Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Selasa, 12 Februari 2013
Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang telah menyedot anggaran triliunan
rupiah sejak digulirkan pada tahun ajaran 2006/2007 kini tinggallah kenangan.
Yang tersisa dari kontroversi RSBI adalah tidak surutnya impian untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
Kini, sampai berakhir
tahun ajaran 2012/2013, sebagaimana ditegaskan Mohammad Nuh selaku Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), terjadi masa transisi pada sekolah
berlabel RSBI. Langkah tersebut sebagai respons terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menilai Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional
No. 20/2003 sebagai payung hukum penyelenggaraan RSBI tidak sesuai konstitusi.
Masa transisi diperlukan sebab sekolah
RSBI sudah memiliki anggaran dan rencana kerja selama satu tahun anggaran.
Selain itu, sekolah RSBI juga sudah menampung sumbangan dari wali murid dan
orangtua siswa. Maka, kata Mohammad Nuh, rencana kerja dan anggaran RSBI tahun ajaran
ini harus dijalankan terlebih dahulu. Sesuai dengan putusan MK, Mendikbud
melarang pungutan sumbangan baru di sekolah eks-RSBI. Sekolah eks-RSBI juga
diwajibkan untuk melepaskan label dan atribut RSBI (www.jurnas.com, 22 Januari
2013).
Bagaimana
pun, kita tentu perlu mengapresiasi setiap ikhtiar pemerintah (cq. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan/Kemdikbud) meningkatkan kualitas pendidikan di negeri
ini. Namun, kita tidak mungkin menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian
masyarakat menilai kebijakan RSBI bertentangan dengan prinsip keadilan dan
persamaan pendidikan. Penolakan terhadap sekolah dengan label RSBI hendaknya
dimaknai pemerintah sebagai bentuk harapan masyarakat di negeri ini untuk
menjadikan institusi sekolah sebagai wahana meniti masa depan yang lebih baik.
Bagaimana pun juga, sekolah tetap diharapkan untuk menciptakan perubahan
sosial.
Dengan
jutaan anak bangsa yang memiliki potensi di negeri ini, pemerintah memang
menghadapi tantangan besar agar seluruh anak bangsa bisa berkembang dan
mengaktualisasikan potensi dirinya. Pemerintah masih berikhtiar sepenuh daya
untuk melunasi janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah
tetap dihayati pemerintah sebagai wahana memajukan anak-anak bangsa agar
mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, persepsi antara pemerintah dan para
pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan nasional kerapkali berlainan.
Maka, lewat tulisan ini, penulis mencoba urun rembuk terkait peningkatan
kualitas pendidikan, terutama pendidikan di sekolah di negeri ini.
Prinsip
bahwa setiap warga negara harus memperoleh kesempatan belajar yang sama tentu
saja telah dimengerti oleh pemerintah. Hanya saja, sebisa mungkin soal kualitas
sekolah selayaknya tak ada diskriminasi. Apalagi dengan kebijakan ujian
nasional (UN), amat tidak masuk akal apabila siswa-siswa yang berada di sekolah
yang kualitasnya tidak sama harus menempuh UN yang sama. Persamaan kesempatan
belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan, dijelaskan Doni
Koesoema (2007), adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan
melaksanakan kegiatan belajar. Di sekolah, siswa mendapatkan metode pengajaran
yang berkualitas dengan materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren,
yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai
fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang
nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal
kurikulum sesuai yang ditetapkan.
Untuk
meningkatkan kualitas sekolah, daya dukung anggaran tidak mungkin diabaikan.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa tingkat korupsi terbesar pada
tahun 2012 lalu terjadi di dunia pendidikan perlu dijadikan evaluasi Kemdikbud.
Naiknya anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) disinyalir sebagai pemicu kasus
korupsi. Upaya peningkatan kualitas sekolah tentu memerlukan manajemen anggaran
secara akuntabel dan transparan.
Dalam meningkatkan
kualitas sekolah, Kemdikbud memang diharapkan dapat mengimplementasikan standar
pendidikan nasional di setiap sekolah. Standar nasional itu meliputi standar
isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian. Namun, yang perlu digarisbawahi,
standarisasi tetap perlu memperhatikan potensi dan kekhasan masing-masing
daerah di negeri ini. Proses dan isi penyelenggaraan pendidikan sekolah di
daerah dengan potensi kelautan, misalnya, tidak perlu disamaratakan dengan
daerah-daerah agraris. Begitu pula potensi dan kekhasan budaya adiluhung
masing-masing daerah perlu diperhatikan. Muatan lokal pada dasarnya bertujuan
untuk mengakomodasi kekhasan masing-masing daerah di Indonesia, namun harus
diakui pelaksanaannya belum berjalan secara baik.
Jadi, proses pendidikan
sekolah perlu memasukkan potensi dan kekhasan masing-masing daerah, sehingga
mampu membekali kemampuan siswa-siswanya untuk membangun dan memajukan
daerahnya. Sejatinya kemajuan daerah yang digerakkan oleh putra dan putri
daerahnya akan turut menopang kemajuan bangsa dan negara ini. Contoh menarik
barangkali bisa melihat Australia. Menurut Ki Supriyoko (2010), kurikulum
sekolah di Australia bisa berbeda apabila provinsi atau teritorinya berbeda.
Billanook School dan Trinity School yang dikenal sebagai sekolah berkualitas di
Australia memiliki perbedaan dalam ukuran kualitasnya.
Tentu, bicara
peningkatan kualitas sekolah, kebijakan yang tepat dari Kemdikbud amat sangat
dinantikan. Hal-hal yang beraroma diskiriminasi dan komersialisasi, sebagaimana
pengalaman selama ini, cenderung sensitif dan disikapi negatif oleh masyarakat.
Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah masih menjadi pekerjaan tak mudah.
Namun, optimisme harus terus tercipta untuk melunasi janji kemerdekaan:
mencerdaskan kehidupan bangsa. Selamat bekerja Kemdikbud. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar