Heroisme Seorang Ibu Tak Tamat SD

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 13 Februari 2013 

Judul Buku: Ibuk, Penulis: Iwan Setyawan Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: 293 halaman ISBN: 978-979-22-8568-0
 
Di tengah kehidupan masyarakat, adanya kemiskinan tak dimungkiri. Masih banyak penduduk di negeri ini yang masih terpontang-panting sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Lewat novel yang diangkat dari kisah nyata ini, kita akan melihat kemiskinan dari sebuah keluarga yang tinggal di Batu, Malang, Jawa Timur. Sebuah keluarga yang digerakkan oleh seorang perempuan yang memaknai kemiskinan bukanlah penderitaan, tetapi sebuah perjuangan. Seorang perempuan itu dipanggil oleh kelima anaknya dengan panggilan Ibuk. Nama aslinya adalah Ngatinah, yang tak sempat menamatkan jenjang sekolah dasar (SD). 

Harapan melanjutkan sekolah sirna, ia tinggal di rumah dan membantu orangtuanya mengurus adik-adiknya. Ketika berusia 16 tahun, ia membantu neneknya berjualan baju bekas di Pasar Batu. Di pasar itulah seorang kernet angkot menaruh hati padanya. Hanya berbekal keberanian untuk menjalani hidup bersama, mereka akhirnya menikah (halaman 1-25).

Isa, anak pertama, pun lahir ketika Ibuk berusia 18 tahun, lalu disusul kelahiran anak berikutnya, yakni Nani, Bayek, Rini, dan Mira. Lima anak sudah terlahir. lima kali pula Ibuk melalui ambang batas antara hidup dan mati. Lima anak yang menjadi cahaya terang dalam hidup Ibuk. Ia menjaga lima anaknya siang malam, tanpa jeda, tanpa lelah. Ibuk selalu mencurahkan cintanya (halaman 29-38). Dengan penghasilan suami yang pas-pasan, Ibuk menjalankan rumah tangga dengan kesederhanaan. Anak-anak dilatih hidup sederhana. Apa yang terjadi dalam keluarga itu adalah sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan yang sederhana nan perkasa. Seorang perempuan yang mungkin melahirkan anak tanpa rencana, namun yakin bahwa setiap anak datang membawa berkah. Ibuk memberikan apapun yang dimiliki untuk mereka (halaman 42).
Karena penghasilan suaminya yang minim, Ibuk mengelola keuangan keluarga secermat mungkin. Berhemat dilakukannya. Suaminya yang semula sebagai kernet akhirnya memiliki angkot sendiri. Namun, berhemat dan sekeras apapun sang suami bekerja kerapkali belum mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga. Maka, apapun dilakoni Ibuk, seperti menggadaikan atau menjual barang, bahkan berhutang. Memang itu penuh risiko, tapi Ibuk dengan kecermatan mengatur uang bisa mencicil hutang-hutangnya. Apa yang dilakukannya itu demi anak-anaknya agar menggapai masa depan yang cemerlang. Ketika anak-anaknya mulai menginjak bangku SD, yang terlintas di benak Ibuk adalah agar kelima anaknya tak berhenti sekolah. Bahkan, Ibuk bercita-cita membawa anak-anaknya bisa kuliah. Bagi Ibuk, betapa pentingnya pendidikan agar kehidupan anak-anaknya lebih baik dan lebih sejahtera. Sebuah impian yang dibarengi ketulusan dan kesyukuran dalam menjalani hidup yang apa adanya.

Urusan sekolah anak-anaknya diatur Ibuk secara baik. Buku sekolah dimiliki anak-anaknya secara turun-temurun, dari kakak ke adik-adiknya. Sepatu rusak sebisa mungkin diperbaiki. Membeli sepatu hanya ketika benar-benar jebol. Biaya sekolah diatur Ibuk agar tak telat. Semuanya disiasati Ibuk agar anak-anaknya tetap percaya diri dan tak memiliki masalah dalam bersekolah. Ketulusan cinta dan perjuangan Ibuk dihayati benar-benar oleh anak-anaknya. Kelima anaknya tak hanya tekun belajar, tetapi juga berprestasi di luar bidang akademik dan mencoba berwirausaha membantu orangtua.

Sebuah keputusan yang dibuat Ibuk yang paling mengejutkan adalah ketika Bayek tamat SMA dan diterima di jurusan Statistika ITB Bogor. Demi anak laki-lakinya itu bisa kuliah, Ibuk dengan penuh percaya diri memutuskan agar angkot dijual. Keputusan yang berani karena angkot adalah kendaraan penopang ekonomi keluarga. Suaminya pun mencari pekerjaan lain (halaman 132-134). Keputusan Ibuk itu tak sia-sia, karena Bayek berhasil lulus kuliah dan tak lama kemudian bekerja di Nielsen Jakarta. Beberapa tahun kemudian, Bayek dipercaya bekerja di Nielsen International Research di New York. Perubahan hidup pun terjadi. Bayek mampu merubah kehidupan keluarganya.

Novel ini bisa menjadi pelajaran betapa pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup. Diangkat dari kisah nyata, novel ini memberikan motivasi dan spirit bagi setiap keluarga di Indonesia untuk bisa maju, semiskin apapun secara materi. Dengan perjuangan, impian yang mulia, dan doa yang memanjang, kehidupan yang lebih baik bisa saja tercapai.(Hendra Sugiantoro)

0 komentar: