Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Citizen Journalism TRIBUN JOGJA, Jum'at 12 Agustus 2011
Kapita selekta jurnalistik merupakan salah satu program bagi mahasiswa baru Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 2011. Selain bidang jurnalistik, kapita selekta juga meliputi bidang sosial politik, kewirausahaan, dan penelitian. Keempat bidang ini dipilih mahasiswa baru saat orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) sesuai minat dan keinginan. Ospek UNY 2011 dilaksanakan pada Selasa-Sabtu, 2 Agustus-6 Agustus 201, lalu.
Kapita selekta dengan empat bidang itu setiap tahun diadakan untuk memberikan orientasi dan pengenalan awal kepada mahasiswa baru. Terkait kapita selekta jurnalistik, mahasiswa baru setidaknya bisa memiliki gambaran tentang dunia jurnalistik. Kapita selekta jurnalistik ini diberikan kepada mahasiswa baru di pelbagai fakultas di UNY, seperti Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK).
Dari masing-masing fakultas, jumlah mahasiswa yang memilih jurnalistik bisa dikatakan relatif banyak. Saya sendiri mengisi materi untuk kapita selekta jurnalistik di FT UNY, Kamis (4/8). Banyaknya jumlah mahasiswa baru yang memilih bidang jurnalistik pastinya merupakan potensi untuk memberi nafas jurnalistik kampus. Dari jumlah sebanyak itu, ada pemandu jurnalistik yang bersiap memandu dan membina mereka.
Dalam penyampaian materi, saya mencoba membangkitkan motivasi dan spirit kepada mahasiswa baru terlebih dahulu. Saya menjabarkan kisah tokoh-tokoh bangsa yang begitu aktif dalam dunia jurnalistik. Hampir tak bisa dimungkiri jika pejuang bangsa ini memiliki rekam jejak di jalan pena, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Salah satu surat kabar yang dikelola H.O.S Tjokroaminoto adalah Oetoesan Hindia. Bung Karno pernah terlibat di Oetoesan Hindia dan mengaku menulis tak kurang dari 500 tulisan. Bung Karno juga pernah terlibat dalam penerbitan surat kabar Sama Tengah dan Fadjar Asia. Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Rakyat merupakan surat kabar yang pernah dipimpin Bung Karno. Bung Hatta pernah terlibat dalam penerbitan Jong Sumatera. Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta aktif dalam penerbitan Hindia Poetra. Pada usia 24 tahun, Ki Hajar Dewantara berani menulis Als Ik eens Nederlander was (Andaikata Aku Seorang Nederland) yang menggemparkan kolonial. Itulah beberapa materi yang saya sampaikan.
Dengan memaparkan sepak terjang tokoh-tokoh bangsa dalam lapangan jurnalistik, saya berharap semoga mahasiswa baru UNY 2011 bisa menghayati dan meneladani betapa pentingnya pena sebagai alat perjuangan.
Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Senin 8 Agustus 2011
Kini puasa Ramadan tiba. Di sekolah-sekolah, puasa Ramadan kerapkali diisi dengan beragam kegiatan. Jam pelajaran biasanya dikurangi. Bagi guru, puasa penuh dijalani. Bagi siswa, mungkin ada yang puasa “mbedug”. Yang jelas, ibadah puasa membuat suasana sekolah cukup hening ketimbang biasanya.
Sebagaimana pesan moral yang sering terdengar, puasa diharapkan bermakna bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan. Puasa diharapkan mampu meningkatkan kualitas diri. Puasa adalah media pendidikan, baik rohani maupun jasmani. Puasa bukan sekadar tidak makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Pada titik ini, puasa sebenarnya merupakan pendidikan dalam membangun kualitas insan pendidikan. Puasa tidaklah sekadar teori, tapi praktik yang langsung dirasakan dan dijalankan. Puasa merupakan salah satu media pendidikan yang dapat mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia.
Maka, puasa memiliki arti penting bagi proses pendidikan. Sekolah memang selayaknya menjadikan puasa Ramadan setiap tahun sebagai agenda program kerjanya. Program-program selama puasa tidak ada salahnya dirumuskan dan dijalankan. Jadi, sekolah tidak hanya menggelar rutinitas kegiatan belajar mengajar, tapi juga menyemarakkan bulan Ramadan. Pesantren sehari, buka bersama, dan pengajian yang seringkali dilaksanakan pihak sekolah tentu layak diapresiasi. Itu kegiatan secara formal. Di sisi lain, penanaman nilai-nilai puasa secara tidak formal bisa ditanamkan. Sebagai misal adalah melatih kejujuran siswa. Boleh jadi dalam bulan puasa ada ulangan harian dimana siswa melatih dirinya untuk jujur. Dengan puasa, kepekaan sosial siswa juga dilatih, sehingga memiliki kepedulian terhadap sesama. Guru pun perlu menanamkan nilai-nilai puasa, sehingga ketidakjujuran yang seringkali mencuat di sekolah dapat dihilangkan.
Ibadah puasa Ramadan pastinya memiliki nilai penting dalam proses pendidikan. Jika saat ini moralitas seringkali kurang ditanamkan di sekolah yang hanya mengejar pencapaian angka-angka kuantitatif, maka puasa menjadi alternatif dalam pendidikan moral siswa. Puasa merupakan proses pendidikan dalam membentuk akhlak siswa terhadap Tuhan, sesama, orang tua, guru, dan lingkungan.
Semoga puasa Ramadan tahun ini tidak berlalu begitu saja. Perubahan lebih baik melalui puasa Ramadan diharapkan terjadi pada insan pendidikan di sekolah. Wallahu a’lam.
Oleh: HENDRA SUGIANTORODimuat di Citizen Journalism TRIBUN JOGJA, Sabtu 6 Agustus 2011
Negeri ini sangat membutuhkan pemimpin yang saleh. Pemimpin yang saleh itu menegakkan tauhid dan memiliki akhlaqul karimah. Itulah yang disampaikan Busyro Muqoddas dalam ceramah dan dialog usai salat tarawih di Masjid Syuhada, Yogyakarta, Minggu (31/7). Busyro Muqoddas yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sedikit banyak membahas soal korupsi.
Diakui atau tidak, pemimpin yang saleh di negeri ini amat minim. Pemimpin jika saleh pasti berlaku jujur, dapat dipercaya, dan kuasa memberikan manfaat kepada masyarakat. Korupsi adalah salah satu contoh perilaku yang tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara. Keprihatinan kita bersama bahwa perilaku korupsi di negeri ini masih menggejala. Busyro Muqoddas mengatakan bahwa negeri ini dirusak oleh sebagian pemimpin. Pemimpin yang tidak saleh berani melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Pemimpin yang saleh, kata Busyro Muqoddas, bisa melindungi diri, keluarga, masyarakat, dan negaranya, bukan malah menipu rakyatnya dan menjarah uang rakyat.
Pada kesempatan ini, Busyro Muqoddas juga menekankan bahwa pada dasarnya setiap individu adalah pemimpin. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap kita minimal adalah pemimpin bagi diri sendiri. Terkait dengan ibadah puasa, Busyro Muqoddas mengutarakan tentang metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu. Ulat dalam melakukan perubahan ke bentuk kupu-kupu itu melewati terlebih dahulu “proses puasa” di dalam kepompong. Setelah menjalani ibadah puasa, kita semestinya bisa tampil lebih baik dan menampakkan kebaikan.
Ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Asy-Syu’ara’ tak lupa diungkapkan Busyro Muqoddas. Pada ayat 83-84 dalam surat itu dipaparkan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhan-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang (yang datang) kemudian.” Ibrahim pun masih berdoa kepada Allah Swt agar dimasukkan dalam golongan orang-orang yang saleh, apalagi kita. Dalam doa tersebut, ada pesan tersendiri bagi para pemimpin agar hendaknya bisa menjadi buah tutur yang baik bagi generasi mendatang, bukan malah dicaci dan dihujat. Pemimpin yang saleh tentu bisa menjadi buah tutur yang baik. Kita maupun pemimpin dalam ranah masyarakat, bangsa, dan negara perlu kiranya merenungkan doa Nabi Ibrahim tersebut.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik&Anggota Writing Revolution, tinggal Yogyakarta
Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at 5 Agustus 2011
IBADAH puasa Ramadan dijalani masyarakat negeri ini yang mayoritas muslim. Begitu pula para pemimpin negeri ini menjalankan ibadah puasa Ramadan. Bulan Ramadan yang penuh berkah dan kemuliaan tentu memiliki makna mendalam bagi pembentukan kepribadian dan mental siapa pun yang menjalankannya dengan sebenar-benarnya. Bagi pemimpin, ibadah puasa Ramadan harapannya menjadi media pendidikan agar mampu memimpin negeri ini secara lebih baik.
Berbicara mengenai pemimpin tentu tak terbatas pada presiden-wakil presiden, tapi juga siapa pun pemimpin dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Anggota DPR pun merupakan bagian dari pemimpin. Yang dimaksud pemimpin adalah siapa pun yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik dalam lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Melalui puasa Ramadan, para pemimpin negeri ini perlu menempa diri agar mampu menundukkan hawa nafsu yang mengarah pada keburukan. Harapannya, ibadah puasa Ramadan dapat menyadarkan para pemimpin terhadap misi profetik yang diembannya. Bulan Ramadan sebagai bulan pendidikan (tarbiyah) diharapkan mampumenanamkan pola pikir para pemimpin untuk siap mengambil peran meneruskan jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran untuk membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Setiap Nabi adalah pemimpin bagi umatnya. Begitu pula para pemimpin di negeri ini perlu hidup bersama masyarakat dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpurukan, kejahiliyahan, dan ketertindasan.
Ibadah puasa Ramadan untuk membangun kesadaran misi profetik para pemimpin tentu merupakan hal penting mengingat fakta kehidupan berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya berjalan baik. Di negeri ini masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah di dunia pendidikan.
Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, para pemimpin dengan kesadaran misi profetik perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Ibadah puasa Ramadan hendaknya mampu membangkitkan tindakan para pemimpin untuk melakukan humanisasi dan liberasi. Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan, para pemimpin tentu tidak sekadar ditempa dimensi vertikalnya untuk dekat dengan Tuhan, tapi juga hubungannya dengan masyarakat yang dipimpinnya (dimensi horisontal). Kepedulian dan kepekaan sosial para pemimpin merupakan keniscayaan untuk dapat merasakan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Humanisasi sebagai upaya memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan pemimpin.
Adapun dari sisi liberasi, pemimpin harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan, sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan,
Tindakan humanisasi dan liberasi pemimpin tentu saja dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Ibadah puasa Ramadan yang yang dijalankan secara benar akan mampu membangun dan meningkatkan keimanan para pemimpin. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat diarahkan agar masyarakat memiliki ketertundukan pada Sang Pencipta. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Akhirnya kita berharap agar ibadah puasa Ramadan tak sekadar ritual tahunan miskin makna. Ibadah puasa Ramadan perlu dijadikan media pendidikan bagi siapa pun, termasuk para pemimpin di negeri ini. Dengan kesadaran profetik, para pemimpin di negeri ini semoga dapat melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga semakin berjati diri, bermartabat, bernilai, dan diliputi keberkahan. Wallahu a’lam.
dari mereka untuk cinta/untuk hidup/untuk kemuliaan/untuk kesempurnaan/untuk keindahan/untuk keharuman/untuk kematian bermakna/detik ini,dari mereka/ dengarkan/barisan kalimat bercahaya