Pendidikan Agama Islam di UN-kan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 2 Februari 2012

Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Bab I Pasal 1). Itu artinya, penyelenggaraan proses pendidikan tak bisa mengabaikan sisi kecerdasan sosial dan kecerdasan ruhani peserta didik.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi selama ini, kecerdasan akademik lebih ditonjolkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mendewakan angka-angka menjadi primodona pemangku kepentingan pendidikan. Padahal jelas, pendidikan tak hanya mengembangkan potensi kognitif semata, t
etapi juga mengembangkan kepribadian dan membentuk akhlak mulia peserta didik. Pada titik ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebenarnya berkontribusi melahirkan peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Dalam kurikulum, PAI telah menjadi mata pelajaran tersendiri. Pertanyaannya, haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan dalam ujian nasional (UN)?

Kebijakan mengujikan mata pelajaran PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika pun diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN, program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai kuantitatif
.

Jika kita mau merenung sejenak, mata pelajaran PAI sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat, melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa.
Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI tak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan. Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan tepat, tetapi itu takkan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi membangun mentalitas peserta didik.

Entah disadari atau tidak, dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara mendalam. Seperti kita saksikan, kalangan generasi muda pun semakin hari semakin tak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP
Universitas PGRI Yogyakarta
bisnis syariah

0 komentar: