Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 18 Februari 2011
Kejujuran barangkali merupakan karakter yang paling “mahal” sekarang ini. Betapa sulitnya menemukan kejujuran (Ki Supriyoko: 2008, Marzuki: 2010). Tak hanya di ranah kekuasaan dengan perilaku koruptifnya, tetapi juga di dunia pendidikan. Kejujuran telah hilang dari hati nurani insan-insan terdidik. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, fakta tersebut tak mungkin dimungkiri. Ketidakjujuran menggejala di mana-mana, bahkan menjangkiti mahasiswa sebagai salah satu insan terdidik di perguruan tinggi.
Bukti sahih ketidakjujuran itu dapat disaksikan saat perhelatan ujian tengah semester (UTS) atau ujian akhir semester (UAS). Tanpa merasa takut, malu, dan bersalah, ada sebagian mahasiswa yang berani mencontek. Memang ada pengawas ujian, namun mahasiswa seolah-olah tak mempedulikan. Mahasiswa sepertinya kurang percaya diri dengan kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri. Bahkan, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya dengan peserta ujian lainnya meskipun ujian bersifat open book!
Pada dasarnya, perilaku ketidakjujuran tak hanya terkait dengan UTS ataupun UAS. Dalam pengerjaan tugas kuliah pun masih dijumpai mahasiswa yang tak bisa jujur. Dalam hal ini, ada peristiwa menarik yang ingin penulis ceritakan. Dalam suatu perkuliahan yang diikuti penulis, dosen meminta seluruh mahasiswa menyusun makalah secara individual. Ketika pengumpulan tugas makalah, dosen tersebut memeriksa satu persatu makalah. Mungkin apa yang dilakukan dosen tersebut tidak pernah diperkirakan oleh mahasiswa. Apa yang terjadi? Dosen tersebut menemukan beberapa makalah yang isinya sama persis. Artinya, lebih dari satu mahasiswa mengumpulkan makalah yang isinya tidak berbeda meskipun tugas makalah bersifat individual! Salutnya, dosen tersebut juga mengetahui makalah-makalah mahasiswa lainnya yang sekadar copy paste dari internet.
Apa yang diutarakan di atas hanya sebagian contoh dari banyaknya kasus ketidakjujuran lainnya. Mahasiswa tentu memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa ketidakjujuran merupakan sikap dan perilaku yang tidak dihalalkan. Fungsi pengontrolan dan pengawasan memang diperlukan agar mahasiswa bisa berlaku jujur. Namun, apakah mahasiswa harus dikontrol dan diawasi selamanya agar bisa menegakkan kejujuran?
Sebagai individu manusia dewasa, mahasiswa selayaknya bisa bertanggung jawab 100% atas perilakunya sendiri. Mahasiswa tentu tidak perlu diajari lagi tentang etika dan moralitas, karena mahasiswa pastinya telah mengetahui mana perilaku yang positif dan mana perilaku yang tidak positif. Ketidakjujuran merupakan perilaku tidak positif. Thomas Lickona (1992) menyebut membudayanya ketidakjujuran sebagai salah satu tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran (Dwi Budiyanto: 2011; Agus Wibowo: 2012). Artinya, apabila mahasiswa sebagai agent of change dan iron stock telah membiasakan perilaku tidak jujur, maka mahasiswa turut berperan menghancurkan bangsa ini.
Maka, kejujuran sebagai sebuah perbuatan utama selayaknya tidak berhenti pada pengetahuan semata, tetapi hendaknya menjadi pola sikap dan tindakan yang dimiliki mahasiswa. Mengacu pada Hukum Kekekalan Energi, setiap perilaku yang tak baik sebenarnya akan memberikan dampak yang tidak baik. Dampak yang terjadi itu bisa dirasakan saat ini atau malah di masa mendatang. Ketidakjujuran mahasiswa mungkin bisa membuat prestasi akademiknya memuaskan dan lulus dengan baik, namun mahasiswa akan menerima akibat buruknya suatu saat. Dalam khazanah Jawa dikenal pepatah yen ora jujur ajur. Pepatah ini memiliki makna yang perlu diresapi oleh mahasiswa secara mendalam.
Menurut penulis, untuk dapat menegakkan kejujuran, mahasiswa tidak perlu mencari dalih di luar dirinya, misalnya “menyalahkan” pemimpin dan pejabat publik yang kurang dapat dijadikan teladan dalam hal kejujuran. Memang keteladanan itu penting, namun mahasiswa sebagai individu dewasa perlu menantang dirinya agar bisa menunjukkan sikap dan perilaku yang patut dicontoh. Mahasiswa perlu mendidik dirinya sendiri menjadi insan yang berkarakter positif. Berdasarkan hasil survei sebuah lembaga leadership internasional The Leadership Chalenge pada tahun 1987, 1995, dan 2002 di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia (dalam Budiyanto: 2008), pribadi yang jujur merupakan salah satu kompetensi diri dari sebuah karakter yang positif itu.
Mungkin ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa akibat bersemayamnya mentalitas pragmatis. Mahasiswa ditengarai mulai terjebak pada kepentingan hasil semata tanpa memperhatikan proses. Ketidakjujuran bisa juga karena rendahnya motivasi berprestasi. Djamaludin Ancok (2004) menerangkan adanya kaitan antara motivasi berprestasi dengan perilaku individu. Rendahnya motivasi berprestasi yang dimiliki mahasiswa (low achievement motivation) memungkinan terciptanya perilaku tidak jujur. Sebaliknya, mahasiswa yang motivasi berprestasinya tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, mengerjakan sesuatu dengan sejujur-jujurnya. Semoga mahasiswa selalu menegakkan kejujuran di mana pun. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 18 Februari 2011
Kejujuran barangkali merupakan karakter yang paling “mahal” sekarang ini. Betapa sulitnya menemukan kejujuran (Ki Supriyoko: 2008, Marzuki: 2010). Tak hanya di ranah kekuasaan dengan perilaku koruptifnya, tetapi juga di dunia pendidikan. Kejujuran telah hilang dari hati nurani insan-insan terdidik. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, fakta tersebut tak mungkin dimungkiri. Ketidakjujuran menggejala di mana-mana, bahkan menjangkiti mahasiswa sebagai salah satu insan terdidik di perguruan tinggi.
Bukti sahih ketidakjujuran itu dapat disaksikan saat perhelatan ujian tengah semester (UTS) atau ujian akhir semester (UAS). Tanpa merasa takut, malu, dan bersalah, ada sebagian mahasiswa yang berani mencontek. Memang ada pengawas ujian, namun mahasiswa seolah-olah tak mempedulikan. Mahasiswa sepertinya kurang percaya diri dengan kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri. Bahkan, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya dengan peserta ujian lainnya meskipun ujian bersifat open book!
Pada dasarnya, perilaku ketidakjujuran tak hanya terkait dengan UTS ataupun UAS. Dalam pengerjaan tugas kuliah pun masih dijumpai mahasiswa yang tak bisa jujur. Dalam hal ini, ada peristiwa menarik yang ingin penulis ceritakan. Dalam suatu perkuliahan yang diikuti penulis, dosen meminta seluruh mahasiswa menyusun makalah secara individual. Ketika pengumpulan tugas makalah, dosen tersebut memeriksa satu persatu makalah. Mungkin apa yang dilakukan dosen tersebut tidak pernah diperkirakan oleh mahasiswa. Apa yang terjadi? Dosen tersebut menemukan beberapa makalah yang isinya sama persis. Artinya, lebih dari satu mahasiswa mengumpulkan makalah yang isinya tidak berbeda meskipun tugas makalah bersifat individual! Salutnya, dosen tersebut juga mengetahui makalah-makalah mahasiswa lainnya yang sekadar copy paste dari internet.
Apa yang diutarakan di atas hanya sebagian contoh dari banyaknya kasus ketidakjujuran lainnya. Mahasiswa tentu memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa ketidakjujuran merupakan sikap dan perilaku yang tidak dihalalkan. Fungsi pengontrolan dan pengawasan memang diperlukan agar mahasiswa bisa berlaku jujur. Namun, apakah mahasiswa harus dikontrol dan diawasi selamanya agar bisa menegakkan kejujuran?
Sebagai individu manusia dewasa, mahasiswa selayaknya bisa bertanggung jawab 100% atas perilakunya sendiri. Mahasiswa tentu tidak perlu diajari lagi tentang etika dan moralitas, karena mahasiswa pastinya telah mengetahui mana perilaku yang positif dan mana perilaku yang tidak positif. Ketidakjujuran merupakan perilaku tidak positif. Thomas Lickona (1992) menyebut membudayanya ketidakjujuran sebagai salah satu tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran (Dwi Budiyanto: 2011; Agus Wibowo: 2012). Artinya, apabila mahasiswa sebagai agent of change dan iron stock telah membiasakan perilaku tidak jujur, maka mahasiswa turut berperan menghancurkan bangsa ini.
Maka, kejujuran sebagai sebuah perbuatan utama selayaknya tidak berhenti pada pengetahuan semata, tetapi hendaknya menjadi pola sikap dan tindakan yang dimiliki mahasiswa. Mengacu pada Hukum Kekekalan Energi, setiap perilaku yang tak baik sebenarnya akan memberikan dampak yang tidak baik. Dampak yang terjadi itu bisa dirasakan saat ini atau malah di masa mendatang. Ketidakjujuran mahasiswa mungkin bisa membuat prestasi akademiknya memuaskan dan lulus dengan baik, namun mahasiswa akan menerima akibat buruknya suatu saat. Dalam khazanah Jawa dikenal pepatah yen ora jujur ajur. Pepatah ini memiliki makna yang perlu diresapi oleh mahasiswa secara mendalam.
Menurut penulis, untuk dapat menegakkan kejujuran, mahasiswa tidak perlu mencari dalih di luar dirinya, misalnya “menyalahkan” pemimpin dan pejabat publik yang kurang dapat dijadikan teladan dalam hal kejujuran. Memang keteladanan itu penting, namun mahasiswa sebagai individu dewasa perlu menantang dirinya agar bisa menunjukkan sikap dan perilaku yang patut dicontoh. Mahasiswa perlu mendidik dirinya sendiri menjadi insan yang berkarakter positif. Berdasarkan hasil survei sebuah lembaga leadership internasional The Leadership Chalenge pada tahun 1987, 1995, dan 2002 di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia (dalam Budiyanto: 2008), pribadi yang jujur merupakan salah satu kompetensi diri dari sebuah karakter yang positif itu.
Mungkin ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa akibat bersemayamnya mentalitas pragmatis. Mahasiswa ditengarai mulai terjebak pada kepentingan hasil semata tanpa memperhatikan proses. Ketidakjujuran bisa juga karena rendahnya motivasi berprestasi. Djamaludin Ancok (2004) menerangkan adanya kaitan antara motivasi berprestasi dengan perilaku individu. Rendahnya motivasi berprestasi yang dimiliki mahasiswa (low achievement motivation) memungkinan terciptanya perilaku tidak jujur. Sebaliknya, mahasiswa yang motivasi berprestasinya tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, mengerjakan sesuatu dengan sejujur-jujurnya. Semoga mahasiswa selalu menegakkan kejujuran di mana pun. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar