Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Kamis 1 Oktober 2009
Kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan kita bisa bersifat horisontal kepada sesama manusia. Dalam melakukan interaksi sosial, kita sebagai manusia sering kali mengalami gejolak dan konflik. Mungkin saja di antara kita merasa tersakiti dan terzalimi oleh perkataan, sikap, dan perbuatan orang lain. Pun, kita sering kali menyakiti dan menzalimi orang lain. Maka, saling memaafkan merupakan sikap yang tepat untuk meleburkan kesalahan. Kearifan sikap saling memaafkan itu senantiasa mengemuka saat momentum Lebaran dan Syawalan.
Meskipun saat Lebaran dan Syawalan identik dengan maaf-memaafkan, namun sikap saling memaafkan pada dasarnya tidak terbatas pada momentum tertentu. Artinya, saling memaafkan bisa dilakukan setiap saat. Jika kita merasa telah berbuat salah kepada orang lain, kita pun sesegera mungkin meminta maaf. Bahkan, sebuah kemuliaan tersendiri jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain. Meskipun mungkin orang lain tidak meminta maaf, kita dengan sendirinya memaafkan kesalahannya tanpa harus menyimpan perasaan sakit hati atau dendam. Kita bisa memaklumi dan memaafkan orang lain tanpa harus mencaci-maki atau mengumpat orang lain yang berbuat salah kepada kita.
Jika kita mau merenung, sungguh tak layak bagi kita mencaci-maki, bahkan mengungkapkan kesalahan orang lain kepada khalayak. Bukankah kita juga sering kali berbuat kesalahan? Mengapa kesalahan orang lain dibesar-besarkan, padahal kita sendiri tidak luput dari kesalahan? Kita justru harus berbahagia jika bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak berkeberatan meminta maaf jika berbuat salah. Dalam Al-Qur’an, memaafkan kesalahan orang lain begitu ditekankan. Kita sebagai manusia semestinya bisa menahan amarah dan bersabar terhadap kesalahan orang lain. Allah SWT berfirman, “...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nuur:22). Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “…orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”(Qs. Asy-Syura:43).
Dengan suka memaafkan orang lain insya Allah memberikan pahala tersendiri. Bahkan, hasil dari berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kerelaan dan kerendahan hati untuk memaafkan berdampak bagi kesehatan fisik dan kejiwaan kita. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Kamis 1 Oktober 2009
Kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan kita bisa bersifat horisontal kepada sesama manusia. Dalam melakukan interaksi sosial, kita sebagai manusia sering kali mengalami gejolak dan konflik. Mungkin saja di antara kita merasa tersakiti dan terzalimi oleh perkataan, sikap, dan perbuatan orang lain. Pun, kita sering kali menyakiti dan menzalimi orang lain. Maka, saling memaafkan merupakan sikap yang tepat untuk meleburkan kesalahan. Kearifan sikap saling memaafkan itu senantiasa mengemuka saat momentum Lebaran dan Syawalan.
Meskipun saat Lebaran dan Syawalan identik dengan maaf-memaafkan, namun sikap saling memaafkan pada dasarnya tidak terbatas pada momentum tertentu. Artinya, saling memaafkan bisa dilakukan setiap saat. Jika kita merasa telah berbuat salah kepada orang lain, kita pun sesegera mungkin meminta maaf. Bahkan, sebuah kemuliaan tersendiri jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain. Meskipun mungkin orang lain tidak meminta maaf, kita dengan sendirinya memaafkan kesalahannya tanpa harus menyimpan perasaan sakit hati atau dendam. Kita bisa memaklumi dan memaafkan orang lain tanpa harus mencaci-maki atau mengumpat orang lain yang berbuat salah kepada kita.
Jika kita mau merenung, sungguh tak layak bagi kita mencaci-maki, bahkan mengungkapkan kesalahan orang lain kepada khalayak. Bukankah kita juga sering kali berbuat kesalahan? Mengapa kesalahan orang lain dibesar-besarkan, padahal kita sendiri tidak luput dari kesalahan? Kita justru harus berbahagia jika bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak berkeberatan meminta maaf jika berbuat salah. Dalam Al-Qur’an, memaafkan kesalahan orang lain begitu ditekankan. Kita sebagai manusia semestinya bisa menahan amarah dan bersabar terhadap kesalahan orang lain. Allah SWT berfirman, “...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nuur:22). Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “…orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”(Qs. Asy-Syura:43).
Dengan suka memaafkan orang lain insya Allah memberikan pahala tersendiri. Bahkan, hasil dari berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kerelaan dan kerendahan hati untuk memaafkan berdampak bagi kesehatan fisik dan kejiwaan kita. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
0 komentar:
Posting Komentar