Spirit Pemimpin Berjiwa Kerakyatan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 19 Januari 2013

Judul Buku: Spirit Semut Ireng Jokowi (Muka Metal Hati Keroncong) Penulis: R. Toto Sugiharto Penerbit: Penerbit Bangkit, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: xii+108 halaman ISBN     : 978-602-18792-0-7  

Disadari atau tidak, ada sebuah perbedaan antara Jokowi dengan pemimpin lainnya, salah satunya adalah merakyat. Coba bayangkan betapa lelahnya seorang pemimpin merelakan dirinya blusukan kampung sekadar untuk menyapa dan menyatu dalam denyut nadi masyarakatnya. Ketika menjabat walikota Solo pun ia lebih betah berada di tengah masyarakat.

Setelah menjabat Gubernur DKI Jakarta, hampir saban hari Joko Widodo dengan nick name Jokowi menghiasi media massa. Hal ini lumrah apabila dilihat dari wilayah yang dipimpinnya. Menjadi pemimpin di ibukota negara berpeluang lebih besar untuk mendapatkan peliputan terkait sepak terjangnya. Namun, Jokowi dalam ekspos media massa harus diakui tak melulu karena faktor tersebut. Kita bisa bandingkan dengan gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang relatif kalah tenar daripada Jokowi.

Dengan latar sebuah tembang dandanggula Semut Ireng Anak-anak Sapi, buku ini mencoba mendedah fenomena Jokowi. Memang buku ini bukan buku pertama yang memprofilkan Jokowi, sebelumnya telah ada buku-buku lainnya. Dengan alasan itulah, penulis buku mencoba mengambil angle berbeda. Kalau diartikan secara harfiah, “Semut Ireng Anak-anak Sapi” adalah semut hitam beranak sapi. Mana mungkin semut hitam memiliki anak sapi? Itu mustahil terjadi, namun potensial terjadi apabila tiba waktunya. 

Sebuah tembang biasanya mengandung perlambang, isyarat, atau makna tak kasat mata. Semut ireng atau semut hitam melambangkan rakyat kecil yang hidup dalam semangat gotong royong, sedangkan sapi merupakan perlambang binatang terhormat, mulia, atau merupakan hewan peliharaan atau kecintaan para bangsawan. Dengan demikian, sapi mencerminkan kaum elit atau menengah ke atas. 

Dijelaskan penulis buku, bahwa semut ireng, representasi dari rakyat kecil yang mampu secara independen tanpa dipengaruhi politik uang akhirnya berhasil menciptakan pemimpin baru yang direpresentasikan melalui sosok Jokowi. Semut hitam benar-benar melahirkan anak sapi. Rakyat jelata melahirkan pemimpin yang mereka idam-idamkan dari kelas mereka sendiri yang kemudian terangkat sebagai kalangan petinggi yang disimbolkan seekor sapi atau lembu (halaman 4-8).

Tanpa harus mendramatisir kehidupan masa kecil Jokowi, orangtua Jokowi termasuk kalangan keluarga kelas bawah. Dunia masa kecil Jokowi adalah dunia yang keras, penuh disiplin dan kerja keras untuk bisa survive. Orangtua Jokowi, Notomiharjo dan Sujiatmi, Jokowi dan ketiga adik perempuannya hidup sederhana. Untuk menafkahi istri dan keempat anaknya, Notomiharjo bekerja sebagai tukang kayu. Mulanya bertempat tinggal nomaden, berpindah-pindah tempat kontrakan. Perpindahan mereka pun masih di sekitar bantaran sungai, seperti bantaran Sungai Premulung di bilangan Dawung Kidul, Sungai Pepe di daerah Munggung serta Sungai Kalianyar di Gilingan.

Kalau semut ireng juga melambangkan spirit entrepreneurship, Jokowi bisa dikatakan tumbuh dan berkembang jiwa kewirausahaannya dalam dunia tukang kayu. Ketika tamat SMA dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, Jokowi mengambil jurusan Teknologi Kayu. Hal itu boleh jadi sebagai kristalisasi dari pergulatan hidupnya di lingkungan keluarga tukang kayu. Kakek Jokowi adalah tukang kayu, paman Jokowi dari keluarga ibunya pun tukang kayu. Tentu pula, ayah Jokowi yang juga sebagai tukang kayu akhirnya turut merangkum obsesinya untuk lebih serius menekuni dunia tukang kayu secara lebih profesional dengan basis pengetahuan dan teknologi lebih tinggi. 

Usai lulus dari UGM, Jokowi tak lama bekerja di PT Kertas Kraft Aceh di Gayo, Aceh Tengah. Pada 1988, Jokowi pun membuka usaha furniture secara mandiri yang diberi nama CV Rakabu dengan kredit atau pinjaman dari bank. Pada awal merintis dan membuka usaha, ia mengikuti proses dan alur yang wajar. Ia mengawali dengan membuka distribusi area produk bisnisnya di sekitar kota Solo dan sekitarnya sampai melebarkan sayap sampai keluar Pulau Jawa, bahkan sejumlah negara. Menurut penulis buku, kepemimpinan Jokowi di dunia politik pun diilhami dari prinsip entrepreneurship, antara lain mendayagunakan ide dan impian, mengandalkan kreativitas, keberanian melakukan terobosan, kepercayaan pada ikhtiar riil, menyikapi dan mengantisipasi masalah sebagai peluang, menyukai hal baru untuk dicoba, tak lekas putus asa, cepat bangkit dari kegagalan, serta transparan dan egaliter (halaman 19-28).         

Lewat buku ini, kita diajak menimba inspirasi baru dari pemaknaan kita terhadap eksistensi seorang Jokowi. Dalam bahasa kerakyatan, papar penulis buku, Jokowi melampaui sebuah lompatan dunia, dari dunia tukang (kayu) memasuki dunia priyayi. Pengalaman hidup Jokowi dengan serangkaian kisah dari bantaran sungai tentu patut disimak sisi-sisi keteladanannya, spirit memperjuangkan identitas melalui proses laku menuntut ilmu, bukan proses instan, yang tentu pantas dijadikan cermin bagi generasi penerus yang peduli membangun peradaban. Buku ini bisa dipetik pelajaran bagi (calon) pemimpin untuk tumbuh dan berkembang di tengah rakyat.(HENDRA SUGIANTORO).

0 komentar: