Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 19 Januari 2013
Disadari
atau tidak, ada sebuah perbedaan antara Jokowi dengan pemimpin lainnya, salah
satunya adalah merakyat. Coba bayangkan betapa lelahnya seorang pemimpin
merelakan dirinya blusukan kampung
sekadar untuk menyapa dan menyatu dalam denyut nadi masyarakatnya. Ketika
menjabat walikota Solo pun ia lebih betah berada di tengah masyarakat.
Setelah
menjabat Gubernur DKI Jakarta, hampir saban hari Joko Widodo dengan nick name Jokowi menghiasi media massa.
Hal ini lumrah apabila dilihat dari wilayah yang dipimpinnya. Menjadi pemimpin
di ibukota negara berpeluang lebih besar untuk mendapatkan peliputan terkait
sepak terjangnya. Namun, Jokowi dalam ekspos media massa harus diakui tak
melulu karena faktor tersebut. Kita bisa bandingkan dengan gubernur DKI Jakarta
sebelumnya yang relatif kalah tenar daripada Jokowi.
Dengan latar sebuah tembang dandanggula Semut Ireng Anak-anak Sapi, buku ini mencoba mendedah fenomena Jokowi. Memang buku ini bukan buku pertama yang memprofilkan Jokowi, sebelumnya telah ada buku-buku lainnya. Dengan alasan itulah, penulis buku mencoba mengambil angle berbeda. Kalau diartikan secara harfiah, “Semut Ireng Anak-anak Sapi” adalah semut hitam beranak sapi. Mana mungkin semut hitam memiliki anak sapi? Itu mustahil terjadi, namun potensial terjadi apabila tiba waktunya.
Dengan latar sebuah tembang dandanggula Semut Ireng Anak-anak Sapi, buku ini mencoba mendedah fenomena Jokowi. Memang buku ini bukan buku pertama yang memprofilkan Jokowi, sebelumnya telah ada buku-buku lainnya. Dengan alasan itulah, penulis buku mencoba mengambil angle berbeda. Kalau diartikan secara harfiah, “Semut Ireng Anak-anak Sapi” adalah semut hitam beranak sapi. Mana mungkin semut hitam memiliki anak sapi? Itu mustahil terjadi, namun potensial terjadi apabila tiba waktunya.
Sebuah
tembang biasanya mengandung perlambang, isyarat, atau makna tak kasat mata. Semut
ireng atau semut hitam melambangkan rakyat kecil yang hidup dalam semangat
gotong royong, sedangkan sapi merupakan perlambang binatang terhormat, mulia,
atau merupakan hewan peliharaan atau kecintaan para bangsawan. Dengan demikian,
sapi mencerminkan kaum elit atau menengah ke atas.
Dijelaskan
penulis buku, bahwa semut ireng,
representasi dari rakyat kecil yang mampu secara independen tanpa dipengaruhi
politik uang akhirnya berhasil menciptakan pemimpin baru yang direpresentasikan
melalui sosok Jokowi. Semut hitam benar-benar melahirkan anak sapi. Rakyat
jelata melahirkan pemimpin yang mereka idam-idamkan dari kelas mereka sendiri
yang kemudian terangkat sebagai kalangan petinggi yang disimbolkan seekor sapi
atau lembu (halaman 4-8).
Tanpa
harus mendramatisir kehidupan masa kecil Jokowi, orangtua Jokowi termasuk
kalangan keluarga kelas bawah. Dunia masa kecil Jokowi adalah dunia yang keras,
penuh disiplin dan kerja keras untuk bisa survive.
Orangtua Jokowi, Notomiharjo dan Sujiatmi, Jokowi dan ketiga adik perempuannya
hidup sederhana. Untuk menafkahi istri dan keempat anaknya, Notomiharjo bekerja
sebagai tukang kayu. Mulanya bertempat tinggal nomaden, berpindah-pindah tempat
kontrakan. Perpindahan mereka pun masih di sekitar bantaran sungai, seperti bantaran
Sungai Premulung di bilangan Dawung Kidul, Sungai Pepe di daerah Munggung serta
Sungai Kalianyar di Gilingan.
Kalau
semut ireng juga melambangkan spirit entrepreneurship, Jokowi bisa dikatakan
tumbuh dan berkembang jiwa kewirausahaannya dalam dunia tukang kayu. Ketika
tamat SMA dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta,
Jokowi mengambil jurusan Teknologi Kayu. Hal itu boleh jadi sebagai
kristalisasi dari pergulatan hidupnya di lingkungan keluarga tukang kayu. Kakek
Jokowi adalah tukang kayu, paman Jokowi dari keluarga ibunya pun tukang kayu.
Tentu pula, ayah Jokowi yang juga sebagai tukang kayu akhirnya turut merangkum
obsesinya untuk lebih serius menekuni dunia tukang kayu secara lebih profesional
dengan basis pengetahuan dan teknologi lebih tinggi.
Usai
lulus dari UGM, Jokowi tak lama bekerja di PT Kertas Kraft Aceh di Gayo, Aceh
Tengah. Pada 1988, Jokowi pun membuka usaha furniture
secara mandiri yang diberi nama CV Rakabu dengan kredit atau pinjaman dari
bank. Pada awal merintis dan membuka usaha, ia mengikuti proses dan alur yang
wajar. Ia mengawali dengan membuka distribusi area produk bisnisnya di sekitar
kota Solo dan sekitarnya sampai melebarkan sayap sampai keluar Pulau Jawa, bahkan
sejumlah negara. Menurut penulis buku, kepemimpinan Jokowi di dunia politik pun
diilhami dari prinsip entrepreneurship,
antara lain mendayagunakan ide dan impian, mengandalkan kreativitas, keberanian
melakukan terobosan, kepercayaan pada ikhtiar riil, menyikapi dan
mengantisipasi masalah sebagai peluang, menyukai hal baru untuk dicoba, tak
lekas putus asa, cepat bangkit dari kegagalan, serta transparan dan egaliter
(halaman 19-28).
Lewat
buku ini, kita diajak menimba inspirasi baru dari pemaknaan kita terhadap
eksistensi seorang Jokowi. Dalam bahasa kerakyatan, papar penulis buku, Jokowi
melampaui sebuah lompatan dunia, dari dunia tukang (kayu) memasuki dunia
priyayi. Pengalaman hidup Jokowi dengan serangkaian kisah dari bantaran sungai
tentu patut disimak sisi-sisi keteladanannya, spirit memperjuangkan identitas
melalui proses laku menuntut ilmu, bukan proses instan, yang tentu pantas
dijadikan cermin bagi generasi penerus yang peduli membangun peradaban. Buku
ini bisa dipetik pelajaran bagi (calon) pemimpin untuk tumbuh dan berkembang di
tengah rakyat.(HENDRA SUGIANTORO).
0 komentar:
Posting Komentar