Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Selasa, 26 Februari 2013
Adanya
pesohor yang bersikap dan berperilaku kurang mulia memang kerapkali mengundang
getir. Banyak pihak memvonis miskinnya keteladanan dalam diri public figure. Begitu pula dengan
“artis” politik yang mengabaikan dan menihilkan etika kekuasaan. Keteladanan tidak
didapatkan dari politisi-politisi busuk yang berbuat korupsi dan tak jelas
kinerjanya bagi kemaslahatan rakyat.
Membaca
figur publik dikaitkan dengan faktor keteladanan, menurut penulis, seyogianya
perlu perubahan cara pandang kita. Selama ini yang tertanam di benak kita
adalah “manusia malaikat” dalam diri pesohor. Pesohor harus berperlaku benar,
bersikap baik, dan layak menjadi panutan. Hal tersebut tidaklah salah, sebab
mereka disaksikan oleh orang-orang banyak. Popularitas mereka pun turut ditopang
oleh keberadaan media massa yang meliput dan mewartakan sepak terjang mereka.
Mereka dituntut dapat menjadi panutan di tengah masyarakat luas. Namun, diakui
atau tidak, ada ketidakadilan dalam cara pandang kita itu. Jarang kita
menyadari, ujar Ignas Kleden (2007), bahwa memperlakukan seseorang sebagai
panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral
di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan.
Sejatinya figur publik
tetaplah manusia biasa, tak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Siapa pun
manusia melakukan perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai positif dan mulia
dalam dirinya di tengah tarikan kebaikan dan keburukan. Keteladanan tak melulu
harus melihat pada diri figur publik. Artinya, siapa pun bisa menjadi panutan.
Yang perlu disadari, sesungguhnya ruang kehidupan merupakan ruang pendidikan,
di mana salah satu unsurnya adalah peneladanan. Keteladanan bisa didapatkan
dari tukang-tukang becak, ibu-ibu pedagang di pasar, buruh bangunan, pekerja
sosial, bahkan anak kecil sekali pun. Dalam hal ini, siapa pun kita selayaknya
memandang faktor keteladanan bukan pada nama besar atau popularitas seseorang,
namun unsur-unsur kebajikan dan kebaikan yang ditampakkan seseorang yang memang
layak untuk diteladani.
Maka, betapa pentingnya
sikap kritis dan objektif kita untuk membedakan mana yang baik dan mana yang
salah. Sikap dan perilaku figur publik yang salah dan tercela tidaklah perlu
ditiru. Kita hanya meneladani sikap dan perilaku positif dari figur publik. Hal
tersebut tidaklah sulit dan rumit dilakukan, karena kesadaran moral sedikit
banyak telah meresap dalam diri kita. Hati nurani kita telah memahami hal-hal
yang positif dan hal-hal yang negatif. Di tengah tarikan keburukan dan
kebaikan, maka kita sebagai manusia tentu saja perlu terus-menerus berusaha
memperbaiki diri. Siapa pun kita perlu berjuang membangun sikap dan perilaku
positif. Sejak zaman silam, hanya dua pilihan untuk kita pilih dalam hidup ini:
kebaikan atau keburukan.
Pada titik ini, kita
selayaknya tidak mengalpakan pendidikan moral terhadap anak-anak sebagai
generasi masa depan bangsa. Orangtua selayaknya mengambil peran dan tanggung
jawab dalam peneladanan ini. Keteladanan positif yang diberikan orangtua
memberikan dampak signifikan bagi pembentukan kepribadian dan karakter anak.
Penanaman nilai-nilai positif seyogianya dilakukan terhadap anak-anak, sehingga
dapat menolak, melawan, dan mengenyahkan setiap hal yang negatif. Moralitas
yang teresap pada diri anak akan menjadi perisai diri untuk tak terhanyut pada
sikap dan perilaku tidak terpuji. Keteladanan juga perlu diberikan oleh para
pendidik di luar rumah, sehingga anak tidak hanya mendapatkan pengajaran moral,
tetapi juga model perilaku yang bermoral.
Jadi, kita hendaknya
tidak perlu lagi berlelah-lelah menghakimi para pesohor yang miskin
keteladanan. Masyarakat tentu telah memahami moralitas dan mampu memilah mana
yang pantas diteladani dan mana yang tidak pantas diteladani. Justru
masing-masing diri kitalah yang selayaknya perlu berusaha menjadi panutan. Kita
memperbaiki diri kita, bersikap dan berperilaku baik. Kita tentu saja
menginginkan diri kita bisa menjadi inspirasi, motivasi, dan spirit kebaikan
bagi siapa pun.
Sesungguhnya kehidupan
yang kita jalani akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Apapun
profesi dan pengabdian kita, kita bertanggungjawab menjadi sosok panutan pada
hal-hal positif. Itu mungkin tak semudah mencabut sehelai rambut dari kulit
kepala. Maka, di antara kita, ada kaidah untuk saling menasehati dalam kebenaran
dan kesabaran. Begitu. Wallahu a’lam.