Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 9 September 2010
Menjelang akhir ibadah puasa Ramadan, pesan-pesan moral mengeluarkan zakat marak dilakukan. Lembaga-lembaga yang mengelola zakat pun membuat publikasi agar masyarakat mengetahui pilihan tepat untuk menyalurkan zakat. Ceramah dan kajian Ramadan tak ketinggalan menyerukan kewajiban berzakat yang menggenapkan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Batas maksimal zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam ini diberikan sebelum salat Idul Fitri.
Dilihat secara bahasa, zakat memiliki arti tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah. Zakat dapat pula bermakna membersihkan atau mensucikan. Allah SWT berfirman, “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.”(Qs. At-Taubah:103). Dalam kitab Al-Hawiy, Al-Marwadi menyebut zakat sebagai nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Zakat sebagai ibadah wajib diperintahkan Allah SWT dalam beberapa ayat Al-Qur’an. “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat,…”(Qs. Al-Baqarah:43). Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal salih, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Qs. Al-Baqarah:277).
Jika diperhatikan, perintah zakat dalam Al-Qur’an selalu disebut setelah perintah salat. Zakat disebutkan oleh Allah SWT bersamaan dengan perintah salat, kata Yusuf Qardhawy, karena keduanya merupakan syi’ar dan ibadah yang diwajibkan. Kalau salat merupakan ibadah ruhiyah, maka zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah (harta dan sosial). Tetapi, tetap saja zakat juga merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT, maka niat dan keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh syari’at. Tidak diterima zakat tersebut kecuali dengan niat ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Dengan demikian, zakat memiliki dimensi transendental sekaligus dimensi horizontal. Kewajiban zakat mengandung misi profetik dengan pilar transendensi, humanisasi, dan liberasi. Zakat adalah ibadah maliyah yang memiliki dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT. Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, dan pengikat persatuan umat dan bangsa. Kelompok masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin diikat batinnya melalui zakat, sehingga tidak menciptakan jurang yang menganga antara golongan masyarakat yang kuat dengan yang lemah (Budi Dharmawan: 2004). Melalui zakat, kepedulian sosial diwujudnyatakan dimana kelompok masyarakat kaya merasa terpanggil untuk memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
Kewajiban zakat memang menyimpan kearifan sosial. Namun demikian, penyaluran zakat dituntut berdaya guna. Artinya, ada sisi pemberdayaan masyarakat dari penyaluran zakat, sehingga para penerima zakat (mustahik) mampu memberdayakan diri. Zakat yang berlandaskan keimanan kepada Allah SWT (transendensi) selayaknya mampu memanusiakan manusia (humanisasi) dan memerdekakan warga dari keterpurukan dan kemiskinan (liberasi). Maka, pemberian zakat yang hanya bersifat karikatif seyogianya tidak terjadi lagi. Justru para penerima zakat diupayakan untuk tidak menerima zakat pada tahun berikutnya. Pemberian zakat yang sekadar belas kasihan cenderung tidak memberdayakan. Pengalaman selama ini ada para wajib zakat (muzzaki) yang memberikan zakatnya sendiri dengan dibagikan kepada warga di sekitarnya. Zakat akhirnya tak lebih dari bantuan yang hanya cukup digunakan sehari-dua hari oleh warga penerima zakat. Dalam hal ini, para muzzaki diharapkan dapat mempercayakan pemberian zakatnya kepada badan pengelola zakat (amil zakat), baik yang dibentuk pemerintah maupun swasta. Kejadian pembagian zakat di mana warga miskin berebutan dan berdesak-desakan mendapatkan zakat berupa uang dan ada yang menjadi korban harapannya tak terulang lagi.
Warga miskin yang menjadi salah satu penerima zakat pastinya bisa diberdayakan lewat potensi dana zakat, sehingga kehidupannya lebih sejahtera. Menurut penelitian UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation (2005), potensi zakat bisa mencapai Rp 14,2 triliun. Dari Rp 14,2 triliun itu, Rp 6,2 triliun di antaranya berasal dari zakat fitrah dan Rp 13,1 triliun berasal dari zakat mal. Jika zakat mampu dikelola dengan benar, maka bisa meningkatkan taraf hidup warga miskin. Dana potensi zakat sedapat mungkin dapat mengentaskan kemiskinan yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Maret 2010 lalu menyebutkan masih sekitar 32,53 juta penduduk miskin di negeri ini. Misi profetik zakat menghendaki pemberdayaan masyarakat melalui pembagian zakat sebagai ikhtiar menciptakan keadilan sosial dan kemakmuran yang merata. Kewajiban berzakat harus berdampak bagi peningkatan kesejahteraan hidup warga miskin. Peningkatan kesejahteraan hidup ini juga berarti peningkatan status warga dari mustahik menjadi muzzaki.
Dalam menunaikan kewajiban zakat, alangkah lebih tepat jika para muzzaki tidak bergerak secara individual, tapi mempercayakannya kepada badan pengelola zakat. Pada titik ini, badan pengelola zakat dituntut bekerja profesional dalam mengelola dan menyalurkan zakat. Akuntabilitas tetap perlu dijaga dengan memperjelas sasaran para penerima zakat dan program yang digulirkan dari potensi dana zakat. Zakat untuk modal warga miskin mengembangkan usahanya menjadi salah satu alternatif dengan tujuan taraf hidup warga miskin meningkat. Tentu saja, penggunaan zakat untuk pengembangan usaha bagi warga miskin tetap perlu mendapatkan kontrol dan bimbingan. Dengan pengguliran program-program yang terarah dan berkesinambungan, potensi dana zakat bisa untuk mengatasi kasus kelaparan dan gizi buruk yang kerapkali mencuat di negeri ini. Potensi dana zakat bisa dikelola untuk mencegah anak-anak putus sekolah, perbaikan sarana-prasarana pendidikan, ataupun pengadaan bahan-bahan bacaan yang mencerdaskan. Zakat untuk pendidikan menjadi alternatif untuk turut serta memajukan kualitas anak-anak bangsa. Zakat mengandung misi profetik untuk membebaskan warga miskin dari kemelaratan dan kenestapaan, sehingga mampu berdaya dalam menapaki kehidupan. Penunaian kewajiban zakat harus dapat menyejahterakan setiap warga di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia (FO-1)
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 9 September 2010
Menjelang akhir ibadah puasa Ramadan, pesan-pesan moral mengeluarkan zakat marak dilakukan. Lembaga-lembaga yang mengelola zakat pun membuat publikasi agar masyarakat mengetahui pilihan tepat untuk menyalurkan zakat. Ceramah dan kajian Ramadan tak ketinggalan menyerukan kewajiban berzakat yang menggenapkan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Batas maksimal zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam ini diberikan sebelum salat Idul Fitri.
Dilihat secara bahasa, zakat memiliki arti tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah. Zakat dapat pula bermakna membersihkan atau mensucikan. Allah SWT berfirman, “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.”(Qs. At-Taubah:103). Dalam kitab Al-Hawiy, Al-Marwadi menyebut zakat sebagai nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Zakat sebagai ibadah wajib diperintahkan Allah SWT dalam beberapa ayat Al-Qur’an. “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat,…”(Qs. Al-Baqarah:43). Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal salih, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Qs. Al-Baqarah:277).
Jika diperhatikan, perintah zakat dalam Al-Qur’an selalu disebut setelah perintah salat. Zakat disebutkan oleh Allah SWT bersamaan dengan perintah salat, kata Yusuf Qardhawy, karena keduanya merupakan syi’ar dan ibadah yang diwajibkan. Kalau salat merupakan ibadah ruhiyah, maka zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah (harta dan sosial). Tetapi, tetap saja zakat juga merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT, maka niat dan keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh syari’at. Tidak diterima zakat tersebut kecuali dengan niat ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Dengan demikian, zakat memiliki dimensi transendental sekaligus dimensi horizontal. Kewajiban zakat mengandung misi profetik dengan pilar transendensi, humanisasi, dan liberasi. Zakat adalah ibadah maliyah yang memiliki dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT. Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, dan pengikat persatuan umat dan bangsa. Kelompok masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin diikat batinnya melalui zakat, sehingga tidak menciptakan jurang yang menganga antara golongan masyarakat yang kuat dengan yang lemah (Budi Dharmawan: 2004). Melalui zakat, kepedulian sosial diwujudnyatakan dimana kelompok masyarakat kaya merasa terpanggil untuk memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
Kewajiban zakat memang menyimpan kearifan sosial. Namun demikian, penyaluran zakat dituntut berdaya guna. Artinya, ada sisi pemberdayaan masyarakat dari penyaluran zakat, sehingga para penerima zakat (mustahik) mampu memberdayakan diri. Zakat yang berlandaskan keimanan kepada Allah SWT (transendensi) selayaknya mampu memanusiakan manusia (humanisasi) dan memerdekakan warga dari keterpurukan dan kemiskinan (liberasi). Maka, pemberian zakat yang hanya bersifat karikatif seyogianya tidak terjadi lagi. Justru para penerima zakat diupayakan untuk tidak menerima zakat pada tahun berikutnya. Pemberian zakat yang sekadar belas kasihan cenderung tidak memberdayakan. Pengalaman selama ini ada para wajib zakat (muzzaki) yang memberikan zakatnya sendiri dengan dibagikan kepada warga di sekitarnya. Zakat akhirnya tak lebih dari bantuan yang hanya cukup digunakan sehari-dua hari oleh warga penerima zakat. Dalam hal ini, para muzzaki diharapkan dapat mempercayakan pemberian zakatnya kepada badan pengelola zakat (amil zakat), baik yang dibentuk pemerintah maupun swasta. Kejadian pembagian zakat di mana warga miskin berebutan dan berdesak-desakan mendapatkan zakat berupa uang dan ada yang menjadi korban harapannya tak terulang lagi.
Warga miskin yang menjadi salah satu penerima zakat pastinya bisa diberdayakan lewat potensi dana zakat, sehingga kehidupannya lebih sejahtera. Menurut penelitian UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation (2005), potensi zakat bisa mencapai Rp 14,2 triliun. Dari Rp 14,2 triliun itu, Rp 6,2 triliun di antaranya berasal dari zakat fitrah dan Rp 13,1 triliun berasal dari zakat mal. Jika zakat mampu dikelola dengan benar, maka bisa meningkatkan taraf hidup warga miskin. Dana potensi zakat sedapat mungkin dapat mengentaskan kemiskinan yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Maret 2010 lalu menyebutkan masih sekitar 32,53 juta penduduk miskin di negeri ini. Misi profetik zakat menghendaki pemberdayaan masyarakat melalui pembagian zakat sebagai ikhtiar menciptakan keadilan sosial dan kemakmuran yang merata. Kewajiban berzakat harus berdampak bagi peningkatan kesejahteraan hidup warga miskin. Peningkatan kesejahteraan hidup ini juga berarti peningkatan status warga dari mustahik menjadi muzzaki.
Dalam menunaikan kewajiban zakat, alangkah lebih tepat jika para muzzaki tidak bergerak secara individual, tapi mempercayakannya kepada badan pengelola zakat. Pada titik ini, badan pengelola zakat dituntut bekerja profesional dalam mengelola dan menyalurkan zakat. Akuntabilitas tetap perlu dijaga dengan memperjelas sasaran para penerima zakat dan program yang digulirkan dari potensi dana zakat. Zakat untuk modal warga miskin mengembangkan usahanya menjadi salah satu alternatif dengan tujuan taraf hidup warga miskin meningkat. Tentu saja, penggunaan zakat untuk pengembangan usaha bagi warga miskin tetap perlu mendapatkan kontrol dan bimbingan. Dengan pengguliran program-program yang terarah dan berkesinambungan, potensi dana zakat bisa untuk mengatasi kasus kelaparan dan gizi buruk yang kerapkali mencuat di negeri ini. Potensi dana zakat bisa dikelola untuk mencegah anak-anak putus sekolah, perbaikan sarana-prasarana pendidikan, ataupun pengadaan bahan-bahan bacaan yang mencerdaskan. Zakat untuk pendidikan menjadi alternatif untuk turut serta memajukan kualitas anak-anak bangsa. Zakat mengandung misi profetik untuk membebaskan warga miskin dari kemelaratan dan kenestapaan, sehingga mampu berdaya dalam menapaki kehidupan. Penunaian kewajiban zakat harus dapat menyejahterakan setiap warga di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia (FO-1)
1 komentar:
Obat Kuat Herbal herba max obat kuat yang terbuat dari bahan bahan herbal asli indonesia. khasiat obat ini adalah untuk memelihara gairah seks agar tetap membara. obat kuat herba max berbeda dengan obat kuat import karena di dalam obat kuat herbal herba max ini bekerja dengan cepat tapi pasti karena sifatnya yang herbal. meskipun demikian Obat kuat herbal herbamax mampu mengembalikan gairah seksual yang menurun
Posting Komentar