Jejak Sepeda Onthel

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 15 Januari 2012

Judul Buku: Pit Onthel Penyunting: Yemima Lintang Khastiti Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: vi+90 halaman

Buku ini hadir untuk merawat sepeda onthel dalam teks. Sepeda onthel hadir di negeri ini tak terlepas dari penjajah Belanda. Pada akhir abad ke-19, Belanda memang menjadi salah satu negara Eropa yang memproduksi sepeda secara besar-besaran, selain Inggris, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Sepeda produksi Belanda itu dibawa ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1910. Merek sepeda yang diminati saat itu, antara lain Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Beberapa tahun kemudian muncul sepeda buatan negara Eropa lainnya, seperti buatan Inggris dan Jerman.

Untuk mendukung kelancaran pemerintahan di tanah jajahan, pemerintah Belanda beserta aparatnya menjadi pengguna sepeda pertama kali. Jenis sepeda disesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Misalnya, bagian porok sepeda militer dipasangi tempat senjata dan sepeda pegawai gubernemen termasuk tukang pos diberi bagasi untuk menyimpan surat. Lambat laun, para bangsawan, para misionaris, dan saudagar kaya menggunakan sepeda. Harga sepeda saat itu mahal, sehingga tak semua masyarakat bisa membelinya (hlm. 4-7).

Pada awal kemerdekaan Indonesia, sepeda digunakan sebagai kendaraan polisi, namun tak semua polisi mendapatkan sepeda dinas. Diceritakan dalam buku ini kisah Pak Samidjo (92 tahun) yang kini tinggal di Desa Boro, Kulon Progo. Dalam kenangannya, ia merasa gagah apabila berpatroli dengan sepeda. Keluar-masuk kampung, penduduk menyambut hangat. Saat itu polisi benar-benar dekat dengan masyarakat. Mendengar dering sepeda patroli saja, masyarakat sudah merasa aman, padahal saat itu polisi hanya bersenjatakan kelewang. Pak Samidjo pernah bersua Bung Karno dan Bung Hatta. Yang berkesan, saat kunjungan Bung Karno ke asrama polisi di Gondomanan. Banyak kisah dirasakan Pak Samidjo dengan sepedanya. Pada tahun 1969, Pak Samidjo pensiun dengan pangkat terakhir Inspektur Polisi II (hlm. 43-44).
Banyak hal lainnya dikemukakan dalam buku ini. Gambar-gambar sepeda onthel dengan beragam merek dan bentuk disajikan. Buku ini dikembangkan dari katalog terbitan Bentara Budaya Yogyakarta yang diolah kembali, dibuat mengalir ceritanya, diubah penataannya, serta sebagian data dilengkapi agar lebih mencakup dan akurat. Sajak gubahan Sindhunata berikut layak direnungkan: Sepeda onthel dari Belanda/rodanya meninggalkan bekas-bekas cinta/di sudut-sudut Kota Yogyakarta./Sudah lapuk besi-besinya/sudah patah ruji-rujinya/habis dimakan cinta./Sepeda onthel sepeda Jawa/saksi mata bagi kita/kota ini pernah bersemi dengan cinta./Kini Yogya tiada lagi mau bersepeda/hiruk-pikuk dan cepat di mana-mana/tapi cinta tiada lagi di hatinya./Sepeda onthel sudah tua/tiada lagi berputar roda-rodanya/Yogya pun kini sepi dari cinta.

Benarkah Jogja tak lagi mau bersepeda?
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

0 komentar: