Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Telaah KR Bisnis, Selasa, 27 Oktober 2009
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden telah resmi mengendalikan kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pun telah disusun dan ditetapkan. Dengan kehadiran pemimpin nasional 2009-2014 beserta jajaran kabinetnya harapannya mampu membawa negeri ini lebih baik. Sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agar mampu mengelola negeri ini agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Disamping menuntaskan pekerjaan di tengah kompleksitas permasalahan, pemimpin ke depan juga dituntut bergerak cepat memacu perkembangan kehidupan bangsa dan negara. SBY-Boediono dan jajaran KIB Jilid II pastinya ditunggu kinerjanya ke depan. Pada titik ini, paradigma profetik menjadi titik penting bagi SBY-Boediono dalam menjalankan roda pemerintahan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti SBY-Boediono harus menantikan wahyu dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahan.
Maksud dari paradigma profetik adalah kepemilikan pola pikir pemimpin yang siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Seperti halnya Nabi yang diutus Tuhan, pemimpin nasional memiliki peran membawa masyarakat pada tatanan kehidupan yang ideal, adil, makmur, dan sejahtera. Para Nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a, tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan—kata Ali Syari’ati. Pemimpin harus hidup bersama masyarakat dan berjuang memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Termasuk dalam hal ini adalah membebaskan masyarakat dari keterhimpitan ekonomi.
Paradigma profetik ini penting mengingat masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tidak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah lingkungan pendidikan. Sikap mental pragmatis menjangkiti kehidupan masyarakat yang lebih menghargai gaya hidup instan ketimbang kepemilikan etos berproses dan daya juang. Persaingan kehidupan juga menyebarkan virus individualisme di benak masyarakat sehingga tidak ada lagi sikap saling menanggung beban dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, SBY-Boediono sebagai pemimpin nasional 2009-2014 perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Humanisasi sebagai memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang merasakan denyut nadi masyarakatnya dan tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan.
Dengan semangat liberasi, pemimpin nasional harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan.
Spirit humanisasi dan liberasi pemimpin dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap upaya mengangkat martabat manusia dan membebaskan manusia dari ketertindasan mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin nasional merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Akhirnya kita berharap agar kepemimpinan nasional 2009-2014 mampu melakukan transformasi menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berjati diri, bermartabat, dan bernilai. Kita nantikan kinerja SBY-Boediono dalam kepemimpinan negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Telaah KR Bisnis, Selasa, 27 Oktober 2009
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden telah resmi mengendalikan kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pun telah disusun dan ditetapkan. Dengan kehadiran pemimpin nasional 2009-2014 beserta jajaran kabinetnya harapannya mampu membawa negeri ini lebih baik. Sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agar mampu mengelola negeri ini agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Disamping menuntaskan pekerjaan di tengah kompleksitas permasalahan, pemimpin ke depan juga dituntut bergerak cepat memacu perkembangan kehidupan bangsa dan negara. SBY-Boediono dan jajaran KIB Jilid II pastinya ditunggu kinerjanya ke depan. Pada titik ini, paradigma profetik menjadi titik penting bagi SBY-Boediono dalam menjalankan roda pemerintahan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti SBY-Boediono harus menantikan wahyu dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahan.
Maksud dari paradigma profetik adalah kepemilikan pola pikir pemimpin yang siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Seperti halnya Nabi yang diutus Tuhan, pemimpin nasional memiliki peran membawa masyarakat pada tatanan kehidupan yang ideal, adil, makmur, dan sejahtera. Para Nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a, tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan—kata Ali Syari’ati. Pemimpin harus hidup bersama masyarakat dan berjuang memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Termasuk dalam hal ini adalah membebaskan masyarakat dari keterhimpitan ekonomi.
Paradigma profetik ini penting mengingat masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tidak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah lingkungan pendidikan. Sikap mental pragmatis menjangkiti kehidupan masyarakat yang lebih menghargai gaya hidup instan ketimbang kepemilikan etos berproses dan daya juang. Persaingan kehidupan juga menyebarkan virus individualisme di benak masyarakat sehingga tidak ada lagi sikap saling menanggung beban dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, SBY-Boediono sebagai pemimpin nasional 2009-2014 perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Humanisasi sebagai memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang merasakan denyut nadi masyarakatnya dan tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan.
Dengan semangat liberasi, pemimpin nasional harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan.
Spirit humanisasi dan liberasi pemimpin dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap upaya mengangkat martabat manusia dan membebaskan manusia dari ketertindasan mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin nasional merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Akhirnya kita berharap agar kepemimpinan nasional 2009-2014 mampu melakukan transformasi menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berjati diri, bermartabat, dan bernilai. Kita nantikan kinerja SBY-Boediono dalam kepemimpinan negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar