Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Rabu, 9 Januari 2013
Setiap
saat, di televisi maupun di koran cetak, pengungkapan kasus korupsi
terus-menerus diberitakan. Pengusutan dan penyidikan dilakukan demi
keberhasilan pemberantasan korupsi. Keterbukaan dan kebebasan pers dan
informasi telah memberi akses bagi masyarakat untuk mengetahui masalah korupsi
secara lebih mendalam. Masyarakat pun bisa menyaksikan wajah-wajah pelaku korupsi.
Tentu hal ini merupakan hal positif.
Dengan pemberitaan
kasus korupsi, menurut penulis, bisa menumbuhkan rasa malu. Tak hanya bagi
koruptor yang telanjur malu telah menjadi berita di ranah publik, tetapi juga
bagi siapa pun yang berpeluang melakukan korupsi. Tidak korupsi karena malu
menjadi pemberitaan di media massa tentu lebih baik daripada tak malu melakukan
korupsi. Secara perlahan, masyarakat pun mulai tersadarkan untuk melancarkan
perlawanan terhadap korupsi lewat media massa maupun media sosial yang
bertebaran di internet. Kontrol masyarakat lewat media sosial di internet bisa
menjadi kekuatan rakyat (people power)
yang berdaya luar biasa bagi laju pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya, siapa
pun telah memahami bahwa korupsi adalah tindakan tercela. Kesadaran ini
bukannya tak ada, namun nafsunya mengarah pada keburukan korupsi atau bisa
dikatakan berada pada level jiwa hewani. Komaruddin Hidayat (2009) pernah berujar bahwa nafsu korupsi itu hanya mengejar kesenangan dan
kepuasaan emosional-material semata. Meskipun kayanya setengah mati, orang yang
masih berada pada tingkatan jiwa hewani tetap saja doyan korupsi.
Menumpuk-numpuk harta terus-menerus dilakukannya. Nafsu ini memang tidak mengenal batas dan kerapkali merusak norma sosial dan
agama.
Memang pergulatan jiwa
manusia dalam hidup ini senantiasa beradu antara yang baik dan yang buruk.
Manusia seolah-olah dihadapkan pada dua pilihan untuk melakoni jalan kebaikan
atau keburukan. Tentu saja, setiap manusia harus menanggung risiko dan dampak
dari pilihannya itu. Ketika
seseorang tidak
mampu mengendalikan jiwanya sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan
nafsu untuk mengejar kesenangan semata atau terjebak pada level jiwa hewani (animality), seseorang itu gagal
menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity)
sebagai pemimpin dalam kehidupannya. Pribadi yang demikian itu meski
lahiriahnya kaya, namun sesungguhnya jiwanya miskin. Meskipun pendidikan dan
jabatannya tinggi, orientasi hidupnya rendah. Orang yang senang melakukan
korupsi, jiwanya sakit. Seseorang itu tidak sanggup menaikkan kualitas hidupnya pada tataran humanity yang ditandai dengan sikap
selalu mengutamakan nalar sehat dan setia pada bisikan hati nurani
(Komaruddin Hidayat:
2009).
Dengan melakukan
korupsi berarti juga melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Korupsi
dianggap pelanggaran HAM karena aset atau uang negara yang semestinya digunakan
untuk kepentingan publik, tetapi dinikmati oleh orang per orang. Akibatnya,
kehidupan publik amat terabaikan. Banyak rakyat menderita lantaran uang negara
yang seharusnya digunakan untuk membebaskan mereka dari keterdesakan dan
penderitaan dinikmati secara tidak sah oleh para koruptor (Hamid Awaluddin;
2012).
Disadari atau tidak,
korupsi juga bisa berdampak pada nasib anak. Mungkin dampak ini kurang
mendapatkan perhatian. Korupsi yang melakukan orangtuanya, tetapi anak bisa
turut mendapatkan getahnya. Ketika ayah atau ibunya terpampang di koran cetak
atau bersliweran menghiasi layar kaca sebagai tersangka korupsi, bagaimanakah
perasaan sang anak?
Dalam
kondisi psikologis yang wajar, anak dimungkinkan merasa malu. Mungkin bagi anak
yang telah dewasa dan cukup berumur, rasa malu bisa dikendalikan. Namun, anak
yang berusia masih belia atau menginjak remaja, kecemasan dan kepanikan bisa
saja muncul. Efek sosial bisa terasa ketika berada di sekolah atau dalam
pergaulan dengan teman-teman sebayanya. Malah kesedihan dirasakan anak ketika
setiap saat mendengar atau membaca berita korupsi yang dilakukan orangtuanya.
Pada titik ini, orangtua yang tertangkap korupsi bisa dikatakan telah melakukan
kejahatan tersendiri terhadap anaknya. Koruptor tidak mampu memberikan ruang
tumbuh kembang yang kondusif bagi anaknya. Anak tidak mendapatkan perlindungan
dari orangtua yang korupsi. Perlindungan anak tentu saja tidak hanya mencakup
perlindungan fisik, tetapi juga perlindungan psikis.
Mungkin
kita bisa berpikir sejenak, benarkah anak selalu menginginkan orangtuanya
berlimpah uang dan mencukupi kebutuhan anak secara berlebihan? Menjadi kaya
tentu merupakan hak siapa pun, namun menjadi kaya secara tidak benar adalah
kesesatan. Pada dasarnya anak lebih membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya
secara tulus. Membesarkan dan mendidik anak tak selalu terkait dengan
keberlimpahan materi. Apabila koruptor bekerja dan mendapatkan uang demi anak,
bukankah korupsi hanya memenuhi syahwat semata? Korupsi justru membuat anak
sulit memahami orangtuanya yang mencontohkan perilaku tidak terpuji. Anak
dengan sendirinya kehilangan teladan dari orangtuanya yang koruptor.
Di
lain sisi, dampak bagi anak bisa saja terjadi di masa depan. Tidak hanya saat
ini dan hari ini, tetapi juga dalam kehidupan anak pada saat-saat mendatang.
Kalau kita mengacu pada hukum kekekalan energi, korupsi yang dilakukan orangtua
merupakan energi negatif yang akan membawa keburukan dan hal-hal negatif
lainnya. Energi negatif korupsi tidak selalu berdampak langsung pada pelakunya,
tetapi bisa pada anak-anaknya. Dalam Islam, orangtua dituntunkan untuk tidak
memberi makan anak dengan harta tak halal. Dengan harta hasil korupsi, tumbuh
kembang anak kehilangan berkah. Kehidupan anak di masa mendatang bisa beraroma
negatif akibat korupsi yang dilakukan orangtuanya saat ini.
Pungkasnya,
apa yang terpapar di atas perlu menjadi renungan kita bersama. Peluang korupsi
akan selalu ada. Tak ada jaminan kalau kita tidak melakukan korupsi apabila
dihadapkan pada peluang itu. Pastinya, kita menjaga diri tidak memanfaatkan
peluang korupsi sekecil apapun. Apabila kita ingin korupsi, kita selayaknya
juga perlu memikirkan nasib anak-anak kita. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar