Politik Uang, Tradisi Buruk Politik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Opini Harian Umum Pelita, Rabu 3 Juni 2009

Politisi di negeri ini belum mampu bertindak dewasa. Politisi di negeri ini masih harus belajar politik lebih mendalam. Politik yang dimaknai sekadar berburu kekuasaan merupakan malapetaka. Namun anehnya, politisi lebih suka menciptakan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Fenomena politik uang (money politics) yang marak dilakukan saat pemilu legislatif lalu adalah contoh nyata. Entah mengapa, kompetisi kualitas dan kapasitas wakil-wakil rakyat dipenuhi permainan politik kotor.

Adanya fenomena politik uang sering kali dianggap perilaku yang telah mengakar kuat. Pertanyaannya, apakah perilaku kotor tersebut tidak bisa diubah menjadi perilaku politik yang bersih dan jujur? Terlampau pesimistis-ekstrim jika kita mengasumsikan perilaku politik kotor sulit dihilangkan. Bukannya sulit dihilangkan, tapi karena paradigma kita yang terlanjur menjadikan politik uang sebagai kewajaran. Jika suatu perilaku buruk dibiasakan dan dianggap wajar, maka perilaku buruk tersebut akan menjadi perilaku yang menetap dan dianggap biasa-biasa saja. Politik uang yang dianggap wajar tanpa disadari telah menjadi tradisi buruk perpolitikan di negeri ini.

Pastinya, politik uang mencederai sebuah cita-cita dan idealisme politik adiluhung. Politik uang menghambat proses penciptaan lembaga negara yang bersih dan bertanggung jawab. Amat disayangkan perubahan di negeri ini terhalang oleh adanya politisi busuk yang mengandalkan kekuatan uang. Pemulihan wibawa dan citra parlemen akibat ulah wakil-wakil rakyat yang amoral dan korup pada periode sebelumnya terhalang oleh hadirnya politisi yang mempermainkan politik kotor. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari parlemen periode mendatang yang dari awalnya telah tidak jujur dan tidak melakukan politik elegan?

Ada tiga pihak yang dirugikan dengan adanya fenomena politik uang. Pertama, politisi itu sendiri. Disadari atau tidak, politisi yang bermain politik uang juga dirugikan dengan perilakunya. Tidak ada jaminan politik uang akan mampu mengantarkan politisi ke kursi kekuasaan sesuai apa yang diinginkan. Kekuatan uang yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuannya dimungkinkan menciptakan keterkejutan psikologis. Efeknya, politisi bisa dilanda depresi dan stress karena uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Kondisi ini juga terjadi pada politisi yang mengeluarkan biaya begitu besar tanpa perhitungan saat kampanye, tapi perolehan suaranya tidak mencukupi untuk duduk di kursi kekuasaan. Kedua, politisi yang mengedepankan politik elegan dan bersih. Di tengah politisi yang bermain kotor, ada juga politisi yang jujur dan bertanggung jawab. Politisi yang jujur dan bersih ini memiliki idealisme dan memaknai politik sebagai pengabdian. Dengan adanya politik uang yang dimainkan politisi busuk, politisi jujur dan bersih ini sering kali dikagetkan dengan beredarnya uang di tengah masyarakat. Usaha dan kerja keras yang dilakukan untuk membina dan menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya menjadi sirna karena permainan politik uang. Tak dimungkiri ada masyarakat yang memang mudah dipermainkan dengan politik uang.

Ketiga, masyarakat. Pihak yang dirugikan dengan politik uang adalah masyarakat, baik masyarakat yang kesadaran politiknya rendah maupun yang kesadaran politiknya tinggi. Masyarakat dengan kesadaran politiknya tinggi memiliki cita-cita perubahan dan masih optimis menghasilkan politisi-politisi jujur dan bersih untuk duduk di kursi kekuasaan. Masyarakat tipe ini mengikuti pemilu karena kesadaran bahwa perubahan yang lebih baik akan didapatkan dengan memilih politisi-politisi yang jujur, bersih, jelas rekam jejaknya, dan memiliki integritas-kapasitas-kapabilitas. Dengan fenomena politik uang, masyarakat yang berkesadaran politik tinggi menjumpai cita-cita perubahan dihalangi dan upaya menghadirkan politisi jujur dan bersih pun sirna. Adapun masyarakat yang kesadaran politiknya rendah memang cenderung mudah dipermainkan dengan politik uang. Masyarakat tipe ini sepertinya belum menyadari bahwa politik uang hanya kenikmatan sesaat yang sebenarnya berefek buruk jangka panjang. Dengan kesadaran politik rendah, masyarakat tidak menyadari telah dimanfaatkan politisi busuk dan malah ikut mendukung perilaku korupsi di lembaga negara. Tentu saja politik uang yang melahirkan korupsi berefek buruk tidak hanya bagi masyarakat yang pragmatis, tapi juga bagi seluruh masyarakat secara luas.

Dalam hal ini, kita hendaknya bisa berpikir bijak dan jernih. Adanya fenomena politik uang adalah fakta yang tak perlu disembunyikan. Justru ada dua hal yang menjadi tantangan ke depan. Pertama, mencegah efek politik uang di lembaga negara. Dari politisi yang bermain politik uang ada yang terpilih dan ada yang gagal memasuki lembaga negara (baca: parlemen). Tantangannya adalah menghambat dan mencegah perilaku korupsi yang mungkin dilakukan. Jika politisi busuk memasuki parlemen, pencegahan yang mungkin dilakukan adalah melalui penguatan sistem agar tidak kecolongan dengan perilaku korup dan manipulasi anggaran negara. Pada titik ini, pengontrolan kinerja politisi di parlemen perlu dioptimalkan, baik dilakukan oleh BK DPR, parpol politisi bersangkutan maupun elemen ekstraparlementer. Selain itu, perlu dilakukan transparansi kinerja parlemen yang dipublikasikan agar masyarakat mengetahui lebih jelas kontribusi dan pencapaian kinerja setiap politisi.

Adapun tantangan kedua adalah melenyapkan tradisi buruk politik uang di negeri ini. Pada titik ini, parpol seyogianya mengontrol setiap politisinya dan menyeleksi secara ketat setiap politisi yang akan didudukkan di lembaga parlemen. Penyederhanaan parpol juga penting untuk mencegah fenomena lembaga parlemen dijadikan lahan pekerjaan. Iklim kebebasan yang dijamin undang-undang bukan kebebasan tak terbatas, tapi tentu saja kebebasan yang bertanggung jawab dan terkontrol termasuk kebebasan mendirikan parpol. Yang tak bisa dilupakan, parpol perlu menjalankan fungsinya melakukan kaderisasi politik sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Di sisi lain, pendidikan politik perlu dilakukan pihak-pihak nonpemerintah secara berkesinambungan dalam upaya menjadikan masyarakat melek dan cerdas politik. Masyarakat yang cerdas dan melek politik adalah salah satu prasyarat menjadikan lembaga parlemen lebih berwibawa dan bermartabat. Pungkasnya, mari kita hilangkan tradisi buruk politik uang di negeri ini! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

0 komentar: