk memberikan pendalaman terhadap materi pelajaran yang akan di-UN-kan. Bahkan, dengan target lulus UN, siswa tingkat akhir terus di-drill dengan menjawab soal-soal multiple choice yang diprediksi keluar di UN. Terkait pola menghadapi UN seperti itu, pro kontra diakui terus muncul sampai detik ini.
Disadari atau tidak, dari pengalaman selama ini, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tak dimungkiri menjadi momok tersendiri. Motivasi pihak sekolah menggulirkan kebijakan penambahan jam pelajaran dan program tryout UN lebih disebabkan adanya standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas. Asumsi ini tentu tak berlebihan karena tak pernah pihak sekolah membuat kebijakan seperti itu saat diselenggarakan ujian sekolah. Dengan adanya standar kelulusan yang harus dicapai, pihak sekolah pun tidak bisa main-main lagi karena berkaitan dengan masa depan siswa. Berbeda dengan ujian sekolah, pihak sekolah tak pernah “terbebani” dengan target standar kelulusan, bahkan pengatrolan nilai tidak dimungkiri sering kali dilakukan. Memang tak dimungkiri jika UN dengan standar kelulusan yang dipatok secara nasional telah menyebabkan pihak sekolah berorientasi pada UN ansich. Kendati masih ada ujian yang diselenggarakan pihak sekolah, otoritas UN dalam meluluskan siswa tetap besar. Dengan kata lain, ujian sekolah belum bertaji berhadapan dengan standar kelulusan UN yang dipatok Depdiknas. Pada tahun ini, standar kelulusan UN 2009 dari sebelumnya 5,25 dinaikkan menjadi 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai minimal 4,00 paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dikatakan Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas Burhanudin Tolla bahwa pemerintah daerah dan satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai standar kelulusan. Sedangkan UASBN, kriteria kelulusannya murni ditetapkan oleh pihak sekolah. Adapun untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00.
Berbicara lebih lanjut, dengan melihat fakta di lapangan dan berita-berita di surat kabar, tampaknya ada beberapa hal yang perlu dijernihkan mengenai UN. Pertama, apakah UN merupakan penentu tunggal kelulusan? Kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jika UN dikatakan sebagai penentu tunggal kelulusan boleh jadi akibat dari standar nasional yang ditetapkan. Dengan adanya standar nasional, para siswa dituntut untuk berjuang maksimal agar bisa lulus. Adanya kondisi seperti itu akhirnya berkembang persepsi bahwa kelulusan siswa hanya ditentukan lewat UN. Padahal, penentuan kelulusan siswa memiliki berbagai persyaratan—tidak hanya lulus UN.
Persyaratan kelulusan siswa itu telah dijelaskan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 disebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus ujian nasional.
Pada poin a, b, dan c yang menentukan kelulusan siswa itu sepertinya agak dilupakan. Yang terjadi selama ini adalah kejar target lulus UN dengan menempatkan mata pelajaran non-UN secara kurang proporsional. Dengan mencermati isi Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 itu seharusnya pihak sekolah mendudukkan setiap mata pelajaran pada posisi sederajat karena sama-sama menentukan kelulusan siswa.
Dari uraian di atas akhirnya menjawab pertanyaan kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jawabannya kian jelas bahwa semua mata pelajaran memegang posisi penting dalam meluluskan siswa. Pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah berani untuk tidak meluluskan siswa jika siswa tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tertera pada poin a, b, dan c Pasal 72 (1) PP No. 19/2005? Apakah pihak sekolah tidak akan meluluskan siswa jika hasil ujian sekolahnya terhitung di bawah rata-rata? Tentu saja hanya pihak sekolahlah yang berhak menjawabnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225667
0 komentar:
Posting Komentar