Mengaji Sosok Ibu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Dimuat di Surat Pembaca SUARA KARYA, Selasa 8 Maret 2011

Membaca sosok ibu, ada kandungan makna luas. Ibu tak sekadar dimaknai sebagai perempuan yang telah mengandung dan melahirkan. Mendalami makna ibu, ada peran dan tanggung jawab yang telah diemban. Perjalanan ibu adalah perjalanan dunia ini semenjak manusia ditakdirkan berketurunan. Dari sosok ibu, terbentang perjalanan kasih sayang, perjuangan, pengorbanan, kebahagiaan, keharuan, bahkan kepiluan. Bahkan, dari sosok ibu (mungkin saja) juga menggoreskan air mata, kesedihan, dan luka.


Menggali makna ibu mungkin tak cukup tertampung dalam lembaran kertas. Bagi seorang anak, ibu telah termaknai sejak berabad-abad silam. Entah tersurat atau tidak, setiap anak telah memaknai kehadiran ibu dalam kehidupan. Anak merasakan dan menghayati sosok ibu yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya.


Untuk menelusuri pemaknaan ibu dalam benak anak, kita tentu bisa memasuki relung hati kita. Masing-masing kita sebagai seorang anak memiliki pemaknaan tersendiri terhadap seorang ibu. Pemaknaan ini boleh jadi berbeda meskipun tak menutup kemungkinan berada dalam kesimpulan serupa. Perbedaan pemaknaan sosok ibu dalam benak anak lumrah terjadi akibat perbedaan pengalaman dan perjalanan hidup. Lalu, seperti apakah kita memaknai ibu?


Bung Karno, presiden pertama Indonesia, dengan berterus-terang pernah berkata bahwa ia barangkali bisa membanggakan dirinya dalam hal cinta, hormat, bakti kepada ibu. Bung Karno berkata, “Bung Karno kalau sowan sama Ibunya itu, saya tidak bisa membicarakan Ibu tanpa haru dalam hatiku. Kalau tak ada Ibu, Soekarno tidak jadi seperti sekarang ini. Segala apa yang saya miliki sekarang ini, memiliki sebagai kedudukan, sebagai isi mental, sebagai kecakapan memimpin, sebagai kepintaran, sebagai apa pun, sebenarnya asalnya dari Ibu saya. Ibu yang memimpin aku, Ibu yang membuat aku menjadi manusia seperti sekarang ini. Jikalau aku sudah dipanggil Tuhan ke akhirat, saya minta diberi oleh Tuhan mencium kaki Ibuku sekali lagi. Jelas, kalau tidak ada Ibu, aku tidak jadi manusia seperti sekarang ini.”(Bung Karno, 16 Juli 1964, dalam Bung Karno Mencari dan Menemukan Tuhan oleh H.A. Notosoetardjo).


Begitulah Bung Karno mengekspresikan perasaannya terhadap ibu lewat kata-kata. Ibu memang menghadirkan kesan dalam diri anak. Siapa pun boleh mengekspresikan hatinya. Azzam, tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman el-Shirazy, juga mendalami dan menghayati keberadaan ibu. Begitu cinta Azzam terhadap ibunya. Ada satu fragmen dalam novel yang menarik disimak ketika Azzam memboncengkan ibunya dalam perjalanan ke tempat Kiai Kamal Delanggu. Tanpa sadar, Azzam menyenandungkan sajak cinta: Ibu,/aku mencintaimu/seperti laut/mencintai airnya/tak mau kurang/selamanya.


Memaknai kehadiran dan keberadaan ibu yang diekspresikan lewat kata-kata mungkin pernah juga kita lakukan. Ada cinta, rindu, dan sejuta perasaan terhadap ibu dalam hati kita. Ehm, atau kau ingin mengekspresikannya dalam ungkapan kalimat? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Aktivis Pena Profetik Yogyakarta

0 komentar: