Jogja Waspada Banjir

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pikiran Pembaca SKH KEDAULATAN RAKYAT, Senin, 16 Januari 2012
Air adalah sumber kehidupan. Di permukaan bumi maupun tubuh manusia, air memiliki volume besar. Tak hanya kekeringan yang melanda, manusia bisa dibuat kerontang tak bernyawa akibat tiadanya air. Lewat kata “air” yang diejakan Annie Sullivan di telapak tangannya, Helen Keller yang buta, tuli, dan bisu pun mulai meniti perjalanan hidup penuh makna. Air memang memberi manfaat, tetapi bisa mengundang petaka apabila meluap berlebihan.

Petaka banjir
, misalnya, pastinya bukanlah hal baru di muka bumi ini. Sejak berabad-abad silam, banjir telah menjadi fenomena. Di Indonesia, banjir bukan hanya milik Jakarta, namun juga kota-kota lainnya. Jangan mengira Jogja tak pernah ada banjir. Perbedaannya hanya pada skalanya. Banjir di Jogja yang skalanya tak terlalu besar mungkin yang menyebabkan responsnya tak seheboh Jakarta. Bertahun-tahun bertempat tinggal di Jogja, penulis menyaksikan beberapa aliran sungai meluap sampai ke daratan. Beberapa ruas jalan pun kerapkali tergenangi air. Hujan yang menerpa Jogja pada awal tahun 2012 ini pun meluapkan air pada beberapa sungai.

Tanpa adanya kesadaran penataan dan pengelolaan lingkungan, Jogja bisa terkena banjir lebih besar. Disadari atau tidak, eksploitasi dan komersialisasi lingkungan bisa mengakibatkan banjir. Pengembangan bangunan beton yang meluas di Jogja perlu dicermati. Tanpa memperhatikan tata ruang dan kawasan hijau, pembangunan justru mengorbankan kehidupan masyarakat. Usaha preventif dan preservatif bisa dilakukan, seperti menjaga-memelihara kedalaman sungai dan daerah aliran sungai.

Selain itu, yang tak bisa dilupakan adalah salah satu kebiasaan sosial buruk yang dimiliki sebagian besar kita, yakni membuang sampah sembarangan. Kebiasaan sosial atau habitus dalam istilah sosiolog Perancis Pierre Bourdieu adalah perilaku perorangan yang dilakukan kebanyakan orang. Sampah bisa menutup saluran air dan mendangkalkan sungai. Sampah juga memicu berbagai penyakit. Maka, kebiasaan sosial buruk tersebut harus diubah menjadi kebiasaan sosial yang baik dengan menaruh sampah pada tempatnya, syukur-syukur sampai memilah dan mengolah (Al Andang L Binawan: 2007). Limbah pabrik yang dibuang tak semestinya juga merupakan sampah yang perlu mendapatkan perhatian.

Banjir bisa mengejutkan Jogja. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kesadaran lingkungan. Di perempatan Wirobrajan Jogja, ada gambar pada sebuah baliho besar dengan tulisan Lengah Berarti Musibah yang layak kita renungkan.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Jogjakarta

0 komentar: