Mohammad Natsir dalam Jejak Pena

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Horizon RADAR SURABAYA, Minggu 18 Desember 2011

Natsara artinya penulis kalam atau bertaburan. Konon kata “Natsir” berasal dari kata itu. Dengan diberi nama Natsir, ada harapan tersirat agar anak dari rahim Khadijah ini bisa menjadi seorang penulis yang bertaburan hasil karyanya. Dalam konteks lebih luas, Mohammad Natsir (1908-1993) diharapkan juga bertabur jasanya bagi bangsa dan agama. Benarkah maksud dari pemberian nama Natsir itu? Idris Sutan Saripado, ayah Mohammad Natsir, tentu yang lebih tahu. Atau tanyakan ke Khadijah, ibu yang melahirkan Mohammad Natsir.

Mohammad Natsir tidak hanya dilahirkan sejarah, tetapi juga melahirkan sejarah. Sepanjang usia hidupnya, kiprah Mohammad Natsir tak hanya dalam satu bidang. Ia adalah seorang pejuang, pendidik, politisi, dan juru dakwah. Banyak hal bisa dibahas untuk membicarakan Mohammad Natsir. Dalam tulisan ini, kiprah beliau dalam kancah jurnalistik dan kepenulisan sedikit banyak akan coba diuraikan.

Mohammad Natsir mulai menulis tentunya ketika telah mampu menulis. Kemampuan menulis Mohammad Natsir tidak dimungkiri terus meningkat kualitasnya beriringan dengan akses belajar dan bangku pendidikan yang ditempuhnya. Jika benar Mohammad als Profeet (1929) yang ditulis dalam bahasa Belanda merupakan karya pertama beliau dalam bentuk buku, maka Mohammad Natsir telah menghasilkan buku pada usia sekitar 21 tahun.

Mohammad Natsir telah menghasilkan begitu banyak tulisan. Ketika berkecimpung di organisasi Persatuan Islam (Persis), beliau telah menulis dalam majalah Persis Pembela Islam. Pernah ketika mengenyam pendidikan di Algemene Middlebare School (AMS) Bandung, beliau menulis dengan analisis tajam soal pabrik tebu kolonial. Tugas dari sekolah itu boleh jadi tulisan ilmiah-akademis pertama Mohammad Natsir.

Pada dasarnya, jejak kepenulisan Mohammad Natsir dalam surat kabar-surat kabar di zamannya begitu banyak. Tak hanya di Pembela Islam, beliau juga turut menulis di Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Al-Manar, dan sebagainya. Pemimpin Pandji Islam dan Al-Manaar, ZA Ahmad, pernah berujar, “Tulisannya (baca: Mohammad Natsir) yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan karena lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.”

Disebutkan di atas bahwa Mohammad als Profeet merupakan karya pertama Mohammad Natsir dalam bentuk buku dengan menggunakan bahasa Belanda. Adapun Cultuur Islam (1934) merupakan buku pertama beliau dalam bahasa Indonesia.

Mohammad Natsir dalam jejak kepenulisannya pernah berpolemik dengan Soekarno. Polemik ini tidak terlepas dari kondisi pergerakan nasional saat itu yang seolah-olah membelah dalam dua kubu: Islam dan nasionalisme sekuler. Awalnya Soekarno berpolemik dengan Haji Agus Salim sejak tahun 1920-an. Sampai akhirnya Mohammad Natsir turut masuk dalam perdebatan tersebut. Yang perlu dicatat, Soekarno juga mempublikasikan tulisannya lewat surat kabar Islam, seperti Pandji Islam. Soekarno dan Mohammad Natsir berbicara tentang Islam dengan konsepnya masing-masing. Tulisan-tulisan Soekarno antara lain berjudul Memudahkan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, dan ‘Masjarakat Onta’ dan ‘Masjarakat Kapal-udara’.

Tulisan-tulisan Soekarno mencemaskan dalam pandangan Natsir. Menanggapi tulisan Soekarno, Mohammad Natsir menulis dengan judul, antara lain Tjinta Agama dan Tanah Air, Ichwanu’ Shafaa, Rasionalisme dalam Islam, Islam dan Akal Merdeka, dan Persatuan Agama dengan Negara. Saat Indonesia merdeka, Mohammad Natsir terus aktif menulis di pelbagai surat kabar. Majalah Abadi, Hikmah, Media Dakwah, dan Suara Masjid adalah surat kabar yang pernah mempublikasikan tulisan beliau. Buku-buku beliau berjumlah puluhan, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit jejak kepenulisan Mohammad Natsir. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: