Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 19 Juni 2013
Siang
hari, seorang ayah memboncengkan anaknya yang berseragam Sekolah Dasar (SD). Di
perempatan jalan, lampu lalu lintas akan berwarna merah sekian detik lagi.
Dengan jarak yang masih jauh, ayah itu melajukan sepeda motornya sepenuh daya
agar terhindar dari lampu merah. Namun, sebelum kesampaian, lampu merah telah
menyala. Ayah itu selayaknya berhenti, menunggu nyala lampu hijau berikutnya.
Entah apa yang ada di balik pikiran, ayah itu tetap saja menerjang lampu merah.
Nanggung mungkin.
Ilustrasi
di atas kerapkali kita jumpai. Bahkan, lampu belum benar-benar hijau pun,
setiap kendaraan terburu-buru ingin bergegas. Sekian detik lagi lampu akan
hijau, bunyi klakson telah berdesingan. Kita seolah-olah lupa kewajiban untuk
tertib di jalan raya. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas adalah salah satu etika
sosial, karena menyangkut kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan lainnya.
Disadari atau tidak, apa yang dilakukan sang ayah dalam ilustrasi di atas
memberikan keteladanan kurang positif. Anaknya yang membonceng sedikit banyak
telah belajar sikap dan perilaku di jalan raya dari ayahnya. Konsep nilai-nilai
yang ditanamkan di bangku sekolah tak sejalan dengan contoh yang ditemuinya.
Kita
ambil kasus lain. Ada seorang guru terlambat mengajar. Dengan penuh kesabaran,
siswa-siswanya menanti. Masih lebih baik apabila guru tersebut memohon maaf
atas keterlambatannya. Namun, ketika tiba di kelas, guru cenderung tak ada
perasaan bersalah. Padahal, kalau ada siswa yang terlambat, urusannya kerapkali
lebih ribet, seperti harus izin ke
guru piket, ditanyai alasannya terlambat, dan semacamnya. Siswa dimintai
tanggung jawab, namun jarang diteladankan oleh guru-gurunya yang (pernah)
terlambat masuk kelas. Terlambat lima menit pun, guru selayaknya bertanggung
jawab di hadapan siswa-siswanya. Tak hanya menyampaikan alasan, tetapi perlu
meminta maaf. Pasalnya, ketika guru terlambat mengajar, ada hak siswa terkait
waktu belajar di sekolah yang terkurangi. Disiplin waktu perlu menjadi budaya
sekolah yang dicontohkan guru.
Siapa
pun tentu memahami betapa pentingnya keteladanan. Pendidikan bukan sekadar
teori, petuah, dan rumus-rumus. Dalam arti luas, ujar Fuad Hassan (2004),
pendidikan terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran,
dan peneladanan. Malah, menurut penulis, peneladanan memegang posisi penting.
Pembiasaan dan pembelajaran membutuhkan peneladanan. Peneladanan sikap dan
perilaku positif perlu dilakukan kepada anak-anak kita.
Ketika
orangtua ingin membiasakan anaknya menjaga kebersihan di rumah, misalnya, maka
berilah keteladanan terlebih dahulu. Amat naif apabila lebih suka menyuruh anak
menyapu dan mengepel lantai, tetapi orangtua tak pernah melakukan pekerjaan
tersebut. Orangtua juga perlu memberi contoh untuk selalu membuang sampah pada
tempatnya. Membiasakan anak mencuci piring setelah makan juga perlu
peneladanan. Begitu juga dengan urusan terkait kewajiban agama seperti shalat,
orangtua harus memberikan contoh. Menurut psikolog Lina Erliana (2011), anak
disebut sebagai peniru ulung. Entah itu sikap dan perilaku yang baik atau buruk
dari orangtua, anak bisa mencontohnya. Apa yang dicontohkan orangtua lebih kuat
pengaruhnya ketimbang apa yang diajarkan atau dikatakan. Satu contoh yang
berbicara tentu lebih baik daripada seribu patah kata! Disadari atau tak disadari, sikap dan perilaku anak lebih
terbentuk dari apa yang dicontohkan orangtuanya.
Begitu
pula dengan guru di sekolah, siswa akan belajar dari apa yang dicontohkan guru.
Hal yang menarik dikemukakan adalah tentang himbauan kepada siswa untuk rajin
belajar. Setiap hari guru menghimbau siswa-siswanya untuk rajin belajar, tetapi
dirinya malah lupa melaksanakan himbauan itu. Guru meminta siswanya tekun
membaca, namun tak pernah terlihat menyambangi perpustakaan atau membaca buku
di ruang guru.
Anak memang boleh jadi
tak mendapatkan keteladanan di rumah, tetapi dari lingkungan di luar rumah.
Keteladanan bisa didapatkan dari mana saja. Maka, tak perlu heran apabila anak
bisa bersikap dan berperilaku baik meskipun orangtua bersikap dan berperilaku
buruk. Mungkin kekuatan pengaruh keteladanan itu diperoleh dari guru, tokoh
masyarakat, tokoh idola, atau malah Nabi Muhammad SAW. Bukankah ada ayat
berbunyi, “Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu…?”(QS. Al-Ahzab (33): 21).
Terlepas
dari itu, siapa pun tentu perlu refleksi diri. Menarik merenungkan kata
Friedrich Froebel (1782-1852), “Pendidikan
adalah semata-mata teladan dan cinta”. Mari kita mengaca diri. Mari kita
menjadi teladan yang baik bagi anak-anak kita, bagi siswa-siswa kita. Siapa pun
yang bisa memberikan pengaruh teladan yang baik, pahala akan dicatat-Nya. Wallahu a’lam.(HENDRA
SUGIANTORO).
0 komentar:
Posting Komentar