Jogja dan Spirit Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Bernas Jogja, Kamis 29 Oktober 2009
SEJARAH Sumpah Pemuda adalah sejarah kebangunan kesadaran anak-anak bangsa. Kesadaran itu tumbuh karena suasana batin para pemuda menyatu dalam denyut kepedihan rakyat. Begitu sengsaranya kehidupan rakyat akibat penjajahan sehingga para pemuda menyingkirkan ego kelompok untuk mengumandangkan satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia.

Bangkitnya pemuda dari tidur pulas dalam sekat-sekat kesukuan memberikan darah segar mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang merdeka. Sekitar 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan negeri ini benar-benar menjadi nyata. Disadari atau tidak, kemerdekaan negeri ini mungkin saja masih jalan terjal jika para pemuda sebagai agen perubahan tak memiliki inisiatif menyatukan langkah dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta), 27-28 Oktober 1928. Kaki tangan penjajah boleh jadi masih menginjak-injak dan mencengkeram kehidupan bangsa jika para pemuda tidak memiliki konsep cerdas mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, menurut Safari Daud (2006), cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa.

Bertemu dan berkumpulnya pemuda dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya pada saat itu sedikit banyak menunjukkan kejiwaan Indonesia yang kokoh. Berbagai suku dari wilayah Indonesia tak sekadar menggelar rapat intensif selama dua hari, tapi mereka juga melakukan tindakan nyata dalam melawan dan mengusir koloni Belanda. Pertanyaannya, apakah keterkaitan Sumpah Pemuda 81 tahun silam dengan kota Yogyakarta di era kini?

Diakui bahwa kota Yogyakarta dihuni oleh berbagai kalangan serba multi: multi etnis, multi agama, multi budaya, dan seterusnya. Banyak pelajar/mahasiswa menyinggahi kota ini untuk menempuh jenjang pendidikan. Tidak hanya dari seputar wilayah Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang), tapi juga didatangi mahasiswa dari luar Pulau Jawa. Seperti kita saksikan, asrama-asrama mahasiswa di kota ini bertebaran, ada yang satu suku dan ada pula yang asrama plural. Maksud asrama plural adalah asrama yang dihuni tidak hanya satu etnis, tapi dihuni beragam latar belakang budaya.

Dari kenyataan itu, Yogyakarta sering kali disebut sebagai kota multikultural. Tidak banyak kota yang menyamai kota Yogyakarta dalam hal keragaman latar belakang budaya. Meskipun masyarakatnya berbeda-beda latar belakang, Yogyakarta tetap dikenal dengan semangat toleransinya. Memang pernah terjadi amuk massa yang dilakukan mahasiswa berbeda etnis, tapi itu bukanlah “api yang terus membara”. Yogyakarta dikenal sebagai kota yang mampu menegakkan semangat kerukunan dalam perbedaan. Yogyakarta juga dihuni olek kelompok masyarakat yang beretnis Tionghoa.

Seperti kita ingat pada 1928 lalu, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie adalah pemuda-pemuda Tionghoa yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda 1928 di rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Kerukunan dengan masyarakat Tionghoa tampak di Yogyakarta. Dengan kelompok masyarakat Tionghoa, masyarakat pribumi bisa guyup rukun, minim gejolak, dan saling menanamkan pengertian. Peristiwa Mei 1998 bisa kita ambil contoh. Ketika di sebagian daerah lain kelompok pribumi “perang-perangan” dengan etnis Tionghoa, perdamaian tetap bersemayam di Yogyakarta. Di kota Yogyakarta banyak tempat usaha yang dikelola oleh kelompok etnis Tionghoa. Apa jadinya jika sebelas tahun lalu areal Malioboro, misalnya, bergejolak? Nyatanya Yogyakarta tetap adem ayem dan diliputi perasaan aman.

Itulah wajah Yogyakarta. Terkait dengan 81 tahun Sumpah Pemuda, mahasiswa yang menempuh studi di kota pendidikan ini selayaknya mengambil pelajaran. Berkumpulnya para mahasiswa dari beragam etnis di kota Yogyakarta tentu harapannya tidak sekadar menyelesaikan studi akademik semata. Para mahasiswa dengan latar belakang budaya perlu memiliki semangat keindonesiaan yang sama seperti para pemuda angkatan 1928. Artinya, semangat keindonesiaan hendaknya menjadi orientasi dalam menempuh pendidikan di kota Yogyakarta. Semangat keindonesiaan untuk membangun negeri Indonesia. Mahasiswa sebagai pemuda perlu menyadari peran pentingnya sebagai subyek perubahan.

Mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual terdidik memang tidak bisa abai terhadap kondisi bangsanya. Dengan pendidikan yang tinggi, mahasiswa semestinya memiliki kecerdasan, keberanian, kepekaan dan kepedulian sosial, jiwa pengorbanan, kesadaran, dan semangat yang besar untuk memberikan kontribusi nyata. Kondisi Indonesia yang masih dalam kondisi memprihatinkan setidaknya membangkitkan nurani mahasiswa untuk menjadi problem solver, menjadi pemecah masalah bangsa. Ketika mahasiswa dari beragam daerah di kota Yogyakarta selesai menempuh pendidikan dan kembali ke daerah asalnya, mahasiswa tentunya akan menyaksikan beragam permasalahan yang menerpa masyarakat di daerahnya. Kemiskinan merata dimana-mana, pengangguran masih menggejala, korupsi belum mereda, masih ada penduduk yang buta aksara, sumber daya alam belum dikelola secara maksimal, dan sebagainya. Terhadap permasalahan itu, mahasiswa perlu melibatkan diri dengan bekal kompetensi yang dimilikinya. Mahasiswa yang dikatakan Arbi Sanit (1985) sebagai kelompok yang memperoleh pendidikan terbaik dan memiliki pandangan yang luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat harapannya bisa membawa pencerahan bagi kehidupan masyarakat. Mahasiswa luar daerah harus membangun daerahnya setelah meninggalkan kota Yogyakarta!

Dengan semangat Sumpah Pemuda, mahasiswa dari beragam daerah yang berkumpul di kota Yogyakarta perlu mengumandangkan kembali sumpah setia sebagaimana diucapkan para pemuda angkatan 1928. Mahasiswa dari beragam latar belakang daerah di Yogyakarta bersumpah bertanah satu: tanah Indonesia; berbangsa satu: bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Dari Yogyakarta, semangat Sumpah Pemuda lahir kembali untuk mewujudkan “kemerdekaan” bagi negeri ini. Kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan untuk terciptanya negeri Indonesia yang berjati diri dan bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: