Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 29 Oktober 2009
Tahun ini kita akan memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.
Adapun sebagian isi tulisan itu, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…….Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”. Pemuda Tionghoa juga hadir dalam kongres itu, yakni Kwee Thiam Hong (sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda adalah rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.
Di akhir kongres, para pemuda mengucapkan sumpah setelah menggelar rapat intensif selama dua hari yang diketuai Soegondo Djojopoespito. Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah bidang pendidikan menjadi pembahasan dalam kongres itu? Bagaimana para pemuda membahas persoalan pendidikan?
Dalam Kongres Pemuda II, aspek pendidikan menjadi pembahasan menarik dan disebut oleh Muhammad Yamin sebagai salah satu faktor pemerkuat persatuan Indonesia. Saat rapat pada hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Sabtu, 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin juga menyebut faktor selain pendidikan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, dan kemauan. Muncul juga pemikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pendidikan dalam rapat hari kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang menarik kita hayati: (1). Anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2). Harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3). Anak juga harus dididik secara demokratis. Masih terkait dengan aspek pendidikan, Soenario yang juga tampil sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ditegaskan Ramelan dalam Kongres Pemuda II bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian merupakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Adanya peran penting pendidikan bagi kebangunan bangsa dan negara, siapa pun tentu tak memungkiri. Bangkitnya kesadaran para pemuda yang menggagas dan menggelar Sumpah Pemuda 1928 pun disebabkan dari tempaan proses pendidikan Menurut Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928 cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Atas dasar itu, kita pun menyadari bahwa aspek pendidikan memegang peranan penting mencerahkan alam pikiran anak bangsa. Pendidikan mampu memberikan kesadaran bagi anak bangsa untuk memberikan kontribusi bagi kebangunan bangsanya.
Pendidikan yang mampu melahirkan insan-insan yang peduli terhadap bangsanya tentu saja adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Kesimpulan pendapat Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam Kongres Pemuda II bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Pendidikan kebangsaan adalah pendidikan yang mendidik anak bangsa agar mencintai bangsanya, memiliki kehendak untuk berkarya dan membangun bangsanya. Pada dasarnya konsep ini sudah termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan tak sekadar membangun tingkat intelektualitas, tapi juga mampu melahirkan anak bangsa sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk itu, pendidikan kebangsaan perlu diimplementasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan kebangsaan bukan berarti meniadakan nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal perlu diajarkan dan ditanamkan, tapi anak-anak bangsa juga perlu ditanamkan kesadaran sebagai satu bangsa yang hidup dan berpijak di tanah Indonesia. Kesadaran yang akhirnya menghasilkan tindakan positif untuk berkontribusi nyata bagi perbaikan bangsanya. Tanggung jawab melakukan itu tentu saja tidak melulu berada di pundak sekolah. Artinya, pihak keluarga juga bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar memiliki nilai-nilai kebangsaan.
Sinergisitas pihak keluarga dan sekolah diperlukan untuk mendidik anak-anak bangsa sehingga kelak akan lahir—meminjam Fahri Hamzah (2002)—pemuda dalam semangat, kesucian diri, kecerdasan, kecemerlangan, kejujuran, keberanian, pikiran dan jiwa besar, kepercayaan diri dan mental yang terbuat dari baja, kejujuran dan patriotisme terhadap bangsa Indonesia. Seperti tutur Ki Hajar Dewantara, “Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara kita.”
Pungkasnya, Sumpah Pemuda memang selalu identik dengan semangat kebangsaan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa pondasi untuk menanamkan hal itu adalah melalui pendidikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 29 Oktober 2009
Tahun ini kita akan memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.
Adapun sebagian isi tulisan itu, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…….Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”. Pemuda Tionghoa juga hadir dalam kongres itu, yakni Kwee Thiam Hong (sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda adalah rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.
Di akhir kongres, para pemuda mengucapkan sumpah setelah menggelar rapat intensif selama dua hari yang diketuai Soegondo Djojopoespito. Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah bidang pendidikan menjadi pembahasan dalam kongres itu? Bagaimana para pemuda membahas persoalan pendidikan?
Dalam Kongres Pemuda II, aspek pendidikan menjadi pembahasan menarik dan disebut oleh Muhammad Yamin sebagai salah satu faktor pemerkuat persatuan Indonesia. Saat rapat pada hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Sabtu, 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin juga menyebut faktor selain pendidikan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, dan kemauan. Muncul juga pemikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pendidikan dalam rapat hari kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang menarik kita hayati: (1). Anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2). Harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3). Anak juga harus dididik secara demokratis. Masih terkait dengan aspek pendidikan, Soenario yang juga tampil sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ditegaskan Ramelan dalam Kongres Pemuda II bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian merupakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Adanya peran penting pendidikan bagi kebangunan bangsa dan negara, siapa pun tentu tak memungkiri. Bangkitnya kesadaran para pemuda yang menggagas dan menggelar Sumpah Pemuda 1928 pun disebabkan dari tempaan proses pendidikan Menurut Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928 cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Atas dasar itu, kita pun menyadari bahwa aspek pendidikan memegang peranan penting mencerahkan alam pikiran anak bangsa. Pendidikan mampu memberikan kesadaran bagi anak bangsa untuk memberikan kontribusi bagi kebangunan bangsanya.
Pendidikan yang mampu melahirkan insan-insan yang peduli terhadap bangsanya tentu saja adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Kesimpulan pendapat Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam Kongres Pemuda II bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Pendidikan kebangsaan adalah pendidikan yang mendidik anak bangsa agar mencintai bangsanya, memiliki kehendak untuk berkarya dan membangun bangsanya. Pada dasarnya konsep ini sudah termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan tak sekadar membangun tingkat intelektualitas, tapi juga mampu melahirkan anak bangsa sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk itu, pendidikan kebangsaan perlu diimplementasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan kebangsaan bukan berarti meniadakan nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal perlu diajarkan dan ditanamkan, tapi anak-anak bangsa juga perlu ditanamkan kesadaran sebagai satu bangsa yang hidup dan berpijak di tanah Indonesia. Kesadaran yang akhirnya menghasilkan tindakan positif untuk berkontribusi nyata bagi perbaikan bangsanya. Tanggung jawab melakukan itu tentu saja tidak melulu berada di pundak sekolah. Artinya, pihak keluarga juga bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar memiliki nilai-nilai kebangsaan.
Sinergisitas pihak keluarga dan sekolah diperlukan untuk mendidik anak-anak bangsa sehingga kelak akan lahir—meminjam Fahri Hamzah (2002)—pemuda dalam semangat, kesucian diri, kecerdasan, kecemerlangan, kejujuran, keberanian, pikiran dan jiwa besar, kepercayaan diri dan mental yang terbuat dari baja, kejujuran dan patriotisme terhadap bangsa Indonesia. Seperti tutur Ki Hajar Dewantara, “Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara kita.”
Pungkasnya, Sumpah Pemuda memang selalu identik dengan semangat kebangsaan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa pondasi untuk menanamkan hal itu adalah melalui pendidikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar