Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Kritik Antar-Capres yang Membangun" Harian Seputar Indonesia, Kamis 25 Juni 2009
KONDISI perpolitikan menjelang Pilpres kian memanas. Setiap pasangan capres-cawapres dibantu tim suksesnya terus bergeliat melakukan kampanye guna merebut simpati publik. Dengan bantuan konsultan pencitraan, pasangan capres-cawapres juga memantapkan citra diri lewat iklan-iklan politik. Bagaimana pun, keputusan ada di tangan masyarakat pemilih pada 8 Juli 2009 nanti. Masyarakat berhak menentukan siapa pasangan capres-cawapres yang kelak akan dipilih.
Seperti kita saksikan, kampanye Pilpres dibumbui dengan aroma kritik. Pada dasarnya kritik tidak dilarang. Jika dalam kampanye terjadi kritik antar-kandidat, maka perlu disikapi secara bijak. Kritik diperlukan untuk membedakan arahan kebijakan dan program dari masing-masing kandidat. Di bidang ekonomi, misalnya, ada kandidat mengklaim memiliki kebijakan ekonomi berbeda sehingga mengkritik kandidat lain yang kebijakan ekonominya tak sejalan. Dalam strategi program mengatasi permasalahan bangsa pun kadang dijumpai sisi berbeda sehingga dengan saling kritik bisa diketahui secara lebih jelas perbedaan dari masing-masing kandidat.
Namun demikian, kritik bukanlah sekadar kritik, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Masing-masing kandidat boleh saling mengkritik, tapi seyogianya memiliki argumentasi rasional. Tanpa argumentasi yang rasional berdasarkan fakta dan data, kritik justru kontraproduktif. Kritik malah menjadi tontonan anak kecil karena sifatnya hanya saling menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan kandidat lain.
Di sisi lain, pihak yang terkena kritik harus bersedia introspeksi. Bagi pihak incumbent, misalnya, kritik yang dilancarkan kandidat lain hendaknya menjadi masukan. Memang wajar bagi pihak yang dikritik melakukan mekanisme pertahanan dan pembelaan diri, tapi hendaknya juga bersedia membuka ruang untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan jalannya pemerintahan selama ini. Bagaimana pun, pemerintahan tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, maka kritik kekuasaan tetap diperlukan. Adanya sikap merasa paling benar dan tidak bersedia dikritik justru mencerminkan kekuasaan yang arogan.
Kita pastinya berharap Pilpres 2009 menghasilkan pemimpin nasional yang amanah dan mampu menjalakan roda pemerintahan secara baik. Masing-masing kandidat memiliki kelebihan sekaligus kekurangan sehingga tidak perlu merasa paling benar. Alangkah lebih bijak jika masing-masing kandidat legawa menerima kritik. Disamping itu, kesediaan meminta maaf kepada rakyat perlu ditumbuhkan karena siapa pun kandidat pernah memerintah dan pasti tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Dimuat di Suara Mahasiswa "Kritik Antar-Capres yang Membangun" Harian Seputar Indonesia, Kamis 25 Juni 2009
KONDISI perpolitikan menjelang Pilpres kian memanas. Setiap pasangan capres-cawapres dibantu tim suksesnya terus bergeliat melakukan kampanye guna merebut simpati publik. Dengan bantuan konsultan pencitraan, pasangan capres-cawapres juga memantapkan citra diri lewat iklan-iklan politik. Bagaimana pun, keputusan ada di tangan masyarakat pemilih pada 8 Juli 2009 nanti. Masyarakat berhak menentukan siapa pasangan capres-cawapres yang kelak akan dipilih.
Seperti kita saksikan, kampanye Pilpres dibumbui dengan aroma kritik. Pada dasarnya kritik tidak dilarang. Jika dalam kampanye terjadi kritik antar-kandidat, maka perlu disikapi secara bijak. Kritik diperlukan untuk membedakan arahan kebijakan dan program dari masing-masing kandidat. Di bidang ekonomi, misalnya, ada kandidat mengklaim memiliki kebijakan ekonomi berbeda sehingga mengkritik kandidat lain yang kebijakan ekonominya tak sejalan. Dalam strategi program mengatasi permasalahan bangsa pun kadang dijumpai sisi berbeda sehingga dengan saling kritik bisa diketahui secara lebih jelas perbedaan dari masing-masing kandidat.
Namun demikian, kritik bukanlah sekadar kritik, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Masing-masing kandidat boleh saling mengkritik, tapi seyogianya memiliki argumentasi rasional. Tanpa argumentasi yang rasional berdasarkan fakta dan data, kritik justru kontraproduktif. Kritik malah menjadi tontonan anak kecil karena sifatnya hanya saling menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan kandidat lain.
Di sisi lain, pihak yang terkena kritik harus bersedia introspeksi. Bagi pihak incumbent, misalnya, kritik yang dilancarkan kandidat lain hendaknya menjadi masukan. Memang wajar bagi pihak yang dikritik melakukan mekanisme pertahanan dan pembelaan diri, tapi hendaknya juga bersedia membuka ruang untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan jalannya pemerintahan selama ini. Bagaimana pun, pemerintahan tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, maka kritik kekuasaan tetap diperlukan. Adanya sikap merasa paling benar dan tidak bersedia dikritik justru mencerminkan kekuasaan yang arogan.
Kita pastinya berharap Pilpres 2009 menghasilkan pemimpin nasional yang amanah dan mampu menjalakan roda pemerintahan secara baik. Masing-masing kandidat memiliki kelebihan sekaligus kekurangan sehingga tidak perlu merasa paling benar. Alangkah lebih bijak jika masing-masing kandidat legawa menerima kritik. Disamping itu, kesediaan meminta maaf kepada rakyat perlu ditumbuhkan karena siapa pun kandidat pernah memerintah dan pasti tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
0 komentar:
Posting Komentar