Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Senin, 27 Juni 2011
Judul Buku: Pesantren Dongeng: Melipur Lara, Menikmati Kisah, Mendulang Hikmah Penulis: Awang Surya Penerbit: Zaman, Jakarta Tahun: I, 2011 Tebal: 244 halaman Harga: Rp. 33.000,00
Kita kerapkali kecewa manakala impian dan keinginan tak tercapai. Kita begitu sulit menerima setiap apa yang kita alami dalam hidup ini secara lapang. Ketidaklapangan justru menjauhkan kita untuk bersikap bijak. Dalam hal ini, ada baiknya kita mendengarkan dongeng dari Kiai Sholeh tentang raja dan patih di sebuah kerajaan.
Ketika sang raja berburu ke hutan tiba-tiba seekor ular berbisa menggigit jari kelingkingnya. Agar bisa ular tak menjalar ke seluruh tubuh, jari kelingking sang raja pun dipotong. Melihat jari tangannya tak lengkap, sang raja malah terus menggerutu. “Paduka Raja, terimalah semua yang telah menjadi ketentuan Yang Kuasa. Pasti ini ada hikmahnya,” kata sang patih. Sang raja berteriak marah, “Hah, Patih! Enak saja kau ngomong begitu! Tanganku kini tidak utuh lagi. Kau benar-benar tak mengerti perasaanku!” Sang raja lantas meminta beberapa prajuritnya membawa pulang sang patih ke istana untuk dijebloskan ke penjara.
Rombongan sang raja yang masih di hutan terus melanjutkan perjalanan. Rupanya rombongan memasuki wilayah suku Bubuhu. Rombongan raja pun ditangkap untuk dijadikan korban sebagai persembahan kepada dewa-dewa. Ketika memeriksa tawanan, kepala suku terkejut ada seseorang yang tak utuh jari tangannya. Kondisi tubuh yang tak utuh dianggap tak bisa dijadikan persembahan karena takutnya malah membawa sial. Karena tak memiliki jari kelingking, sang raja bisa selamat.
Begitulah salah satu dongeng Kiai Sholeh yang disajikan dalam buku ini. Kiai Sholeh menutup dongengnya itu dengan pesan bahwa tak semua yang kita inginkan akan membawa kebaikan dan tak semua yang kita benci membawa keburukan.
Selain di atas, ada banyak lagi dongeng yang dituangkan Awang Surya sebagai penulis buku lewat tokoh Kiai Sholeh. Dongeng tentang desa Suka Makmur yang penduduknya dilanda musibah akibat ikan-ikan di dalam telaga mati juga bisa kita ambil pelajaran. Akibat musibah itu, mata pencaharian penduduk pun hilang. Namun, ada seorang penduduk bernama Pak Badrun yang jeli mengamati ikan-ikan kecil di dalam telaga yang masih hidup. Pak Badrun menangkapnya untuk ditempatkan di dalam kolam rumahnya. Penduduk lainnya malah heran dengan kelakuan Pak Badrun dan menganggapnya sia-sia. Tak peduli dengan kata orang-orang, Pak Badrun tetap memeliharanya. Beberapa waktu berlalu, ikan-ikan kecil yang masih bisa dipelihara tumbuh menjadi ikan-ikan besar dan berkembang biak.
Dari cerita dongeng itu, Kiai Sholeh menekankan untuk jangan berhenti berbuat baik sekecil apa pun. Jika semua orang tak sudi berbuat baik dan bersikap masa bodoh justru itulah bencana. Lewat dongeng Kiai Sholeh itu, Awang Surya mengajak kita merenung sejenak. Di negeri ini memang begitu banyak permasalahan, namun kita janganlah menjadi bagian dari permasalahan. Untuk mengubah wajah negeri, kita perlu memperbaiki diri sendiri. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bukankah sesuatu yang besar adalah kumpulan dari sesuatu yang kecil?
Masih banyak dongeng menarik lainnya yang dipaparkan dalam buku ini. Kiai Sholeh memang memberi pelajaran kepada murid-muridnya dengan cara mendongeng. Maka, disebutlah dengan pesantren dongeng. Dengan dongeng-dongeng itu, kita bisa melipur lara, menikmati kisah, dan mendulang hikmah. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta