Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Majalah POTRET, Edisi 54 Tahun IX 2012
NEGERI
ini pernah mengalami penjajahan bangsa asing begitu lama dengan menghadirkan
kisah perjuangan mempertahankan tanah tumpah darah. Semangat patriotisme telah
muncul berabad-abad lampau ketika identitas kebangsaan Indonesia belum
terlahir. Dari kisah perjuangan di zaman penjajahan terbentang beribu-ribu
sosok yang menjadi pejuang. Tak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun turun
ke gelanggang sebagai “pemain utama”.
Terkait para pejuang perempuan
penting kiranya diungkapkan untuk memberikan spirit, inspirasi, dan motivasi
bagi generasi kini dan hari kemudian. Menilik perjalanan sejarah, tokoh-tokoh
pejuang perempuan di negeri ini bukannya tidak banyak, namun sepertinya
terlupakan/dilupakan dalam sejarah. Dalam buku profil pahlawan Indonesia,
keberadaan pahlawan di kalangan perempuan juga minim disebutkan. Dari sekian
banyak sosok besar perempuan zaman silam, ada empat pejuang perempuan yang
hendak diutarakan lewat tulisan ini.
Pertama, Keumalahayati. Perempuan
dari Aceh ini dikenal piawai di medan laut. Konon, Keumalahayati merupakan
laksamana laut perempuan pertama. Keumalahayati diberi gelar laksamana di masa
pemerintahan Sultan Al-Mukammil (1589-1604). Dalam kedudukannya sebagai
laksamana laut, Keumalahayati sempat
memimpin dan melatih para perempuan janda yang suaminya gugur dalam medan
perang untuk turut terjun di kancah perjuangan. Armada perempuan ini dikenal
dengan sebutan inong bale (ada yang
menulis inong balee). Dalam sepak
terjangnya di medan laut, Keumalahayati pernah menggagalkan percobaan
pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederich
de Houtman pada tahun 1599. Armada inong
bale kerap ikut bertempur di Selat Malaka dan di pantai-pantai Sumatera
Timur dan Melayu. Kiprah Keumalahayati dan armada inong bale ini pernah diapresiasi pengarang perempuan dari Belanda,
Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya “Vrouwelijke
Admiral Malahayati”(Teuku H. Ainal Mardhiyah Aly, 1980).
Kedua, Sultanah Safiatuddin.
Perempuan ini juga kelahiran Aceh pada tahun 1612. Sultanah Safiatuddin merupakan sebuah gelar, lengkapnya Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-‘Alam
Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Dari nama itu, Sultanah
Safiatuddin memang putri dari Sultan Iskandar Muda. Proses pengangkatan perempuan ini menjadi
pemimpin kesultanan Aceh setelah suaminya, Sultan
Iskandar Tsani, meninggal dunia.
Sultan Iskandar Tsani adalah pengganti dari
Sultan Iskandar Muda. Harsja W. Bahtiar (dalam Adian Husaini, 2009)
menuturkan bahwa Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar
dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, ia
menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu
dan kesusastraan berkembang pesat. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha
Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil
memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal
sangat memajukan pendidikan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sultanah
Safiatuddin memerintah Aceh cukup lama antara tahun 1644 sampai tahun 1675.
Ketiga, Rahmah el-Yunusiyyah.
Perempuan ini lahir di Sumatera Barat pada tahun 1900. Mengingat pentingnya
pendidikan bagi perempuan, ia mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan “Perguruan
Diniyah Puteri” yang resmi berdiri pada 1 November 1923 dan masih bertahan
sampai kini. Lembaga pendidikan ini terus mengalami perkembangan meskipun harus
menghadapi tantangan dan hambatan. Sebagai perempuan pejuang dan pendidik, ia
pernah mendirikan sekolah puteri di Jakarta pada zaman penjajahan Belanda
(Aminuddin Rasyad, 1983). Rahmah el-Yunusiyah aktif dalam perjuangan
kemerdekaan. Ia sempat menjadi tamu istimewa Universitas Al-Azhar, Mesir, dan
mendapatkan gelar “syeikhah” pada tahun 1950-an. Penyematan gelar ini kepada
Rahmah el-Yunusiyyah merupakan gelar kehormatan yang diberikan Universitas
Al-Azhar untuk pertama kalinya kepada seorang perempuan. Ia pernah juga menjadi
anggota parlemen pada 1955-1958. Pada 26 Februari 1969, Rahmah el-Yunusiyyah
meninggal dunia.
Keempat, Siti Roehana Koeddoes. Koeddoes diambil dari nama suaminya, Abdoel Koeddoes. Ia lahir di Sumatera
Barat pada tahun 1884 dan meninggal dunia pada tahun 1972. Perjuangannya bagi
kaum perempuan tidak diragukan. Pada tahun 1911, ia mendirikan perkumpulan
putri Keradjinan Amai Setia (Adi
Negoro, 1949) untuk mendidik dan memberikan pembelajaran keterampilan bagi kaum
perempuan. Ia juga menerbitkan surat kabar Soenting
Melajoe mulai tahun 1912 yang beredar sakali
salapan hari (sepekan sekali). Masa penerbitan Soenting Melajoe berakhir pada edisi tanggal 8 Januari 1921 (Hendra
Naldi, 2008). Selain dipimpin perempuan, tim redaksi dan para penulis surat
kabar ini adalah perempuan. Lewat surat kabar ini, Siti Roehana Koeddoes
melakukan pendidikan dan membangun kesadaran perempuan terhadap hak dan
kewajibannya. Siti Roehana Koeddoes memperoleh anugerah sebagai Perintis Pers
Indonesia pada Hari Pers Nasional pada 9 Februari 1987.
Sekelumit profil singkat empat pejuang
perempuan di atas telah menandakan bahwa perempuan zaman silam mampu berpikir
dan bertindak besar. Jejak-jejak mereka kiranya perlu menjadi spirit,
inspirasi, dan motivasi generasi (perempuan) untuk juga mengembangkan diri dan
berkarya besar. Di negeri ini, pernah ada perempuan perkasa yang menjadi
pemimpin di medan laut, pemimpin yang berhasil mengelola sebuah negeri dalam
waktu panjang, pemimpin di dunia pendidikan, dan pemimpin di dunia pers. Selain
tokoh perempuan di atas, masih banyak sosok perempuan lain yang juga
meninggalkan jejak luar biasa. Di tengah “kehijauan” penulis, penulis memohon
maaf jika ada kekeliruan dalam pemaparan maupun penyajian data dan fakta
terkait keempat pejuang perempuan di atas. Wallahu
a’lam.
HENDRA
SUGIANTORO
Penulis
berdomisili di Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar