Oleh: HENDRA SUGIANTRO
Dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY Edisi Februari 2011
Hampir dalam berbagai kesempatan mengemuka perihal rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi. Hal ini kerapkali memunculkan keprihatinan dan menjadi kegelisahan. Perguruan tinggi yang notabene dihuni kalangan akademisi-intelektual ternyata belum mampu menunjukkan sebuah budaya menulis yang baik. Padahal, menulis merupakan salah satu bagian dari tradisi intelektual yang selayaknya dimiliki warga perguruan tinggi. Pertanyaannya, benarkah budaya menulis di perguruan tinggi memang rendah?
Secara kuantitatif, tak ada data konkret mengenai seberapa rendah budaya menulis di perguruan tinggi. Yang perlu diperhatikan, masyarakat perguruan tinggi bukan berarti tidak menulis sama sekali. Dosen dan mahasiswa memiliki tugas akademik, salah satunya menulis. Sebut saja misalnya mahasiswa yang kerapkali mendapatkan tugas menulis makalah dan/ paper terkait mata kuliahnya. Sebagian dosen pun sering menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Dengan mengetahui fakta ini, opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi memang perlu dicermati lebih lanjut. lantas, bagaimana memandang opini rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi?
Memang terdapat aktivitas menulis di perguruan tinggi, namun hal ini lebih dikarenakan tugas akademik. Mahasiswa cenderung menulis hanya memenuhi tuntutan kuliah. Selain tugas kuliah, mahasiswa amat jarang menghasilkan karya tulis. Jika pun ada mahasiswa yang mengikuti lomba karya tulis atau kerapkali muncul di rubrik-rubrik surat kabar, maka boleh dikatakan masih bisa dihitung dengan jari. Mahasiswa memang menulis di surat kabar, tapi hanya berkutat pada nama-nama yang itu-itu saja. Begitu pula mahasiswa yang mengikuti dan tertarik dengan ajang penulisan karya tulis ilmiah hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu. Artinya, tidak seluruh mahasiswa memandang aktivitas menulis sebagai bagian dari tugas pokok mereka.
Bahkan, aktivitas menulis bagi sebagian besar mahasiswa justru menjadi beban. Fatalnya, mahasiswa yang sudah malas menulis malah tak bersedia belajar menulis. Plagiarisme pun menjadi siasat mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas menulisnya. Plagiarisme yang saat ini telah menjadi permasalahan nasional memang berusaha diberantas, namun bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, hampir tidak dimungkinkan bagi dosen memeriksa tugas-tugas menulis dari sekian banyak mahasiswa. Dalam satu mata kuliah, satu dosen bisa mengajar ratusan mahasiswa berbeda kelas. Malah dimungkinkan satu dosen tidak hanya mangampu satu mata kuliah, bahkan mengajar lebih dari satu fakutas dan/ perguruan tinggi. Pada titik ini, integritas dan kejujuran mahasiswa menjadi hal utama dan penting untuk mengatasi plagiarisme.
Untuk membangun integritas dan kejujuran mahasiswa dalam menulis kiranya penting untuk menciptakan ruang-ruang pembinaan agar mahasiswa memiliki ketrampilan menulis. Upaya membangun budaya menulis di kalangan mahasiswa tidak berhenti pada ceramah dan nasihat, tetapi juga diperlukan ruang pembinaan yang berkesinambungan. Pelatihan-pelatihan kepenulisan yang kerapkali dilaksanakan layak diapresiasi. Yang perlu menjadi catatan, pelatihan-pelatihan kepenulisan tidaklah cukup. Pelatihan kepenulisan yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari belum menjamin mahasiswa memiliki minat dan konsisten mengasah kemampuan menulisnya. Ruang pembinaan berupa forum kepenulisan yang rutin dilaksanakan merupakan strategi tersendiri membangun budaya menulis. Lewat forum kepenulisan, mahasiswa bisa saling belajar dan memotivasi untuk mengasah kemampuan menulis. Dorongan berkarya akan terasa di kalangan mahasiswa dengan adanya forum kepenulisan.
Lewat forum kepenulisan, potensi menulis mahasiswa juga dimungkinkan mengalami aktualisasi. Adanya opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi boleh jadi akibat minimnya ruang-ruang pembinaan. Mahasiswa tidak memiliki pandangan luas terkait dunia kepenulisan. Yang diketahui mahasiswa mungkin hanyalah mengerjakan tugas-tugas menulis kuliahnya. Dengan adanya forum kepenulisan, masing-masing mahasiswa bisa berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman mengenai dunia kepenulisan.
Terkait dengan potensi menulis mahasiswa boleh jadi tidak terbatas. Artinya, mahasiswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa, namun tidak ada ruang untuk mengaktualisasikan potensi itu. Maka, penggalian dan pengembangan potensi menulis tentu tidak sekadar menulis dalam konteks akademik. Mahasiswa memiliki potensi menulis tidak hanya pada ranah kepenulisan ilmiah, tapi juga kepenulisan non-ilmiah. Ranah kepenulisan fiksi juga seyogianya bisa dikembangkan. Potensi-potensi inilah yang menuntut adanya ruang pembinaan agar setiap potensi menulis mahasiswa terwadahi dan terorganisasi maksimal. Dengan adanya forum kepenulisan, mahasiswa diarahkan untuk menulis di mana pun sesuai potensinya. Tidak hanya mengikuti lomba-lomba kepenulisan, tapi juga bisa menghasilkan tulisan untuk bisa dikonsumsi publik secara luas. Mahasiswa perlu memiliki kepercayaan diri untuk menghasilkan tulisan sebagai kontrol sosial. Tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswa merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Dengan terpacunya mahasiswa menulis, ide, gagasan, dan pemikirannya tentu bisa terbaca luas. Apalagi bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tulisan-tulisannya sedikit banyak akan bisa mencitrakan kampus ini. Jika kita saksikan, geliat menulis di kalangan mahasiswa cenderung terasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. UNY tentu tidak akan kalah jika mahasiswa-mahasiswanya terus-menerus ditumbuhkan spirit menulis, termasuk dengan adanya ruang-ruang pembinaan memadai. Mahasiswa UNY tidak hanya berprestasi di ajang kompetisi penulisan karya ilmiah, tapi juga bisa menghasilkan karya tulis lainnya dalam bentuk buku. Begitu membanggakan jika banyak mahasiswa UNY menerbitkan buku-buku yang akan menjadi warisan intelektual. Begitu juga mahasiswa UNY bisa merajai media massa dengan tulisan-tulisannya yang termuat. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
Dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY Edisi Februari 2011
Hampir dalam berbagai kesempatan mengemuka perihal rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi. Hal ini kerapkali memunculkan keprihatinan dan menjadi kegelisahan. Perguruan tinggi yang notabene dihuni kalangan akademisi-intelektual ternyata belum mampu menunjukkan sebuah budaya menulis yang baik. Padahal, menulis merupakan salah satu bagian dari tradisi intelektual yang selayaknya dimiliki warga perguruan tinggi. Pertanyaannya, benarkah budaya menulis di perguruan tinggi memang rendah?
Secara kuantitatif, tak ada data konkret mengenai seberapa rendah budaya menulis di perguruan tinggi. Yang perlu diperhatikan, masyarakat perguruan tinggi bukan berarti tidak menulis sama sekali. Dosen dan mahasiswa memiliki tugas akademik, salah satunya menulis. Sebut saja misalnya mahasiswa yang kerapkali mendapatkan tugas menulis makalah dan/ paper terkait mata kuliahnya. Sebagian dosen pun sering menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Dengan mengetahui fakta ini, opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi memang perlu dicermati lebih lanjut. lantas, bagaimana memandang opini rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi?
Memang terdapat aktivitas menulis di perguruan tinggi, namun hal ini lebih dikarenakan tugas akademik. Mahasiswa cenderung menulis hanya memenuhi tuntutan kuliah. Selain tugas kuliah, mahasiswa amat jarang menghasilkan karya tulis. Jika pun ada mahasiswa yang mengikuti lomba karya tulis atau kerapkali muncul di rubrik-rubrik surat kabar, maka boleh dikatakan masih bisa dihitung dengan jari. Mahasiswa memang menulis di surat kabar, tapi hanya berkutat pada nama-nama yang itu-itu saja. Begitu pula mahasiswa yang mengikuti dan tertarik dengan ajang penulisan karya tulis ilmiah hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu. Artinya, tidak seluruh mahasiswa memandang aktivitas menulis sebagai bagian dari tugas pokok mereka.
Bahkan, aktivitas menulis bagi sebagian besar mahasiswa justru menjadi beban. Fatalnya, mahasiswa yang sudah malas menulis malah tak bersedia belajar menulis. Plagiarisme pun menjadi siasat mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas menulisnya. Plagiarisme yang saat ini telah menjadi permasalahan nasional memang berusaha diberantas, namun bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, hampir tidak dimungkinkan bagi dosen memeriksa tugas-tugas menulis dari sekian banyak mahasiswa. Dalam satu mata kuliah, satu dosen bisa mengajar ratusan mahasiswa berbeda kelas. Malah dimungkinkan satu dosen tidak hanya mangampu satu mata kuliah, bahkan mengajar lebih dari satu fakutas dan/ perguruan tinggi. Pada titik ini, integritas dan kejujuran mahasiswa menjadi hal utama dan penting untuk mengatasi plagiarisme.
Untuk membangun integritas dan kejujuran mahasiswa dalam menulis kiranya penting untuk menciptakan ruang-ruang pembinaan agar mahasiswa memiliki ketrampilan menulis. Upaya membangun budaya menulis di kalangan mahasiswa tidak berhenti pada ceramah dan nasihat, tetapi juga diperlukan ruang pembinaan yang berkesinambungan. Pelatihan-pelatihan kepenulisan yang kerapkali dilaksanakan layak diapresiasi. Yang perlu menjadi catatan, pelatihan-pelatihan kepenulisan tidaklah cukup. Pelatihan kepenulisan yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari belum menjamin mahasiswa memiliki minat dan konsisten mengasah kemampuan menulisnya. Ruang pembinaan berupa forum kepenulisan yang rutin dilaksanakan merupakan strategi tersendiri membangun budaya menulis. Lewat forum kepenulisan, mahasiswa bisa saling belajar dan memotivasi untuk mengasah kemampuan menulis. Dorongan berkarya akan terasa di kalangan mahasiswa dengan adanya forum kepenulisan.
Lewat forum kepenulisan, potensi menulis mahasiswa juga dimungkinkan mengalami aktualisasi. Adanya opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi boleh jadi akibat minimnya ruang-ruang pembinaan. Mahasiswa tidak memiliki pandangan luas terkait dunia kepenulisan. Yang diketahui mahasiswa mungkin hanyalah mengerjakan tugas-tugas menulis kuliahnya. Dengan adanya forum kepenulisan, masing-masing mahasiswa bisa berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman mengenai dunia kepenulisan.
Terkait dengan potensi menulis mahasiswa boleh jadi tidak terbatas. Artinya, mahasiswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa, namun tidak ada ruang untuk mengaktualisasikan potensi itu. Maka, penggalian dan pengembangan potensi menulis tentu tidak sekadar menulis dalam konteks akademik. Mahasiswa memiliki potensi menulis tidak hanya pada ranah kepenulisan ilmiah, tapi juga kepenulisan non-ilmiah. Ranah kepenulisan fiksi juga seyogianya bisa dikembangkan. Potensi-potensi inilah yang menuntut adanya ruang pembinaan agar setiap potensi menulis mahasiswa terwadahi dan terorganisasi maksimal. Dengan adanya forum kepenulisan, mahasiswa diarahkan untuk menulis di mana pun sesuai potensinya. Tidak hanya mengikuti lomba-lomba kepenulisan, tapi juga bisa menghasilkan tulisan untuk bisa dikonsumsi publik secara luas. Mahasiswa perlu memiliki kepercayaan diri untuk menghasilkan tulisan sebagai kontrol sosial. Tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswa merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Dengan terpacunya mahasiswa menulis, ide, gagasan, dan pemikirannya tentu bisa terbaca luas. Apalagi bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tulisan-tulisannya sedikit banyak akan bisa mencitrakan kampus ini. Jika kita saksikan, geliat menulis di kalangan mahasiswa cenderung terasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. UNY tentu tidak akan kalah jika mahasiswa-mahasiswanya terus-menerus ditumbuhkan spirit menulis, termasuk dengan adanya ruang-ruang pembinaan memadai. Mahasiswa UNY tidak hanya berprestasi di ajang kompetisi penulisan karya ilmiah, tapi juga bisa menghasilkan karya tulis lainnya dalam bentuk buku. Begitu membanggakan jika banyak mahasiswa UNY menerbitkan buku-buku yang akan menjadi warisan intelektual. Begitu juga mahasiswa UNY bisa merajai media massa dengan tulisan-tulisannya yang termuat. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar