Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Rema Post, Edisi 5/Tahun IV/Agustus 2010
Puasa Ramadhan kembali menyapa kita. Persiapan-persiapan tak lupa dilakukan untuk mampu menjalankan ibadah di bulan suci ini. Dari persiapan itu, persiapan bersifat immateri lebih utama. Masing-masing diri menyiapkan hati menghadapi bulan Ramadhan. Tak ada kerinduan lain bagi kita kecuali kuasa lebih baik lagi menjalani ibadah puasa Ramadhan tahun ini.
Kerinduan ini bukan semata karena bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, penuh ampunan, dan penuh kasih sayang Ilahi. Siapa pun yang berjumpa Ramadhan pasti merindukan itu. Setiap aktivitas kita ketika Ramadhan akan senantiasa dijaga agar bernilai ibadah. Dengan pahala berlipat-lipat, siapa pun berdaya upaya memperbanyak ritual dan amal saleh. Namun, kerinduan ini lebih luas daripada kemampuan membentuk kesalehan diri. Kita merindukan Ramadhan agar mampu mendidik diri sekaligus membangun kesalehan sosial. Kita berharap mampu menjalani Ramadhan lebih baik untuk sebuah idealisme kebangunan negeri. Kita perlu melakukan puasa profetik. Puasa bukan untuk kepentingan diri semata, tapi juga kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia.
Hal ini didasari fakta belum mampunya ibadah puasa Ramadhan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkali-kali bangsa ini menjalani puasa Ramadhan, namun kurang memberikan dampak signifikan bagi arus perubahan ke arah lebih positif. Salahuddin Wahid (2006) mensinyalir mutu puasa kebanyakan dari kita selama ini belum seperti yang diharapkan. Indikatornya adalah kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang masih merajalela, misalnya, merupakan cermin miskinnya karakter mulia. Perilaku ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan ataupun kriminalitas masih kentara di sekitar kita. Perilaku-perilaku buruk lainnya begitu tampak dalam kehidupan.
Maka, puasa Ramadhan yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tentu tak sekadar berhenti tanpa gerak amal. Puasa diharapkan mampu mendidik masing-masing diri kita menjadi manusia yang berkontribusi bagi kehidupan. Puasa profetik menghendaki kita mampu mempraktikkan dimensi humanisasi dan liberasi dalam kehidupan. Melalui puasa, kita perlu mendidik diri untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tidak hanya berhenti pada bulan Ramadhan. Tantangan dari puasa yang kita lakukan tak sekadar terletak pada kemampuan menahan lapar dan dahaga, tapi kemampuan kita membentuk karakter mulia yang terus bertahan. Puasa profetik diarahkan menggerakkan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Yudi Latif (2006), puasa merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, puasa tak menemukan relevansi.
Pada titik ini, evaluasi diri menjadi niscaya. Puasa Ramadhan hendaknya tidak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Kita tidak dilarang melakukan sedekah sebanyak-banyaknya selama Ramadhan, namun kita juga perlu memiliki solidaritas sosial jangka panjang. Kejujuran yang kita tegakkan selama Ramadhan bukan semata karena Ramadhan penuh pahala, namun kita menyadari bahwa kejujuran merupakan perilaku yang harus kita miliki.
Puasa bernafaskan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan. Dengan puasa profetik, kita menyadari perlunya mengambil peran sejarah meneruskan jejak para Nabi. Hal ini bukan berarti kita akan menjadi Nabi. Kita jelas bukan Nabi dan kita takkan mungkin menjadi Nabi. Namun, kita harus menyadari adanya misi profetik yang terletak di pundak kita dalam membangun kehidupan.
Bagaimana pun, kita memang masih belajar. Kita akan terus belajar mencintai Tuhan. Kita menjalankan puasa untuk mendidik diri kita menjadi manusia profetik. Meminjam pesan dalam Majalah Educinfo FIP UNY Vol II No. 1, Januari-Februari 2008, manusia profetik adalah individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki kekuatan jasmani, luas wawasan berpikirnya, kuasa memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal yang berguna, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.
Mungkin dari penjabaran manusia profetik di atas masih bisa didiskusikan. Penulis melihat karakter-karakter di atas relatif tepat menggambarkan karakter manusia paripurna. Meski pendidikan adalah jalan panjang, namun puasa tahun ini merupakan salah satu ruang pendidikan bagi kita menjadi manusia profetik. Dengan puasa profetik, kita belajar menyeimbangkan tiga aspek fundamental dalam ibadah puasa sebagaimana disebutkan Komaruddin Hidayat (2006) terdiri dari pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, kita mengaktifkan kekuatan rohani, lalu mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, sehingga mengalami proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Ilahi. Pijakan transendensi ini akhirnya mengarahkan kita membangun kehidupan. Dengan menjalankan puasa, kita menyadari tak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan.
Di tengah kekurangan ilmu dan “kehijauan” penulis, artikel ini disajikan. Penulis mohon maaf jika ada kekurangan. Harapannya muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Dimuat di Gagasan Rema Post, Edisi 5/Tahun IV/Agustus 2010
Puasa Ramadhan kembali menyapa kita. Persiapan-persiapan tak lupa dilakukan untuk mampu menjalankan ibadah di bulan suci ini. Dari persiapan itu, persiapan bersifat immateri lebih utama. Masing-masing diri menyiapkan hati menghadapi bulan Ramadhan. Tak ada kerinduan lain bagi kita kecuali kuasa lebih baik lagi menjalani ibadah puasa Ramadhan tahun ini.
Kerinduan ini bukan semata karena bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, penuh ampunan, dan penuh kasih sayang Ilahi. Siapa pun yang berjumpa Ramadhan pasti merindukan itu. Setiap aktivitas kita ketika Ramadhan akan senantiasa dijaga agar bernilai ibadah. Dengan pahala berlipat-lipat, siapa pun berdaya upaya memperbanyak ritual dan amal saleh. Namun, kerinduan ini lebih luas daripada kemampuan membentuk kesalehan diri. Kita merindukan Ramadhan agar mampu mendidik diri sekaligus membangun kesalehan sosial. Kita berharap mampu menjalani Ramadhan lebih baik untuk sebuah idealisme kebangunan negeri. Kita perlu melakukan puasa profetik. Puasa bukan untuk kepentingan diri semata, tapi juga kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia.
Hal ini didasari fakta belum mampunya ibadah puasa Ramadhan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkali-kali bangsa ini menjalani puasa Ramadhan, namun kurang memberikan dampak signifikan bagi arus perubahan ke arah lebih positif. Salahuddin Wahid (2006) mensinyalir mutu puasa kebanyakan dari kita selama ini belum seperti yang diharapkan. Indikatornya adalah kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang masih merajalela, misalnya, merupakan cermin miskinnya karakter mulia. Perilaku ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan ataupun kriminalitas masih kentara di sekitar kita. Perilaku-perilaku buruk lainnya begitu tampak dalam kehidupan.
Maka, puasa Ramadhan yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tentu tak sekadar berhenti tanpa gerak amal. Puasa diharapkan mampu mendidik masing-masing diri kita menjadi manusia yang berkontribusi bagi kehidupan. Puasa profetik menghendaki kita mampu mempraktikkan dimensi humanisasi dan liberasi dalam kehidupan. Melalui puasa, kita perlu mendidik diri untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tidak hanya berhenti pada bulan Ramadhan. Tantangan dari puasa yang kita lakukan tak sekadar terletak pada kemampuan menahan lapar dan dahaga, tapi kemampuan kita membentuk karakter mulia yang terus bertahan. Puasa profetik diarahkan menggerakkan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Yudi Latif (2006), puasa merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, puasa tak menemukan relevansi.
Pada titik ini, evaluasi diri menjadi niscaya. Puasa Ramadhan hendaknya tidak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Kita tidak dilarang melakukan sedekah sebanyak-banyaknya selama Ramadhan, namun kita juga perlu memiliki solidaritas sosial jangka panjang. Kejujuran yang kita tegakkan selama Ramadhan bukan semata karena Ramadhan penuh pahala, namun kita menyadari bahwa kejujuran merupakan perilaku yang harus kita miliki.
Puasa bernafaskan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan. Dengan puasa profetik, kita menyadari perlunya mengambil peran sejarah meneruskan jejak para Nabi. Hal ini bukan berarti kita akan menjadi Nabi. Kita jelas bukan Nabi dan kita takkan mungkin menjadi Nabi. Namun, kita harus menyadari adanya misi profetik yang terletak di pundak kita dalam membangun kehidupan.
Bagaimana pun, kita memang masih belajar. Kita akan terus belajar mencintai Tuhan. Kita menjalankan puasa untuk mendidik diri kita menjadi manusia profetik. Meminjam pesan dalam Majalah Educinfo FIP UNY Vol II No. 1, Januari-Februari 2008, manusia profetik adalah individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki kekuatan jasmani, luas wawasan berpikirnya, kuasa memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal yang berguna, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.
Mungkin dari penjabaran manusia profetik di atas masih bisa didiskusikan. Penulis melihat karakter-karakter di atas relatif tepat menggambarkan karakter manusia paripurna. Meski pendidikan adalah jalan panjang, namun puasa tahun ini merupakan salah satu ruang pendidikan bagi kita menjadi manusia profetik. Dengan puasa profetik, kita belajar menyeimbangkan tiga aspek fundamental dalam ibadah puasa sebagaimana disebutkan Komaruddin Hidayat (2006) terdiri dari pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, kita mengaktifkan kekuatan rohani, lalu mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, sehingga mengalami proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Ilahi. Pijakan transendensi ini akhirnya mengarahkan kita membangun kehidupan. Dengan menjalankan puasa, kita menyadari tak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan.
Di tengah kekurangan ilmu dan “kehijauan” penulis, artikel ini disajikan. Penulis mohon maaf jika ada kekurangan. Harapannya muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
1 komentar:
Obat Kuat Herbal herba max obat kuat yang terbuat dari bahan bahan herbal asli indonesia. khasiat obat ini adalah untuk memelihara gairah seks agar tetap membara. obat kuat herba max berbeda dengan obat kuat import karena di dalam obat kuat herbal herba max ini bekerja dengan cepat tapi pasti karena sifatnya yang herbal. meskipun demikian Obat kuat herbal herbamax mampu mengembalikan gairah seksual yang menurun
Posting Komentar