Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa, KORAN MERAPI, Sabtu 8 Oktober 2011
Siapa pun kita memiliki emosi. Bentuk emosi kita bermacam-macam, seperti senang, marah, benci, suka, cinta, dan sebagainya. Bahkan, emosi dalam diri kita tak bersifat tunggal, tetapi bisa merupakan kombinasi dari berbagai macam emosi. Sebut saja misalnya kita menyukai seseorang, lalu kita mencintainya. Kita juga bisa memiliki emosi marah sekaligus benci.
Pembahasan terkait emosi ini menarik, karena keseharian kita pada dasarnya tak terlepas dari aspek emosi. Sebagaimana kasus-kasus yang kerap diberitakan di media massa, aspek emosi pada seseorang begitu kentara. Sebut saja ada remaja putri yang mencintai lawan jenisnya, lalu orang yang dicintainya itu pergi begitu saja. Akibat kurang mampu mengendalikan emosi ke arah positif, remaja putri itu lantas menzalimi dirinya dengan tak sudi makan, bahkan ada yang sampai melakukan perbuatan bunuh diri. Kasus tawuran antar-siswa sekolah ataupun antar-warga kampung juga ada pelibatan aspek emosi di dalamnya. Ada pula orang yang sedih berlarut-larut dan merasa bosan menjalani hidup.
Dalam hal ini, ada yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Kita kerapkali mengartikan emosi dengan marah. Jika ada orang yang marah, kita seketika mengatakan orang itu emosi. Padahal, marah hanya bagian dari bentuk emosi. Jika kita menyaksikan korban bencana alam lantas kita tergugah untuk memberikan bantuan, maka hal itu juga bagian dari emosi. Mohamad Surya (2003) menjelaskan bahwa emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap perilaku individu, yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Artinya, perilaku kita merupakan gambaran dari emosi yang ada pada diri kita.
Dalam diri kita, emosi tak berdiri sendiri. Pada umumnya, emosi memiliki hubungan dengan kognisi dan tindakan. Interaksi antara kognisi, emosi, dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Albert Ellis mengungkapkan bahwa kognisi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap emosi dan tindakan, emosi juga berkontribusi atau menjadi sebab terhadap kognisi dan tindakan, serta tindakan berkontribusi atau menjadi sebab kognisi dan emosi. Bila seseorang mengalami perubahan dalam salah satu dari tiga ranah itu, maka cenderung akan mengalami perubahan dua lainnya (Mohamad Surya: 2003)
Untuk menjelaskan hal di atas, kita bisa melihat beberapa contoh berikut ini: (1). Seorang siswa memahami bahwa mendapatkan nilai baik itu penting. Pentingnya mendapatkan nilai baik tertanam dalam kognisinya, maka ia memiliki emosi menyukai setiap apa yang diterangkan oleh guru di depan kelas dan menyukai pelajaran apapun. Ia pun melakukan tindakan dengan giat belajar, (2). Seseorang melakukan tindakan membakar sampah sembarangan, lalu terjadi kebakaran. Karena kejadian itu, ia mungkin akan memiliki emosi membenci api. Bahaya api terekam dalam pikirannya.
Emosi memang tak terpisahkan dalam diri seseorang. Ekspresi dari emosi bisa positif, bisa pula negatif. Ekspresi negatif dari emosi, misalnya suporter sepakbola tak terima tim yang didukungnya kalah lantas marah dan menghujat atau melempari wasit di lapangan. Ekspresi dari emosi yang negatif tentu tak baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menyaksikan dampak dari emosi yang ditunjukkan secara tak positif, sehingga berakibat buruk terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Maka, pengendalian emosi menjadi niscaya.
Pada titik ini, pengendalian dari emosi marah penting ditekankan. Pasalnya, perilaku tak bijak umumnya akibat ekspresi dari emosi marah yang tak terkendali. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Menurut kalian, siapakah orang yang paling kuat?” Para sahabat menjawab, “Orang yang tak dapat dikalahkan oleh orang lain.” Rasulullah SAW berkata, “Bukan. Orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.”(HR. Muslim dan Abu Dawud). Dari hadits tersebut, ada pelajaran agar kita bisa mengendalikan emosi marah. Orang dikatakan kuat bukan karena ditakuti oleh orang lain, tetapi kemampuan mengendalikan diri untuk tak meluapkan kemarahan.
Mungkin bagi sebagian kita masih begitu sulit mengendalikan emosi marah. Jika kita menyadari, emosi marah cenderung membuat kita tak mampu berpikir dengan akal sehat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Hendaklah salah seorang di antara kalian tidak menjatuhkan putusan hukum di antara dua orang saat ia sedang marah.”(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Dalam konteks luas, kita hendaknya tak membuat putusan apapun ketika marah karena pikiran kita cenderung tidak jernih saat marah. Kasus pembunuhan yang kerapkali terjadi dimungkinkan akibat putusan-putusan yang diambil ketika marah. Karena keinginan tak terpenuhi, ada anak yang marah dan mengambil putusan membunuh orangtuanya. Ada pula orang yang membunuh saudaranya atau orang lain karena sakit hati dan faktor lainnya.
Untuk mengendalikan emosi marah, ada sabda Rasulullah SAW yang kerapkali kita dengar, “Sungguh, marah adalah setan. Dan sungguh, setan diciptakan dari api. Api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka, jika salah seorang dari kalian marah, wudhulah.”(HR. Abu Dawud). Berwudhu boleh jadi bisa mengatasi emosi marah kita. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah, dan saat itu ia dalam keadaan berdiri, maka duduklah, karena itu akan menghilangkan amarahnya. Jika belum reda, maka berbaringlah.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Pemaparan di atas terkait dengan emosi marah. Ada emosi lainnya, seperti benci, dengki, sedih, dan lainnya. Emosi senang dan cinta pun perlu dikendalikan dan diarahkan, karena bisa juga berefek buruk apabila berlebihan. Beragam bentuk emosi itu wajar terdapat pada diri kita. Hanya saja kita perlu mengendalikan dan mengarahkan ke hal-hal positif. Kita yang dapat mengendalikan dan mengarahkan emosi secara positif berarti memiliki kepribadian yang sehat. Kita akan terus belajar untuk itu. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Transform Institute, Yogyakarta).