Sastra Tak Sekadar Karya

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Koran Merapi, Minggu 6 Maret 2011

Sastra adalah kehidupan. Sastra telah menjalani periode sejarah panjang. Di negeri ini, sastra telah ada dan mengada semenjak Indonesia belum ada. Begitu rupa karya sastra hadir menyemarakkan kehidupan publik. Sastra telah menjadi wahana beragam tujuan dan kepentingan. Sastra tak sekadar karya, tapi menjadi jalan bagi gagasan dan pikiran. Masing-masing penulis sastra bekerja dalam imajinasi dan nalar untuk mempersembahkan buah tangannya.

Karya sastra, apapun bentuknya, menemui publik dengan konsekuensi apresiasi, ekspresi, dan interpretasi. Sebagai sebuah karya, interpretasi publik tak mungkin terhindarkan. Pun, ekspresi publik dimungkinkan berbeda. Apresiasi sastra tak melulu soal larisnya penjualan. Publik mengapresiasi sastra dengan menikmati dan terlibat dalam karya. Apresiasi juga memberikan kritik dan/ pujian. Masing-masing kita tidak dilarang menginterpretasikan apapun terkait karya sastra sesuai alam pikiran. Pun, setiap kita bebas berekspresi ketika menikmati karya sastra, sekaligus berhak memetik hikmah dan pelajaran.

Berbicara karya sastra tak dimungkiri telah didahului pergulatan batin, daya pikiran, dan imajinasi. Lewat “lautan kata”, karya sastra diakui memiliki pengaruh, entah positif atau negatif. Daya jangkau pengaruh sebuah karya sifatnya relatif. Besar kecilnya efek dari karya sastra memang tak bisa diukur secara kuantitatif. Bahkan, ukuran kualitatif juga sulit dilakukan. Seberapa banyak orang yang terpengaruh, kita tak tahu. Seberapa besar perubahan sosial akibat karya sastra juga sulit dipastikan. Namun, pengaruh itu tetap ada. Kata Yudi Latif (2009), pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.

Daya pengaruh karya sastra malah bisa mengarahkan jalan menuju masa depan. Ada kekuatan dari karya sastra yang memberi efek bagi manusia/masyarakat. Karya sastra bisa memberi terang bagi proses refleksi kehidupan, sekaligus mengimajinasikan masa depan. Ada tiga efek dari sebuah karya: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedikit atau banyak, karya sastra memberikan efek kognitif, afektif, dan psikomotorik kepada khalayak. Dalam penggambaran ini, Lazar dkk (dalam Yudi Latif:2009) memaparkan contoh. Kisah Rosie The Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru menjadi pengungkit bagi Woman’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dan nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.

Karya sastra di negeri ini dengan beragam jenis dan bentuknya tentu menghadirkan daya pengaruh. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, karya sastra yang telah dihasilkan di negeri ini berbilang-bilang jumlahnya. Bahkan, beberapa karya sastra anak negeri juga diapresiasi sampai ke negeri manca. Di dalam negeri, karya sastra sebenarnya tak miskin apresiasi meskipun rendahnya pembelajaran sastra di sekolah mungkin menjadi problem tersendiri. Di ranah empirik, kita justru banyak menyaksikan masyarakat menggandrungi ciptaan karya sastra dari pelbagai pengarang.

Kemunculan karya sastra di negeri ini semenjak zaman silam hingga zaman kini tentu telah menghadirkan sedikit banyak perubahan dan pengaruh, baik terhadap pemikiran, pandangan, dan perilaku masyarakat. Karya sastra memiliki perjalanan sejarah yang panjang semenjak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada titik ini, kita perlu mengakui bahwa karya sastra sarat nilai. Terlepas apa ideologinya, setiap pengarang memiliki konsep nilai dan misi dalam setiap karyanya. Pengarang yang menghasilkan karya sastra sekadar meletupkan perasaan dan emosinya tetap memiliki ideologi. Bagaimana pun, karya sastra tak berangkat dari ruang kosong. Sekecil apapun realitas sosial yang dialami dan dihayati pengarang menggerakkan jemari untuk menuangkannya dalam sebentuk karya. Di tangan sastrawan, karya sastra bisa menjadi alat perlawanan, alat pencerahan, alat penyadaran, alat pembelaan, alat untuk mendidik masyarakat.

Pertanyaan menarik, bagaimana sastrawan mengimajinasikan masa depan negeri ini untuk dituangkan dalam karya sastranya? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

0 komentar: