Menguatkan Peran Didik Orangtua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi HARIAN JOGJA, Kamis, 3 Mei 2012


Anak adalah generasi masa depan. Untuk melihat wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang,  kita sebenarnya cukup melihat wajah anak-anak di masa kini. Bila anak kondisinya baik, maka baiklah wajah masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu juga sebaliknya.

Apa yang diutarakan di atas perlu kita renungkan. Coba kita saksikan kondisi masyarakat kita. Kekerasan kerapkali muncul tak terduga. Tawuran antarsiswa, antarkampung atau antardesa kadang terjadi di beberapa tempat. Begitu pula dengan bentuk kekerasan lain. Kita yang memiliki hati nurani mungkin tak habis pikir mengapa ada manusia tega menganiaya atau menghabisi nyawa manusia lain. Korupsi juga bisa kita jadikan bukti. Kita mafhum wabah korupsi masih belum terberantas di negeri ini. Kerusakan lingkungan pun adalah wajah nyata yang seringkali kita saksikan. Itu hanya untuk menyebut beberapa contoh, meski ada pula cahaya terang di tengah kegelapan. 

Adanya wajah yang memprihatinkan itu sesungguhnya berakar dari manusia. Manusialah yang bersikap, berperilaku, dan menentukan mau menjadikan seperti apa dunia yang dihuninya. Wajah buruk yang menghiasi masyarakat, bangsa, dan negara pada saat ini tentu menuntut kita mengakui adanya kekeliruan dalam mendidik anak-anak di masa lalu. Banyaknya koruptor sebenarnya bisa kita telisik seperti apakah masa lalu para koruptor itu saat masih anak-anak. Adanya perusak lingkungan, penggundul hutan, pencemar air, dan sebagainya menurut saya akibat pembiasaan, penanaman nilai, dan pendidikan yang tak berjalan baik ketika mereka masih kecil. 

Memang perkembangan kepribadian manusia itu dinamis. Namun, saya hendak menegaskan bahwa usia anak-anak adalah usia emas (golden age). Pendidikan di masa anak-anak memberikan dasar bagi proses pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya. Bahkan, ada ahli yang mengatakan bahwa pengalaman yang diperoleh pada masa anak-anak takkan pernah tergantikan oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali dimodifikasi (Eti Nurhayati: 2011). Jelasnya, pendidikan usia dini tak bisa diabaikan. Maka, menjadi tugas penting kita mempersiapkan anak-anak di masa kini untuk dapat mencerahkan wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang. Pertanyaannya, siapakah yang bertanggungjawab melakukan hal itu?
Tanggung jawab tentunya di pundak kita bersama. Namun, satu hal yang perlu kita insyafi, seperti apakah anak-anak di masa depan sebenarnya orangtualah yang bertanggung jawab paling utama. Dalam perspektif agama, orangtua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan terkait pendidikan anak-anaknya. Anak adalah amanah yang diberikan Tuhan kepada orangtuanya masing-masing. Jika anak yang dilahirkan berperilaku baik, orangtua bisa mendapatkan pahala yang terus mengalir. Kita mungkin berpikir, bagaimana nasib orangtua di hadapan Tuhan bila anaknya yang menjadi pejabat negara melakukan korupsi? Apa yang harus kita katakan di hadapan Tuhan bila anak-anak kita di dunia mengedarkan atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang? 

Pendidikan untuk anak-anak sudah semestinya kita evaluasi. BS Mardiatmadja (2004) dalam esainya berjudul Ruh Pendidikan menuturkan bahwa orangtualah fasilitator perdana pendidikan manusia. Sebab, orangtua menjadi pendidik secara alamiah dan kodrati. Orangtua menjadi pendidik secara penuh waktu dan sepanjang hidup, meski seringkali dengan cara beraneka. Orangtua melaksanakan pendidikan secara komprehensif, artinya dalam segala segi hidup manusia. Tak satu pihak pun dapat menyerupai orangtua. Namun, orangtua dapat juga meminta bantuan pihak lain untuk memfasilitasi sehingga pendidikan menjadi paripurna. Pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua. 

Pernyataan semua pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua perlu sekali digaris bawahi. Bila orangtua memasukkan anak-anaknya ke bangku sekolah, sifatnya hanya membantu. Dengan bersekolah, anak akan mendapatkan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi kehidupannya. Tentu orangtua bertanggungjawab untuk memasukkan anaknya ke sekolah terbaik yang dapat membantu orangtua dalam mendidik anaknya. Perlu sekali kita mengerti, pendidikan dalam arti yang luas terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan (Fuad Hassan: 2004). Anak tak sekadar membutuhkan pembelajaran, tetapi juga pembiasaan dan peneladanan yang tentu saja harus diberikan oleh orangtua sebagai penanggungjawab utama pendidikan anak. Orangtua harus membiasakan anaknya memiliki perilaku disiplin, kejujuran, tidak mengambil barang bukan miliknya, dan hal positif lainnya. Orangtua juga harus menjadi teladan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku terpuji. Tampaknya menguatkan peran didik orangtua menjadi sebuah pekerjaan besar. Orangtua perlu terus belajar memperbaiki prinsip, metode, dan pola pendidikan bagi anak-anaknya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
bisnis syariah

0 komentar: