Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Rabu 22 September 2010
Beberapa kali muncul unek-unek yang menyoal minimnya semangat penggiat pers mahasiswa menghidupkan media terbitannya sendiri. Penggiat pers mahasiswa lebih suka menulis di koran lokal dan nasional ketimbang menggarap maksimal penerbitan pers mahasiswa. Disadari atau tidak, fenomena semacam itu hampir menggejala di kampus-kampus. Secara ekstrem, terjadi degradasi kualitas pers mahasiswa beberapa tahun belakangan. Jika pers mahasiswa dikatakan bertaji, itu hanya nostalgia generasi lampau.
Dalam hal ini, daya pikat materi mungkin ada benarnya menjadi sebab tidak tertariknya penggiat pers mahasiswa mengeksiskan penerbitannya sendiri. Pragmatisme seakan-akan tampak, dimana menulis sekadar diukur dengan uang. Apalagi dengan terdesaknya mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan finansial, menulis di koran-koran dijadikan strategi mencari rupiah. Apa yang dilakukan itu tidak salah, tapi hendaknya sisi perjuangan dan penyampaian pemikiran tidak lenyap. Menulis di koran sebenarnya tidaklah lebih mudah dibanding menulis di media pers mahasiswa. Tidak setiap mahasiswa yang menulis di koran dimuat setelah uji kualitas tulisan. Mungkin juga ada faktor ‘’keberuntungan’’. Menulis di koran juga ilmiah, meski dalam bentuk ilmiah populer.
Pastinya, mahasiswa yang masih awal terlibat dalam pers mahasiswa tidak bisa langsung diarahkan menerbitkan "media unggulan". Ada proses yang dilalui seperti menerbitkan buletin kecil-kecilan sebagai media latihan. Ketika saya membimbing teman-teman pers mahasiswa angkatan muda, buletin empat halaman bisa konsisten terbit sepekan atau dua pekan. Melalui buletin yang empat halaman itu mahasiswa bisa menulis. Apapun isi tulisannya, biarkan buletin kecil-kecilan itu mempublikasikan karya-karya tulisan mahasiswa yang sedikit banyak memberikan kebanggaan.
Bagi saya, adanya fakta enggannya penggiat pers mahasiswa menerbitkan medianya sendiri merupakan bencana. Pikiran penggiat pers mahasiswa perlu diorientasikan ulang. Menulis untuk konsistensi penerbitan pers mahasiswa tidak kurang mulianya dengan menulis di koran. Menulis itu menyampaikan ilmu dan pemikiran. Menulis tidak sekadar mencari honor, tapi membawa misi pencerahan pada kehidupan publik. Menulis juga sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman.
Jika penerbitan pers mahasiswa tidak konsisten, maka akar persoalan lebih terletak pada penggiat pers mahasiswa. Perlu ada orientasi dan motivasi bagi penggiat pers mahasiswa bahwa menghidupkan pers mahasiswa itu mulia. Kampus harus dijadikan ‘’wilayah juang’’ penggiat pers mahasiswa dengan torehan penanya.
Hendra Sugiantoro
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
085228438047
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/22/124222/Pers-Mahasiswa-Itu-Mulia
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Rabu 22 September 2010
Beberapa kali muncul unek-unek yang menyoal minimnya semangat penggiat pers mahasiswa menghidupkan media terbitannya sendiri. Penggiat pers mahasiswa lebih suka menulis di koran lokal dan nasional ketimbang menggarap maksimal penerbitan pers mahasiswa. Disadari atau tidak, fenomena semacam itu hampir menggejala di kampus-kampus. Secara ekstrem, terjadi degradasi kualitas pers mahasiswa beberapa tahun belakangan. Jika pers mahasiswa dikatakan bertaji, itu hanya nostalgia generasi lampau.
Dalam hal ini, daya pikat materi mungkin ada benarnya menjadi sebab tidak tertariknya penggiat pers mahasiswa mengeksiskan penerbitannya sendiri. Pragmatisme seakan-akan tampak, dimana menulis sekadar diukur dengan uang. Apalagi dengan terdesaknya mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan finansial, menulis di koran-koran dijadikan strategi mencari rupiah. Apa yang dilakukan itu tidak salah, tapi hendaknya sisi perjuangan dan penyampaian pemikiran tidak lenyap. Menulis di koran sebenarnya tidaklah lebih mudah dibanding menulis di media pers mahasiswa. Tidak setiap mahasiswa yang menulis di koran dimuat setelah uji kualitas tulisan. Mungkin juga ada faktor ‘’keberuntungan’’. Menulis di koran juga ilmiah, meski dalam bentuk ilmiah populer.
Pastinya, mahasiswa yang masih awal terlibat dalam pers mahasiswa tidak bisa langsung diarahkan menerbitkan "media unggulan". Ada proses yang dilalui seperti menerbitkan buletin kecil-kecilan sebagai media latihan. Ketika saya membimbing teman-teman pers mahasiswa angkatan muda, buletin empat halaman bisa konsisten terbit sepekan atau dua pekan. Melalui buletin yang empat halaman itu mahasiswa bisa menulis. Apapun isi tulisannya, biarkan buletin kecil-kecilan itu mempublikasikan karya-karya tulisan mahasiswa yang sedikit banyak memberikan kebanggaan.
Bagi saya, adanya fakta enggannya penggiat pers mahasiswa menerbitkan medianya sendiri merupakan bencana. Pikiran penggiat pers mahasiswa perlu diorientasikan ulang. Menulis untuk konsistensi penerbitan pers mahasiswa tidak kurang mulianya dengan menulis di koran. Menulis itu menyampaikan ilmu dan pemikiran. Menulis tidak sekadar mencari honor, tapi membawa misi pencerahan pada kehidupan publik. Menulis juga sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman.
Jika penerbitan pers mahasiswa tidak konsisten, maka akar persoalan lebih terletak pada penggiat pers mahasiswa. Perlu ada orientasi dan motivasi bagi penggiat pers mahasiswa bahwa menghidupkan pers mahasiswa itu mulia. Kampus harus dijadikan ‘’wilayah juang’’ penggiat pers mahasiswa dengan torehan penanya.
Hendra Sugiantoro
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
085228438047
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/22/124222/Pers-Mahasiswa-Itu-Mulia
1 komentar:
Obat Kuat Herbal herba max obat kuat yang terbuat dari bahan bahan herbal asli indonesia. khasiat obat ini adalah untuk memelihara gairah seks agar tetap membara. obat kuat herba max berbeda dengan obat kuat import karena di dalam obat kuat herbal herba max ini bekerja dengan cepat tapi pasti karena sifatnya yang herbal. meskipun demikian Obat kuat herbal herbamax mampu mengembalikan gairah seksual yang menurun
Posting Komentar