Puasa dan Kesadaran Profetik Pemimpin

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at 5 Agustus 2011

IBADAH puasa Ramadan dijalani masyarakat negeri ini yang mayoritas muslim. Begitu pula para pemimpin negeri ini menjalankan ibadah puasa Ramadan. Bulan Ramadan yang penuh berkah dan kemuliaan tentu memiliki makna mendalam bagi pembentukan kepribadian dan mental siapa pun yang menjalankannya dengan sebenar-benarnya. Bagi pemimpin, ibadah puasa Ramadan harapannya menjadi media pendidikan agar mampu memimpin negeri ini secara lebih baik.


Berbicara mengenai pemimpin tentu tak terbatas pada presiden-wakil presiden, tapi juga siapa pun pemimpin dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Anggota DPR pun merupakan bagian dari pemimpin. Yang dimaksud pemimpin adalah siapa pun yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik dalam lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Melalui puasa Ramadan, para pemimpin negeri ini perlu menempa diri agar mampu menundukkan hawa nafsu yang mengarah pada keburukan. Harapannya, ibadah puasa Ramadan dapat menyadarkan para pemimpin terhadap misi profetik yang diembannya. Bulan Ramadan sebagai bulan pendidikan (tarbiyah) diharapkan mampu menanamkan pola pikir para pemimpin untuk siap mengambil peran meneruskan jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran untuk membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Setiap Nabi adalah pemimpin bagi umatnya. Begitu pula para pemimpin di negeri ini perlu hidup bersama masyarakat dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpurukan, kejahiliyahan, dan ketertindasan.


Ibadah puasa Ramadan untuk membangun kesadaran misi profetik para pemimpin tentu merupakan hal penting mengingat fakta kehidupan berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya berjalan baik. Di negeri ini masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah di dunia pendidikan.


Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, para pemimpin dengan kesadaran misi profetik perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Ibadah puasa Ramadan hendaknya mampu membangkitkan tindakan para pemimpin untuk melakukan humanisasi dan liberasi. Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan, para pemimpin tentu tidak sekadar ditempa dimensi vertikalnya untuk dekat dengan Tuhan, tapi juga hubungannya dengan masyarakat yang dipimpinnya (dimensi horisontal). Kepedulian dan kepekaan sosial para pemimpin merupakan keniscayaan untuk dapat merasakan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Humanisasi sebagai upaya memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan pemimpin.


Adapun dari sisi liberasi, pemimpin harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan, sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan,

Tindakan humanisasi dan liberasi pemimpin tentu saja dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Ibadah puasa Ramadan yang yang dijalankan secara benar akan mampu membangun dan meningkatkan keimanan para pemimpin. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat diarahkan agar masyarakat memiliki ketertundukan pada Sang Pencipta. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.


Akhirnya kita berharap agar ibadah puasa Ramadan tak sekadar ritual tahunan miskin makna. Ibadah puasa Ramadan perlu dijadikan media pendidikan bagi siapa pun, termasuk para pemimpin di negeri ini. Dengan kesadaran profetik, para pemimpin di negeri ini semoga dapat melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga semakin berjati diri, bermartabat, bernilai, dan diliputi keberkahan. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Transform Institute Yogyakarta


0 komentar: