Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Rabu 1 September 2010
BANYAK orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman pada hari-hari terakhir Ramadan atau menjelang hari Lebaran. Lalu lintas jalan raya pun akan penuh sesak dengan angkutan umum darat dan juga kendaraan pribadi. Tak hanya di darat, transportasi laut pun digunakan untuk memenuhi tujuan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman.
Fenomena khas tradisi mudik memang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini. Bahkan, menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Dikatakan Umar Kayam bahwa mudik awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Dahulu kegiatan itu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka. Apa yang dilakukan itu akhirnya terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Kegiatan itu merupakan perbuatan sia-sia dan masuk dalam kategori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Mudik digunakan oleh kaum perantau untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di tempat kelahiran.
Mudik memang bisa dikatakan semacam peluang bagi siapa pun yang merantau untuk merekatkan kembali tali kekeluargaan dan persaudaraan di daerah asalnya. Setelah bekerja di tempat rantau, kerinduan terhadap kampung halaman menemukan kesempatan bersamaan dengan libur Lebaran. Tradisi mudik yang telah berlangsung bertahun-tahun tentu tak lepas dari pertanyaan yang mungkin sulit dicari jawabannya. Sebut saja pengeluaran finansial yang tidak sedikit harus rela dikeluarkan demi pulang ke kampung halaman. Bagi kaum perantau yang berhasil secara finansial mungkin tak menjadi masalah, namun berbeda dengan kaum perantau yang tidak berkecukupan. Meskipun pergi ke luar daerah/kota-kota besar bertujuan mendapatkan pekerjaan layak, kaum perantau tidak semuanya mengalami keberhasilan. Namun demikian, seberapa pun uang dikeluarkan untuk mudik seolah-olah tidak menjadi persoalan. Bahkan, gaji selama setahun disisihkan dan dialokasikan untuk biaya mudik yang hanya mungkin dilakukan sekali setahun. Lewat tradisi mudik, kita menyaksikan betapa kerinduan kembali ke kampung halaman tak bisa dibendung. Dalam perjalanan, keselamatan jiwa sering kali menjadi taruhan, tapi mereka yang merantau yakin dengan keamanan perjalanan. Apapun dilakukan untuk dapat bersua dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman meskipun mengeluarkan biaya besar dan nyawa menjadi taruhan.
Fenomena mudik yang mentradisi dalam masyarakat negeri ini pastinya dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Mudik memiliki arti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke luar daerah asal. Kota-kota besar menjadi tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah asal atau pedesaan kurang menjamin akses pekerjaan yang layak sehingga orang-orang berketetapan hati untuk pergi ke luar daerah dan kota-kota besar. Tak hanya terkait pekerjaan, tujuan merantau juga bisa terkait dengan aspek pendidikan. Setelah lama di kota, kerinduan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat di kampung halaman tak terelakkan. Mungkin saja kesempatan bersua itu hanya setahun sekali sehingga momentum Lebaran menjadi saat yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Dikatakan Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.
Dengan melakukan mudik, orang-orang yang bekerja di kota berkehendak kembali ke jati dirinya. Muhammad Muhyidin (2008) menyatakan bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah SWT. Karena disibukkan dengan urusan pekerjaan ataupun urusan yang bersifat duniawi, orang-orang yang berada di kota merasakan kekeringan hati. Nurani terasa mati sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Pada titik ini, mudik menjadi ajang mencari ketenangan batin dan memperlembut jiwa. Suasana alam pedesaan atau kampung halaman yang asri dan masih jauh dari cengkeraman modernitas semu merupakan ruang kondusif bagi lahirnya konsep diri yang asli. Kesadaran bertuhan, kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai makhluk sosial, dan kesadaran memakmurkan kehidupan ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman. Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Idul Fitri di mana setiap manusia kembali ke dalam kondisi fitrah yang suci setelah sebulan berpuasa.
Tradisi mudik yang menjadi fenomena sosio-religius ini seakan-akan menyimpan kearifan kultural. Namun demikian, tradisi mudik juga menandakan ketimpangan kemakmuran daerah. Tradisi mudik yang kentara di negeri ini menunjukkan kurang meratanya akses penghidupan yang layak. Lahan pekerjaan dan jaminan hidup layak tidak didapatkan di pedesaan atau kota-kota kecil. Kota-kota besar menjadi pelarian dari keterhimpitan hidup meskipun mengais nafkah di kota-kota besar tidak selalu menjamin keberhasilan. Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak lanjutan dari tradisi mudik: urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan.
Dalam hal ini, tradisi mudik hendaknya menyadarkan pemerintah untuk memeratakan pembangunan dan akses penghidupan di masing-masing daerah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus diberi tanda seru. Artinya, cukup sudah perpindahan penduduk menyerbu kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu juga bertanggung jawab memajukan daerahnya seperti diteriakkan lantang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul ”Jakarta”: Tinggallah di daerah dan saatnya membangun daerah menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik, dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti Transform Institute Yogyakarta
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Rabu 1 September 2010
BANYAK orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman pada hari-hari terakhir Ramadan atau menjelang hari Lebaran. Lalu lintas jalan raya pun akan penuh sesak dengan angkutan umum darat dan juga kendaraan pribadi. Tak hanya di darat, transportasi laut pun digunakan untuk memenuhi tujuan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman.
Fenomena khas tradisi mudik memang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini. Bahkan, menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Dikatakan Umar Kayam bahwa mudik awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Dahulu kegiatan itu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka. Apa yang dilakukan itu akhirnya terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Kegiatan itu merupakan perbuatan sia-sia dan masuk dalam kategori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Mudik digunakan oleh kaum perantau untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di tempat kelahiran.
Mudik memang bisa dikatakan semacam peluang bagi siapa pun yang merantau untuk merekatkan kembali tali kekeluargaan dan persaudaraan di daerah asalnya. Setelah bekerja di tempat rantau, kerinduan terhadap kampung halaman menemukan kesempatan bersamaan dengan libur Lebaran. Tradisi mudik yang telah berlangsung bertahun-tahun tentu tak lepas dari pertanyaan yang mungkin sulit dicari jawabannya. Sebut saja pengeluaran finansial yang tidak sedikit harus rela dikeluarkan demi pulang ke kampung halaman. Bagi kaum perantau yang berhasil secara finansial mungkin tak menjadi masalah, namun berbeda dengan kaum perantau yang tidak berkecukupan. Meskipun pergi ke luar daerah/kota-kota besar bertujuan mendapatkan pekerjaan layak, kaum perantau tidak semuanya mengalami keberhasilan. Namun demikian, seberapa pun uang dikeluarkan untuk mudik seolah-olah tidak menjadi persoalan. Bahkan, gaji selama setahun disisihkan dan dialokasikan untuk biaya mudik yang hanya mungkin dilakukan sekali setahun. Lewat tradisi mudik, kita menyaksikan betapa kerinduan kembali ke kampung halaman tak bisa dibendung. Dalam perjalanan, keselamatan jiwa sering kali menjadi taruhan, tapi mereka yang merantau yakin dengan keamanan perjalanan. Apapun dilakukan untuk dapat bersua dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman meskipun mengeluarkan biaya besar dan nyawa menjadi taruhan.
Fenomena mudik yang mentradisi dalam masyarakat negeri ini pastinya dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Mudik memiliki arti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke luar daerah asal. Kota-kota besar menjadi tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah asal atau pedesaan kurang menjamin akses pekerjaan yang layak sehingga orang-orang berketetapan hati untuk pergi ke luar daerah dan kota-kota besar. Tak hanya terkait pekerjaan, tujuan merantau juga bisa terkait dengan aspek pendidikan. Setelah lama di kota, kerinduan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat di kampung halaman tak terelakkan. Mungkin saja kesempatan bersua itu hanya setahun sekali sehingga momentum Lebaran menjadi saat yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Dikatakan Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.
Dengan melakukan mudik, orang-orang yang bekerja di kota berkehendak kembali ke jati dirinya. Muhammad Muhyidin (2008) menyatakan bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah SWT. Karena disibukkan dengan urusan pekerjaan ataupun urusan yang bersifat duniawi, orang-orang yang berada di kota merasakan kekeringan hati. Nurani terasa mati sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Pada titik ini, mudik menjadi ajang mencari ketenangan batin dan memperlembut jiwa. Suasana alam pedesaan atau kampung halaman yang asri dan masih jauh dari cengkeraman modernitas semu merupakan ruang kondusif bagi lahirnya konsep diri yang asli. Kesadaran bertuhan, kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai makhluk sosial, dan kesadaran memakmurkan kehidupan ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman. Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Idul Fitri di mana setiap manusia kembali ke dalam kondisi fitrah yang suci setelah sebulan berpuasa.
Tradisi mudik yang menjadi fenomena sosio-religius ini seakan-akan menyimpan kearifan kultural. Namun demikian, tradisi mudik juga menandakan ketimpangan kemakmuran daerah. Tradisi mudik yang kentara di negeri ini menunjukkan kurang meratanya akses penghidupan yang layak. Lahan pekerjaan dan jaminan hidup layak tidak didapatkan di pedesaan atau kota-kota kecil. Kota-kota besar menjadi pelarian dari keterhimpitan hidup meskipun mengais nafkah di kota-kota besar tidak selalu menjamin keberhasilan. Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak lanjutan dari tradisi mudik: urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan.
Dalam hal ini, tradisi mudik hendaknya menyadarkan pemerintah untuk memeratakan pembangunan dan akses penghidupan di masing-masing daerah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus diberi tanda seru. Artinya, cukup sudah perpindahan penduduk menyerbu kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu juga bertanggung jawab memajukan daerahnya seperti diteriakkan lantang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul ”Jakarta”: Tinggallah di daerah dan saatnya membangun daerah menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik, dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti Transform Institute Yogyakarta
1 komentar:
Obat Kuat Herbal herba max obat kuat yang terbuat dari bahan bahan herbal asli indonesia. khasiat obat ini adalah untuk memelihara gairah seks agar tetap membara. obat kuat herba max berbeda dengan obat kuat import karena di dalam obat kuat herbal herba max ini bekerja dengan cepat tapi pasti karena sifatnya yang herbal. meskipun demikian Obat kuat herbal herbamax mampu mengembalikan gairah seksual yang menurun
Posting Komentar