Dimuat di Rema Post Edisi 4/Tahun IV/Agustus 2010
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki visi membangun insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani. Jika pun urutan kata itu dibalik menjadi bernurani, cendekia, dan mandiri, inti dari dari visi tersebut terangkum dalam satu tema: pendidikan profetik. Memang hal ini tampak memaksa,namun bukan tak berdasar.
Sebagaimana kita ketahui,perwujudan visi UNY tersebut tetap memiliki landasan pijak transendensi. Sejak posisi rektor dijabat Sugeng Mardiyono hingga Rochmat Wahab, aspek transendensi kerapkali ditekankan. Mungkin kita masih ingat seruan almarhum Sugeng Mardiyono bahwa ibadah merupakan dasar usaha perwujudan insan cendekia, mandiri, dan bernurani. Dengan dasar ibadah, penyelenggaraan proses pendidikan di UNY tidak semata mementingkan aspek lahiriah, tapi juga batiniah. Ridha Ilahi menjadi koridor dalam upaya perwujudan visi tersebut (Lihat, Majalah Pewara Dinamika UNY Vol. 8, No.11 Juni 2007).
Secara implisit, dari paparan di atas, pendidikan profetik menjadi kunci membangun masyarakat kampus UNY. Malah dapat dikatakan, visi UNY akan terwujud jika mampu menyatukan dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi—meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo. Dalam hal ini, transendensi adalah landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Keimanan tetaplah menjadi kerangka dalam proses pendidikan di kampus ini. Pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006).
Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan di UNY untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak setiap sivitas akademika memiliki ketertundukan pada Tuhan yang memang diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya. Dalam pendidikan profetik, sivitas akademika UNY tidak hanya diarahkan untuk memiliki kesadaran kemanusiaan, tapi juga memiliki kesadaran ketuhanan.
Untuk menjalankan pendidikan profetik di UNY, ada empat tempat yang harus dioptimalkan. Empat tempat ini disebut dengan "catur pusat pendidikan profetik": ruang kuliah, perpustakaan, tempat ibadah, dan organisasi kemahasiswaan. UNY dengan visinya memang harus menjadikan empat ruang ini menjadi kesatuan sistem. Proses pendidikan tidak semata berhenti pada ruang kuliah, tapi juga menjadikan perpustakaan sebagai sarana mengkaji, menelaah, dan mendalami pelbagai disiplin ilmu. Organisasi kemahasiswan juga menjadi sarana pembelajaran mahasiswa. Begitu juga tempat ibadah seperti masjid tak boleh dilupakan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di UNY. Catur pusat pendidikan ini perlu berjalan sinergis. Pertanyaannya, apakah "catur pusat pendidikan" di UNY itu telah menjadi kesatuan organik? Atau malah terkesan bergerak sendiri-sendiri?
Dengan sinergisitas catur pusat pendidikan, maka akan dilahirkan—menurut istilah penulis: "intelektual profetik". Istilah ini tentu masih bisa didiskusikan. Meminjam konsep intelektual (rausyan fikr) Ali Syariati, intelektual profetik memiliki kesatuan dalam pikir dan tindakan, tidak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalaml angkah operasional. Intelektual profetik adalah penentu sekaligus pelaku sejarah, mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis (Lihat, Hendra S, Intelektual Profetik, Progress edisi Ospek UNY, 21/8/2009). Intelektual profetik siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Bahkan, seorang intelektual profetik tidak anti terhadap kekuasaan dengan dalih akan dituduh sebagai pengkhianat intelektual. Seorang intelektual tetap perlu terlibat dalam kekuasaan karena wilayah kekuasaan juga bagian dari perbaikan masyarakat. Intelektual profetik—meminjam Dwi Budiyanto (2009)—tidak berhenti pada penguasaan ilmu semata, tapi juga terjadi transfer of learning. Artinya, apa yang dipelajari dalam belajar membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku sebagai upaya menjadi manusia paripurna.
Memandang perjalanan UNY, kerja-kerja dalam mewujudkan insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani tentu tak henti dilakukan. Namun, menurut penulis, proses pendidikan tidaklah semata terjebak dan berkutat pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter penting, namun bukan segalanya. Pendidikan profetik lebih luas dari itu. Pendidikan profetik mencakup pendidikan keimanan, pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur! Untuk menjalankan pendidikan ini—sekali lagi---UNY perlu menata dan mengelola "catur pusat pendidikan profetik" agar berjalan sinergis.
Tampaknya tulisan ini tak bisa terlalu panjang karena keterbatasan kolom. Apa yang disampaikan penulis di atas perlu didiskusikan lebih lanjut. Koreksi dan masukan tentu diperlukan di tengah kekurangan ilmu dan "kehijauan" penulis. Alangkah diharapkan jika muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahua'lam.
Hendra Sugiantoro
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki visi membangun insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani. Jika pun urutan kata itu dibalik menjadi bernurani, cendekia, dan mandiri, inti dari dari visi tersebut terangkum dalam satu tema: pendidikan profetik. Memang hal ini tampak memaksa,namun bukan tak berdasar.
Sebagaimana kita ketahui,perwujudan visi UNY tersebut tetap memiliki landasan pijak transendensi. Sejak posisi rektor dijabat Sugeng Mardiyono hingga Rochmat Wahab, aspek transendensi kerapkali ditekankan. Mungkin kita masih ingat seruan almarhum Sugeng Mardiyono bahwa ibadah merupakan dasar usaha perwujudan insan cendekia, mandiri, dan bernurani. Dengan dasar ibadah, penyelenggaraan proses pendidikan di UNY tidak semata mementingkan aspek lahiriah, tapi juga batiniah. Ridha Ilahi menjadi koridor dalam upaya perwujudan visi tersebut (Lihat, Majalah Pewara Dinamika UNY Vol. 8, No.11 Juni 2007).
Secara implisit, dari paparan di atas, pendidikan profetik menjadi kunci membangun masyarakat kampus UNY. Malah dapat dikatakan, visi UNY akan terwujud jika mampu menyatukan dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi—meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo. Dalam hal ini, transendensi adalah landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Keimanan tetaplah menjadi kerangka dalam proses pendidikan di kampus ini. Pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006).
Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan di UNY untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak setiap sivitas akademika memiliki ketertundukan pada Tuhan yang memang diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya. Dalam pendidikan profetik, sivitas akademika UNY tidak hanya diarahkan untuk memiliki kesadaran kemanusiaan, tapi juga memiliki kesadaran ketuhanan.
Untuk menjalankan pendidikan profetik di UNY, ada empat tempat yang harus dioptimalkan. Empat tempat ini disebut dengan "catur pusat pendidikan profetik": ruang kuliah, perpustakaan, tempat ibadah, dan organisasi kemahasiswaan. UNY dengan visinya memang harus menjadikan empat ruang ini menjadi kesatuan sistem. Proses pendidikan tidak semata berhenti pada ruang kuliah, tapi juga menjadikan perpustakaan sebagai sarana mengkaji, menelaah, dan mendalami pelbagai disiplin ilmu. Organisasi kemahasiswan juga menjadi sarana pembelajaran mahasiswa. Begitu juga tempat ibadah seperti masjid tak boleh dilupakan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di UNY. Catur pusat pendidikan ini perlu berjalan sinergis. Pertanyaannya, apakah "catur pusat pendidikan" di UNY itu telah menjadi kesatuan organik? Atau malah terkesan bergerak sendiri-sendiri?
Dengan sinergisitas catur pusat pendidikan, maka akan dilahirkan—menurut istilah penulis: "intelektual profetik". Istilah ini tentu masih bisa didiskusikan. Meminjam konsep intelektual (rausyan fikr) Ali Syariati, intelektual profetik memiliki kesatuan dalam pikir dan tindakan, tidak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalaml angkah operasional. Intelektual profetik adalah penentu sekaligus pelaku sejarah, mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis (Lihat, Hendra S, Intelektual Profetik, Progress edisi Ospek UNY, 21/8/2009). Intelektual profetik siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Bahkan, seorang intelektual profetik tidak anti terhadap kekuasaan dengan dalih akan dituduh sebagai pengkhianat intelektual. Seorang intelektual tetap perlu terlibat dalam kekuasaan karena wilayah kekuasaan juga bagian dari perbaikan masyarakat. Intelektual profetik—meminjam Dwi Budiyanto (2009)—tidak berhenti pada penguasaan ilmu semata, tapi juga terjadi transfer of learning. Artinya, apa yang dipelajari dalam belajar membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku sebagai upaya menjadi manusia paripurna.
Memandang perjalanan UNY, kerja-kerja dalam mewujudkan insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani tentu tak henti dilakukan. Namun, menurut penulis, proses pendidikan tidaklah semata terjebak dan berkutat pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter penting, namun bukan segalanya. Pendidikan profetik lebih luas dari itu. Pendidikan profetik mencakup pendidikan keimanan, pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur! Untuk menjalankan pendidikan ini—sekali lagi---UNY perlu menata dan mengelola "catur pusat pendidikan profetik" agar berjalan sinergis.
Tampaknya tulisan ini tak bisa terlalu panjang karena keterbatasan kolom. Apa yang disampaikan penulis di atas perlu didiskusikan lebih lanjut. Koreksi dan masukan tentu diperlukan di tengah kekurangan ilmu dan "kehijauan" penulis. Alangkah diharapkan jika muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahua'lam.
Hendra Sugiantoro
1 komentar:
Obat Kuat Herbal herba max obat kuat yang terbuat dari bahan bahan herbal asli indonesia. khasiat obat ini adalah untuk memelihara gairah seks agar tetap membara. obat kuat herba max berbeda dengan obat kuat import karena di dalam obat kuat herbal herba max ini bekerja dengan cepat tapi pasti karena sifatnya yang herbal. meskipun demikian Obat kuat herbal herbamax mampu mengembalikan gairah seksual yang menurun
Posting Komentar