Guru dan Tradisi Menulis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Selasa, 21 Juni 2011

Judul Buku: Melejitkan Karir Guru Dengan Menulis Penulis: Sudaryanto Penerbit: LeutikaPrio, Yogyakarta Cetakan: I, April 2011 Tebal: x+119 halaman Harga: Rp. 33.000,00

Membaca buku ini, saya mencoba merenung. Mungkin benar apabila tradisi menulis di kalangan guru masih rendah. Tak banyak guru yang menjadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan. Urusan sertifikasi yang dirunyamkan oleh kecurangan guru dengan melakukan plagiarisme ataupun transaksi karya tulis bisa menjadi bukti sahih. Namun demikian, guru bukan berarti tak ada yang giat menulis. Masih ada guru yang menghayati perilaku menulis.


Guru yang menulis maupun yang malas menulis barangkali bisa dilihat dari kenaikan pangkat/golongan. Data yang dilansir tahun lalu (2010) menunjukkan sulitnya guru menembus golongan IV/b. Dari sekitar 2,6 juta guru, sebagian besar terkungkung pada golongan IV/a. Adapun guru yang berada di golongan IV/b hanya 0,87 persen (22.620 guru), golongan IV/c sekitar 0,07 persen (1.820 guru), dan golongan IV/d sekitar 0,02 persen (520 guru). Jarangnya guru membuat karya tulis ilmiah dan karya penelitian menjadi salah satu penyebabnya (halaman 15).


Lewat buku ini, guru didorong untuk mentradisikan laku menulis. Bukankah guru memiliki ilmu, gagasan, pemikiran, aspirasi, dan pengalaman yang bisa dituliskan? Apa yang dituliskan guru tentu bermakna bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Menulis merupakan kemampuan yang perlu diasah oleh guru. Sebagaimana dikatakan Agus Sartono, Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan Nasional, bahwa guru harus membiasakan dan mencontohkan peserta didik untuk menulis.

Mungkin guru memiliki hambatan internal yang bersifat psikologis sehingga enggan menulis. Perasaan tidak berbakat kerap menghinggapi benak guru, padahal menulis hanya membutuhkan tekad dan latihan. Mengutip almarhum Mochtar Lubis, faktor bakat dalam menulis itu hanya 10 persen, sedangkan faktor latihan dan tekad adalah 90 persen. Itu pun jika benar ada bakat dalam menulis. Guru juga hendaknya menghilangkan perasaan takut salah dan disepelekan tulisannya. Tak ada yang sia-sia dalam menulis. Jika ditemui kesalahan dalam menulis, itu bisa menjadi media belajar guru untuk menulis lebih baik. Peluang guru menulis sebenarnya besar. Guru bisa menulis artikel ilmiah populer di surat kabar, menulis artikel ilmiah untuk jurnal, menulis buku pengayaan siswa, dan lainnya. Ruang-ruang bagi guru menuangkan tulisan tak terbatas.


Dalam hal ini, penulis buku tampaknya mencoba merombak paradigma guru yang hanya puas sebagai konsumen. Para guru tampaknya belum mau dan mampu memberdayakan otak kreatifnya. Dengan kata lain, guru memosisikan dirinya sebagai pengguna dan pemanfaat dari tulisan-tulisan orang lain. Guru juga tak memiliki keinginan dan usaha guna bertukar pikiran atau berdialektika lewat tulisan. Boleh jadi bagaikan katak dalam tempurung, guru menutup diri dari pengalaman dan gagasan baru. Guru mengajar senantiasa monoton tanpa pengembangan karena enggan membaca dan memperkaya wawasan. Efeknya, guru tak memiliki bahan untuk menulis. Penulis buku mempertanyakan para guru yang malas menulis. Jika dikatakan guru memiliki kesibukan yang padat, apakah dalam 24 jam sehari benar-benar sibuk? Apakah tak bisa menyisihkan waktu selama 1-2 jam untuk sejenak merenung dan menulis? (halaman 101-110).


Dengan menulis, guru bisa meningkatkan karirnya. Lewat tulisan yang dibuat, guru turut berkontribusi bagi pengembangan dunia pendidikan. Bahkan, guru bisa mendidik khalayak luas, tak hanya di dalam kelas. Buku ini semoga bisa memotivasi guru membangun tradisi menulis.

HENDRA SUGIANTORO

Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: