Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Rabu 29 Juli 2009
Setelah direncanakan jauh-jauh hari, program Profesor Masuk ke Sekolah (PMS) akhirnya di-launching pada Kamis (23/7) lalu di Yogyakarta. Program ini tentu merupakan langkah inovatif. Ada sekitar 60 profesor/guru besar dari berbagai bidang ilmu yang sudah siap mengajar secara sukarela di sekolah dari jenjang SD, SMP sampai SMA pada tahap awal peluncuran program ini.
Adanya program PMS ini sudah barang tentu bukan hal baru. Di luar negeri, program PMS sudah biasa diterapkan. Munculnya PMS merupakan inisiatif Gubernur DIY Sri Sultan HB X yang menyaksikan hubungan dekat profesor dengan sekolah di Jepang. Berdasarkan catatan, kemajuan pendidikan di Jerman juga tak terlepas dari kedekatan profesor dengan sekolah. Dikatakan BJ Habibie, profesor di Jerman mau mengajar di tingkat pendidikan dasar. Ki Supriyoko (2009) pernah menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Taipei Vocational School pada 1990-an bahwa di sekolah menengah kejuruan itu terdapat 6 orang doktor dan 2 profesor yang mengajar.
Meskipun di luar negeri sudah biasa diterapkan, dunia pendidikan Yogyakarta dengan program PMS ini setidaknya berani mengawali langkah agar guru besar di perguruan tinggi tidak semata berdiam di kampus, tapi juga berbagi ilmu pengetahuan dan wawasan di jenjang pendidikan bawahnya. Disamping itu, dunia pendidikan Yogyakarta juga diharapkan semakin berkualitas. Profesor yang nantinya mengajar di sekolah akan berbagi wawasan dan ilmu pengetahuan yang mungkin belum didapatkan guru di sekolah. Dengan demikian, kapasitas keilmuan guru di sekolah semakin bertambah. Para siswa yang sehari-hari berinteraksi dengan guru-guru pastinya menemukan wajah pembelajaran baru dengan program PMS ini. Tidak hanya menjalin interaksi pembelajaran dengan guru, siswa juga berinteraksi dengan sosok guru besar perguruan tinggi. Seperti dituturkan Sri Sultan HB X saat peluncuran program PMS bahwa kehadiran guru besar bersama guru di sekolah diharapkan dapat memberikan pencerahan dan meningkatkan kualitas siswa.
Belajar Berinteraksi
Meskipun idealisme perlu dimiliki, namun pelaksanaan program ini bukannya tanpa tantangan. Pola pembelajaran di perguruan tinggi yang berbeda dengan pola pembelajaran di sekolah harus dimengerti guru besar sehingga mampu menjalin interaksi yang komunikatif dengan siswa. Para guru besar yang terjun di sekolah tentu tidak bisa menerapkan penyampaian materi seperti model seminar atau perkuliahan karena perbedaan karakteristik antara mahasiswa dan siswa di sekolah. Dengan terjun di sekolah, guru besar sebenarnya juga belajar berinteraksi dengan siswa agar penyampaian materi dapat benar-benar dipahami dan diresapi. Dalam mengajar siswa, guru besar tentu perlu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan menghindari istilah-istilah ilmiah yang masih asing di telinga siswa. Pola pembelajaran partisipatif dari guru besar diharapkan terjadi dimana siswa diposisikan sebagai mitra belajar. Pada titik ini, guru besar juga melakukan semacam pembelajaran bagi guru dalam pola interaksi belajar mengajar. Tidak dimungkiri jika pembelajaran di sekolah masih kurang melibatkan siswa secara aktif dengan penyampaian materi yang monoton dari guru. Harapannya, guru di sekolah bisa belajar dari guru besar terkait pola pembelajaran yang interaktif dan menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran.
Secara kapasitas keilmuan, guru besar pastinya tidak diragukan. Penghargaan layak ditujukan kepada guru besar yang bersedia ”turun gunung” ke sekolah-sekolah. Persoalannya sebagaimana diutarakan di muka bahwa pola pembelajaran perlu menyesuaikan dengan karakteristik siswa yang bukan mahasiswa sehingga ilmu pengetahuan yang disampaikan bisa berjalan efektif. Di sisi lain, guru besar bisa melakukan pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi riil sekolah-sekolah. Jika selama ini guru besar terkesan ada jarak dengan sekolah, maka program PMS akan mendekatkan guru besar dengan sekolah. Dikatakan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi DIY Prof Dr Suwarsih Madya bahwa proses saling belajar antara profesor dengan sekolah diharapkan terjadi melalui program PMS sehingga para profesor tidak merasa ilmunya begitu tinggi dan menganggap remeh ilmu yang diajarkan di sekolah.
Membentuk Karakter
Hal lain yang seyogianya diperhatikan, program ini tidak sekadar memberikan asupan ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tapi juga membentuk karakter peserta didik. Para guru besar yang mengajar di sekolah perlu menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik sehingga pembelajaran semakin bermakna. Dengan turunnya guru besar di sekolah, keberhasilan tidak hanya diukur secara materi, tapi juga sebaliknya. Mungkin ada target capaian yang hendak dituju seperti kemampuan peserta didik menguasai bidang ilmu sehingga berhasil dalam studi dan mendapatkan prestasi akedemis membanggakan, namun capaian imaterial tidak boleh diabaikan.
Dengan kehadiran guru besar di sekolah, pendidikan nilai-nilai seyogianya ditanamkan. Budaya belajar di lingkungan sekolah yang mulai menipis belakangan ini diharapkan bisa dibangkitkan kembali. Profesor yang merupakan jabatan akademik di perguruan tinggi perlu juga belajar dari guru-guru di sekolah. Boleh jadi guru-guru di sekolah memiliki pengalaman berharga karena intensitas keterlibatannya di jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas. Temuan-temuan inovatif bagi dunia pendidikan mungkin saja muncul dari perjumpaan guru besar dengan kondisi riil sekolah. Pastinya, program PMS yang pertama kali diterapkan di Yogyakarta perlu dilakukan evaluasi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada agar bisa berjalan baik.
Singkat kata, profesor/guru besar memang diharapkan ”turun gunung” alias tidak melulu suntuk di kampus. Selain memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah, profesor berkewajiban menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang perlu sentuhan profesor. Tidak hanya di Yogyakarta, kota lain kapan menyusul? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Redaktur Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=74350
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Rabu 29 Juli 2009
Setelah direncanakan jauh-jauh hari, program Profesor Masuk ke Sekolah (PMS) akhirnya di-launching pada Kamis (23/7) lalu di Yogyakarta. Program ini tentu merupakan langkah inovatif. Ada sekitar 60 profesor/guru besar dari berbagai bidang ilmu yang sudah siap mengajar secara sukarela di sekolah dari jenjang SD, SMP sampai SMA pada tahap awal peluncuran program ini.
Adanya program PMS ini sudah barang tentu bukan hal baru. Di luar negeri, program PMS sudah biasa diterapkan. Munculnya PMS merupakan inisiatif Gubernur DIY Sri Sultan HB X yang menyaksikan hubungan dekat profesor dengan sekolah di Jepang. Berdasarkan catatan, kemajuan pendidikan di Jerman juga tak terlepas dari kedekatan profesor dengan sekolah. Dikatakan BJ Habibie, profesor di Jerman mau mengajar di tingkat pendidikan dasar. Ki Supriyoko (2009) pernah menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Taipei Vocational School pada 1990-an bahwa di sekolah menengah kejuruan itu terdapat 6 orang doktor dan 2 profesor yang mengajar.
Meskipun di luar negeri sudah biasa diterapkan, dunia pendidikan Yogyakarta dengan program PMS ini setidaknya berani mengawali langkah agar guru besar di perguruan tinggi tidak semata berdiam di kampus, tapi juga berbagi ilmu pengetahuan dan wawasan di jenjang pendidikan bawahnya. Disamping itu, dunia pendidikan Yogyakarta juga diharapkan semakin berkualitas. Profesor yang nantinya mengajar di sekolah akan berbagi wawasan dan ilmu pengetahuan yang mungkin belum didapatkan guru di sekolah. Dengan demikian, kapasitas keilmuan guru di sekolah semakin bertambah. Para siswa yang sehari-hari berinteraksi dengan guru-guru pastinya menemukan wajah pembelajaran baru dengan program PMS ini. Tidak hanya menjalin interaksi pembelajaran dengan guru, siswa juga berinteraksi dengan sosok guru besar perguruan tinggi. Seperti dituturkan Sri Sultan HB X saat peluncuran program PMS bahwa kehadiran guru besar bersama guru di sekolah diharapkan dapat memberikan pencerahan dan meningkatkan kualitas siswa.
Belajar Berinteraksi
Meskipun idealisme perlu dimiliki, namun pelaksanaan program ini bukannya tanpa tantangan. Pola pembelajaran di perguruan tinggi yang berbeda dengan pola pembelajaran di sekolah harus dimengerti guru besar sehingga mampu menjalin interaksi yang komunikatif dengan siswa. Para guru besar yang terjun di sekolah tentu tidak bisa menerapkan penyampaian materi seperti model seminar atau perkuliahan karena perbedaan karakteristik antara mahasiswa dan siswa di sekolah. Dengan terjun di sekolah, guru besar sebenarnya juga belajar berinteraksi dengan siswa agar penyampaian materi dapat benar-benar dipahami dan diresapi. Dalam mengajar siswa, guru besar tentu perlu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan menghindari istilah-istilah ilmiah yang masih asing di telinga siswa. Pola pembelajaran partisipatif dari guru besar diharapkan terjadi dimana siswa diposisikan sebagai mitra belajar. Pada titik ini, guru besar juga melakukan semacam pembelajaran bagi guru dalam pola interaksi belajar mengajar. Tidak dimungkiri jika pembelajaran di sekolah masih kurang melibatkan siswa secara aktif dengan penyampaian materi yang monoton dari guru. Harapannya, guru di sekolah bisa belajar dari guru besar terkait pola pembelajaran yang interaktif dan menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran.
Secara kapasitas keilmuan, guru besar pastinya tidak diragukan. Penghargaan layak ditujukan kepada guru besar yang bersedia ”turun gunung” ke sekolah-sekolah. Persoalannya sebagaimana diutarakan di muka bahwa pola pembelajaran perlu menyesuaikan dengan karakteristik siswa yang bukan mahasiswa sehingga ilmu pengetahuan yang disampaikan bisa berjalan efektif. Di sisi lain, guru besar bisa melakukan pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi riil sekolah-sekolah. Jika selama ini guru besar terkesan ada jarak dengan sekolah, maka program PMS akan mendekatkan guru besar dengan sekolah. Dikatakan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi DIY Prof Dr Suwarsih Madya bahwa proses saling belajar antara profesor dengan sekolah diharapkan terjadi melalui program PMS sehingga para profesor tidak merasa ilmunya begitu tinggi dan menganggap remeh ilmu yang diajarkan di sekolah.
Membentuk Karakter
Hal lain yang seyogianya diperhatikan, program ini tidak sekadar memberikan asupan ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tapi juga membentuk karakter peserta didik. Para guru besar yang mengajar di sekolah perlu menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik sehingga pembelajaran semakin bermakna. Dengan turunnya guru besar di sekolah, keberhasilan tidak hanya diukur secara materi, tapi juga sebaliknya. Mungkin ada target capaian yang hendak dituju seperti kemampuan peserta didik menguasai bidang ilmu sehingga berhasil dalam studi dan mendapatkan prestasi akedemis membanggakan, namun capaian imaterial tidak boleh diabaikan.
Dengan kehadiran guru besar di sekolah, pendidikan nilai-nilai seyogianya ditanamkan. Budaya belajar di lingkungan sekolah yang mulai menipis belakangan ini diharapkan bisa dibangkitkan kembali. Profesor yang merupakan jabatan akademik di perguruan tinggi perlu juga belajar dari guru-guru di sekolah. Boleh jadi guru-guru di sekolah memiliki pengalaman berharga karena intensitas keterlibatannya di jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas. Temuan-temuan inovatif bagi dunia pendidikan mungkin saja muncul dari perjumpaan guru besar dengan kondisi riil sekolah. Pastinya, program PMS yang pertama kali diterapkan di Yogyakarta perlu dilakukan evaluasi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada agar bisa berjalan baik.
Singkat kata, profesor/guru besar memang diharapkan ”turun gunung” alias tidak melulu suntuk di kampus. Selain memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah, profesor berkewajiban menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang perlu sentuhan profesor. Tidak hanya di Yogyakarta, kota lain kapan menyusul? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Redaktur Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=74350
0 komentar:
Posting Komentar