Sejarah dalam Catatan Kecil Rosihan Anwar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku HARIAN JOGJA, Kamis, 16 Februari 2012

Judul Buku: Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 4 Penulis: Rosihan Anwar Penerbit: Kompas, Jakarta Tahun: I, 2010 Tebal: xiv+282 halaman Harga: Rp. 54.000,00

Pada 17 Februari 1946, turun hujan lebat di Jakarta. Di tengah cuaca seperti itu diperingati enam bulan berdirinya Republik Indonesia. Saat itu surat kabar Merdeka di mana Rosihan Anwar turut bekerja menerbitkan sebuah edisi peringatan. Peringatan di berbagai kota memiliki warna tersendiri. Sejak proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia memang belum benar-benar aman.

Ketika itu, Sutan Sjahrir, yang menjabat perdana menteri, mengeluarkan pesan, “Kejadian-kejadian selama enam bulan yang lalu itu adalah gambaran yang nyata daripada perjalanan penghidupan kita. Segala penderitaan yang pahit adalah sebenarnya sumbangan belaka bagi perjuangan kita yang telah kita pilih, yakni lepas dari perbudakan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Meskipun masa yang akan datang akan lebih sesak bagi kita sekalian, marilah kita membulatkan niat selama masih bernafas akan terus-menerus memberikan sumbangan untuk mendapatkan kedudukan yang bagus dalam alam kemerdekaan dan kedewasaan bangsa dan negara.”

Rosihan Anwar yang dikenal sebagai wartawan empat zaman yang mumpuni diakui tak pernah lupa untuk mencatat setiap detail peristiwa. Buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia membuktikan hal itu. Sejak terbit jilid 1 hingga kini jilid 4, buku ini bisa memberikan gambaran terkait kejadian-kejadian yang mungkin kita anggap kecil, tetapi turut menentukan sejarah eksistensi Indonesia. Sebut saja peristiwa saat sidang panitia kemerdekaan pada Minggu, 19 Agustus 1945. Pemerintahan dibentuk tidaklah seketika, tetapi disertai ketegangan, ribuan tanda tanya, kegelisahan, dan pembicaraan yang tersendat.

Diceritakan Rosihan Anwar, keputusan ketika itu sulit dirumuskan. Diketuai Soekarno, suasana sidang tak terlalu cerah. Wakil rakyat dari seluruh Indonesia hadir di dalamnya. Wakil Bali, Mr. Poedje, jarang buka mulut. Dr Amir, wakil dari Sumatera, sepertinya tak ada minat. Kiai Wahid Hasyim suka berdiri dari kursinya dan mondar-mondar keluar. Sajuti Melik mengajukan pertanyaan yang tak mudah dijawab.

Rosihan Anwar juga bercerita saat mendapatkan kunjungan dari A.A. Navis, seorang sastrawan terkenal Indonesia. A.A Navis bercerita telah mengunjungi arsip nasional di negeri Belanda dan membaca dokumen-dokumen mengenai usaha Belanda membentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Sejak Konferensi Malino pada Juli 1946, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook memang getol dengan ide menyusun suatu negara Indonesia Serikat untuk mengimbangi Republik Indonesia. Belanda pun mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) yang dipimpin Presiden Sukawati, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dipimpin Sultan Pontianak Hamid Alkadri, Negara Pasundan dengan Wali Negara Wiranatakusuma, Daerah Istimewa Sumatera Timur dipimpin Dr. Tengku Mansur. Belanda juga hendak membentuk Negara Jawa Tengah, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX yang akan diangkat sebagai pemimpin menolak sehingga Negara Jawa Tengah tak berhasil dibentuk. Nah, rupanya untuk Sumatera Barat juga akan dibentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Karena tak ada tokoh pemimpin yang menonjol dari daerah itu, maka usaha Belanda gagal.

Selain itu, Rosihan Anwar juga memaparkan soal munculnya istilah angkatan 45 dalam sastra Indonesia, peristiwa show of force tentara pada 17 Oktober 1952, dan hal lainnya yang layak kita simak. Ada juga cerita tentang Soedjatmoko, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Lewat buku ini, kita mungkin akan mendapatkan kisah yang tercecer dan jarang terungkapkan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: