Menyambut Hari Guru Nasional: Menguatkan Panggilan Jiwa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuar di Opini RADAR JOGJA, Jum'at, 25 November 2011

TENTU tidak berlebihan jika dikatakan masa depan anak-anak berada di pundak guru. Anak-anak yang sedang tumbuh berkembang bisa diarahkan kemana pun oleh guru yang mengajar dan mendidik di sekolah. Peran guru dalam memberikan jalan hidup bagi anak-anak tentu saja menegaskan sebuah makna yang tak sederhana. Guru tidak sekadar masuk kelas dan mengajar, tetapi juga dituntut mampu memberikan cahaya bagi anak-anaknya untuk bersinar di hari depan.

Untuk melihat sosok guru, kita bisa menyimak sosok guru Bu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Bu Muslimah menjadi guru karena panggilan jiwa. Tak menjadi soal berapa materi yang didapatkan dengan mengajar di sebuah sekolah reot SD Muhammadiyah Gantong, Belitong. Dengan jumlah murid yang tak sesuai dengan jumlah ideal dalam satu kelas, Bu Muslimah tetap menunjukkan spirit guru yang mengajar, mengarahkan, membimbing, dan mendidik. Karena panggilan jiwa, Bu Muslimah tidak memiliki pikiran selintas pun untuk pindah sekolah yang lebih menjanjikan. Bu Muslimah mampu memotivasi sepuluh anak dalam Laskar Pelangi, melihat potensi-potensi mereka untuk dijadikan energi keberhasilan.

Menjadi guru dengan penuh pengabdian memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di seantero Indonesia ini, sosok guru seperti Bu Muslimah sebenarnya tidaklah sedikit. Masih banyak sosok lain di luar Bu Muslimah yang memiliki pengabdian luar biasa. Di pulau-pulau terpencil, di sudut-sudut desa, ataupun pelosok jauh tak terjangkau mata, sosok guru yang memiliki pengabdian dan menjadi guru karena panggilan jiwa boleh jadi tidak pernah kita bayangkan sedikit pun.

Disadari atau tidak, kehadiran guru dalam pendidikan anak-anak melampaui pentingnya penggunaan internet yang saat ini sudah mewabah hingga masuk sekolah. Anak-anak sebagai manusia memerlukan pendekatan manusiawi oleh sosok guru yang tidak bisa digantikan oleh benda apapun. Maka, tidak salah jika guru dalam leksikon Jawa diakronimkan dengan ungkapan “digugu lan ditiru”. Guru harapannya bisa dipegang kebenaran kata dan bisa diteladani perilakunya. Dari guru, anak-anak didik belajar akan makna hidup, motivasi, semangat, dan mentalitas. Gurulah yang melahirkan sosok-sosok besar yang berpikir dan bertindak besar dalam kehidupan. Kesadaran itulah yang mengilhami KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan lembaga pendidikan khasnya. Saat ditahan di Bengkulu, Soekarno mengajari anak-anak sejumlah pelajaran dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Pernah juga Jendral Soedirman menjadi guru dan kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Selain mereka, masih banyak tokoh-tokoh bangsa yang merelakan hidup sebagai guru demi terlahirnya anak-anak bangsa yang bernurani, cendekia, sekaligus memiliki kemandirian dan kemerdekaan.

Pilihan hidup menjadi seorang guru tentu tak sekadar materi yang ingin didapatkan. Guru bukanlah politisi yang terus berburu popularitas atau mencari status sosial terhormat di masyarakat. Menjadi guru adalah panggilan jiwa untuk mewujudkan peradaban yang bermartabat. Melalui tangan-tangan guru, anak-anak bangsa tumbuh menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru adalah sosok yang memainkan peran untuk memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Motivasi dan tujuan luhur inilah yang seyogianya mendasari siapa pun ketika membulatkan tekad dan langkah menjadi guru.

Pungkasnya, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menjadi guru adalah jalan juang yang menyimpan kemuliaan. Di tangan guru, eksistensi bangsa dan negara dipertaruhkan. Menjadi guru adalah sebuah bentuk keberanian untuk membawa anak-anak bangsa menuju cita-cita. Menjadi guru adalah sebuah bentuk pengorbanan demi terlahirnya manusia Indonesia yang kuasa belajar dari masa lalu, berinteraksi dengan masa kini, dan mampu beradaptasi dengan masa depan. Tegasnya, menjadi guru adalah kemuliaan untuk tidak meninggalkan generasi lemah di negeri yang kita cintai ini. Maka, sebuah keniscayaan jika saatnya menjadi guru karena panggilan jiwa. Guru yang tulus mengabdi tanpa henti. Guru yang memang layak disebut pahlawan karena berharap ridha dan pahala Tuhan. Setelah itu, pahlawan tak ada salahnya diberi “tanda jasa” oleh pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Selamat Hari Guru, 25 November. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO


0 komentar: