Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 2 Mei 2012
Keberadaan
guru dalam dunia pendidikan memang begitu penting. Dengan kapasitas dan
kemampuannya, guru mengemban tanggung jawab mengajar dan mendidik siswa di
sekolah. Guru merupakan pilar membangun generasi bangsa ini. Di tengah
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, guru tentu dituntut agar tak berhenti
belajar. Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang.
Maka, guru tidak boleh puas dengan ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang telah dimiliki.
Guru juga harus mengasah dan memiliki keterampilan penguasaan teknologi minimal
yang terkait dengan dunia pendidikan.
Buku
karya Sudaryanto ini menarik disimak dalam upaya menunjang peningkatan
kemampuan guru. Guru sebagai agen pendidikan bangsa didorong untuk memiliki
tradisi ilmiah, seperti membaca, menulis, dan meneliti. Fakta menunjukkan bahwa
tradisi ilmiah di kalangan guru di negeri ini ternyata masih lemah. Agus
Sartono (2010) pernah berujar bahwa indikator rendahnya tradisi ilmiah di kalangan
guru dapat disaksikan dari minimnya karya ilmiah yang dihasilkan guru.
Dampaknya, banyak guru di negeri ini kesulitan mendongkrak golongannya. Data
memaparkan, kebanyakan guru mentok pada golongan IVA dan sulit naik ke golongan
IVB, apalagi sampai golongan IVD.
Siapa
pun guru pastinya menginginkan kariernya menanjak. Untuk dapat naik golongan,
guru tak mungkin mengelak dari kewajiban membaca dan menulis. Kenaikan golongan
juga akan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Sudah saatnya guru
di Indonesia menyadari hal tersebut. Sesungguhnya persyaratan naik ke golongan
IVB tidak cukup hanya mengumpulkan angka kredit mengajar. Salah satu komponen
agar guru dapat naik golongan adalah menulis karya ilmiah. Dengan kata lain,
menulis adalah tuntutan dari profesi guru yang tidak terhindarkan. Untuk dapat
menghasilkan karya ilmiah dan dengan sendirinya mendongkrak kenaikan golongan,
guru pastinya juga dituntut untuk memiliki tradisi membaca. Sebab, untuk dapat
menulis memang harus rajin membaca. Membaca sebagai kegiatan reseptif akan
menunjang kegiatan menulis.
Namun,
persoalannya menjadi rumit ketika tradisi membaca di kalangan guru juga rendah.
Tradisi membaca dan menulis yang rendah tentu merupakan tragedi sekaligus
ironi. Padahal, guru sebagai seorang pengajar dan pendidik harus meng-up date ilmunya. Membaca merupakan salah
satu sarana efektif memperkaya dan mengembangkan kapasitas keilmuan guru. Bisa
dibayangkan, guru yang malas membaca cenderung akan mengajarkan hal yang
itu-itu saja kepada siswa-siswanya. Tidak ada ilmu, wawasan, dan pengetahuan
yang berkembang. Maka, tutur penulis buku, membaca seyogianya tidak dialpakan.
Bukan hal yang berlebihan apabila guru harus membudayakan aktivitas membaca
setiap hari.
Terkait
menulis, penulis buku menegaskan bahwa setiap guru sebenarnya memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Sesungguhnya ide tulisan bertebaran setiap kali
guru datang ke sekolah, mengajar siswa di kelas atau mengunjungi perpustakaan.
Guru pun bisa mengikuti perkembangan isu dan wacana pendidikan di media massa
untuk direspons lewat tulisan. Belum optimalnya guru menulis boleh jadi karena
memang malas dan tidak ada komitmen. Guru yang memiliki komitmen takkan
beralasan sibuk karena waktu sesempit apapun masih bisa digunakan untuk
menuangkan tulisan dan pemikiran. Jika guru ingin kariernya menanjak, maka
rajinlah menulis.
Buku
ini mengingatkan guru di Indonesia untuk membangun tradisi ilmiah. Dengan
kepemilikan tradisi ilmiah, tingkat intelektualitas guru akan bertambah dan
turut menopang kemajuan pendidikan.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).
0 komentar:
Posting Komentar