Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Jum'at 23 Januari 2009
PERSOALAN anak-anak pada zaman kini lebih kompleks ketimbang di zaman lampau. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Anak tidak sekadar menjadikan guru di kelas sebagai sumber belajar, tapi juga setiap teknologi informasi menjadi sumber belajar yang sering kali lebih efektif daripada sumber belajar berupa manusia (orang tua/guru). Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif ataupun negatif yang tentu saja mampu membentuk sikap dan perilaku anak.
Tentu saja, imbas positif dari teknologi informasi menjadi harapan segenap pihak. Namun, adanya perilaku negatif yang dilakukan anak sudah tidak dimungkiri lagi, bahkan perilaku itu memprihatinkan. Kita sering kali menyaksikan berita kriminal yang justru dilakukan anak-anak seusia sekolah, seperti pencurian, pemerkosaan, dan lainnya. Kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak sekolah tidak sulit lagi dicari di era kini. Ada anak yang belajar kekerasan dari televisi sehingga kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. Dari tontonan, ada anak laki-laki seusia SD-SMP berani melakukan pencabulan terhadap anak perempuan yang masih balita. Begitu pun perilaku seks bebas dilakukan anak-anak usia sekolah, tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa. Pastinya, perilaku kurang mulia lainnya masih cukup banyak yang dilakukan anak-anak.
Menyaksikan fenomena tersebut sering kali yang menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolah dikatakan tidak mampu mendidik siswa-siswanya secara baik. Anggapan seperti itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya tepat. Artinya, pihak keluarga selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Pasalnya, pendidikan anak tidak mutlak berada di tangan sekolah, tapi juga keluarga. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa abai terhadap kondisi anak.
Pihak keluarga jelas merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Selain pendidikan formal, ada pendidikan yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi, sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau dimana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan. Pendidikan anak memang menjadi sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral.
Disadari atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah justru telah menggejala dewasa ini. Lemahnya peran keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, kata Deni Al-Asy’ari (2007), tidak terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata. Orang tua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai anak-anaknya menempuh bangku sekolah, orang tua sudah merasa bangga dan tugasnya selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tidak bisa mengembangkan kualitas anak seutuhnya tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Harus jujur diakui jika tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan setiap semester membuat guru lebih menonjolkan pengembangan kecerdasan kognisi. Itu artinya pengembangan kecerdasan emosi, sosial, dan moral anak di bangku sekolah sedikit didapatkan.
Pentingnya pendidikan dalam keluarga ini seyogianya menyadarkan orang tua untuk dapat menjalin komunikasi seintensif mungkin. Perilaku kurang mulia anak sering kali diakibatkan kondisi kehidupan keluarganya yang tidak stabil. Di era kini, orang tua sering kali lebih disibukkan urusan mencari uang sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak-anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Keluarga sudah saatnya menjadi tempat berlari bagi anak ketika menghadapi permasalahan di dunia luar.
Pungkasnya sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana pun, tak bisa dimungkiri jika inti dari proses pendidikan adalah menggarap individu manusia. Pendidikan adalah seni membentuk manusia, kata Anis Matta yang merangkum seluruh definisi pendidikan. Membentuk individu manusia tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga perlu ditanamkan nilai-nilai agar mampu menghadapi realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam kehidupan keluarga merupakan amanah yang memang harus dipelihara dan dijaga agar memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Meminjam Socrates, pihak keluarga perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti muda pada FKIP Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Jum'at 23 Januari 2009
PERSOALAN anak-anak pada zaman kini lebih kompleks ketimbang di zaman lampau. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Anak tidak sekadar menjadikan guru di kelas sebagai sumber belajar, tapi juga setiap teknologi informasi menjadi sumber belajar yang sering kali lebih efektif daripada sumber belajar berupa manusia (orang tua/guru). Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif ataupun negatif yang tentu saja mampu membentuk sikap dan perilaku anak.
Tentu saja, imbas positif dari teknologi informasi menjadi harapan segenap pihak. Namun, adanya perilaku negatif yang dilakukan anak sudah tidak dimungkiri lagi, bahkan perilaku itu memprihatinkan. Kita sering kali menyaksikan berita kriminal yang justru dilakukan anak-anak seusia sekolah, seperti pencurian, pemerkosaan, dan lainnya. Kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak sekolah tidak sulit lagi dicari di era kini. Ada anak yang belajar kekerasan dari televisi sehingga kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. Dari tontonan, ada anak laki-laki seusia SD-SMP berani melakukan pencabulan terhadap anak perempuan yang masih balita. Begitu pun perilaku seks bebas dilakukan anak-anak usia sekolah, tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa. Pastinya, perilaku kurang mulia lainnya masih cukup banyak yang dilakukan anak-anak.
Menyaksikan fenomena tersebut sering kali yang menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolah dikatakan tidak mampu mendidik siswa-siswanya secara baik. Anggapan seperti itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya tepat. Artinya, pihak keluarga selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Pasalnya, pendidikan anak tidak mutlak berada di tangan sekolah, tapi juga keluarga. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa abai terhadap kondisi anak.
Pihak keluarga jelas merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Selain pendidikan formal, ada pendidikan yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi, sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau dimana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan. Pendidikan anak memang menjadi sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral.
Disadari atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah justru telah menggejala dewasa ini. Lemahnya peran keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, kata Deni Al-Asy’ari (2007), tidak terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata. Orang tua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai anak-anaknya menempuh bangku sekolah, orang tua sudah merasa bangga dan tugasnya selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tidak bisa mengembangkan kualitas anak seutuhnya tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Harus jujur diakui jika tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan setiap semester membuat guru lebih menonjolkan pengembangan kecerdasan kognisi. Itu artinya pengembangan kecerdasan emosi, sosial, dan moral anak di bangku sekolah sedikit didapatkan.
Pentingnya pendidikan dalam keluarga ini seyogianya menyadarkan orang tua untuk dapat menjalin komunikasi seintensif mungkin. Perilaku kurang mulia anak sering kali diakibatkan kondisi kehidupan keluarganya yang tidak stabil. Di era kini, orang tua sering kali lebih disibukkan urusan mencari uang sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak-anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Keluarga sudah saatnya menjadi tempat berlari bagi anak ketika menghadapi permasalahan di dunia luar.
Pungkasnya sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana pun, tak bisa dimungkiri jika inti dari proses pendidikan adalah menggarap individu manusia. Pendidikan adalah seni membentuk manusia, kata Anis Matta yang merangkum seluruh definisi pendidikan. Membentuk individu manusia tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga perlu ditanamkan nilai-nilai agar mampu menghadapi realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam kehidupan keluarga merupakan amanah yang memang harus dipelihara dan dijaga agar memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Meminjam Socrates, pihak keluarga perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti muda pada FKIP Universitas Negeri Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar