Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Jurnal Nasional, Selasa 7 Juli 2009
PEMILIHAN presiden (Pilpres) akan digelar Rabu (8/6) nanti. Hajatan Pilpres untuk menentukan pemimpin nasional periode 2009-2014 merupakan titik penting arah perjalanan bangsa dan negara ke depan. Untuk itu, masyarakat yang memiliki hak pilih perlu mencermati hajatan Pilpres sebagai upaya memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin yang tepat memiliki berbagai kriteria, di antaranya kemampuan membaca kondisi zaman dan menakar kemampuan bangsa, berpikir visioner bagi kemajuan bangsa, dan mampu menginspirasi bangsa untuk bersama mewujudkan kemajuan.
Namun demikian, memilih pemimpin yang tepat tidaklah semudah mencabut sehelai rambut dari kulit kepala. Dari tiga pasangan Capres-Cawapres memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Janji-janji program selama kampanye yang lalu tak ada jaminan direalisasikan. Masing-masing pasangan mengklaim bahwa perjuangan yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Lantas, apa yang mesti diperbuat masyarakat pemilih di hari H nanti?
Kecenderungan masyarakat memilih pemimpin berdasarkan kultus individu seyogianya dihilangkan. Paradigma ”pejah gesang ndherek panjenengan” bukan zamannya lagi dipertahankan. Amat naif jika masyarakat melihat calon pemimpin sebagai titisan kekuatan masa lalu. Saat ini masyarakat perlu melihat calon pemimpin dari sisi kemampuan beserta rekam jejaknya. Terkait rekam jejak, setiap pasangan tentu memiliki rekam jejak yang tidak seluruhnya baik, maka yang perlu diperhatikan adalah kesadaran calon pemimpin akan kelemahannya. Calon pemimpin yang menyadari kekurangannya tentu lebih baik daripada calon pemimpin yang merasa benar padahal apa yang dilakukan salah. Kesadaran akan kelemahan membuat pemimpin mengoreksi kesalahan untuk kemudian memperbaiki diri.
Dalam hal ini, masyarakat memang dituntut kritis dan tidak asal memilih. Kampanye Pilpres yang menyuguhkan visi, misi, dan program pasangan Capres-Cawapres bisa dijadikan bahan renungan sebelum menggunakan hak pilihnya. Di tengah ”pembodohan” kaum intelektual dan agamawan dengan argumentasi yang sering kali dipaksakan untuk membela pasangan tertentu, masyarakat bisa menjadi otonom dalam bersikap dan menentukan pilihan. Pada titik ini, masyarakat tak ada salahnya meminta fatwa pada hati dalam memilih pemimpinnya. Dengan kata lain, kejernihan hati diperlukan masyarakat di tengah silang-sengkarut obsesi kekuasaan. Kebersihan hati disertai dengan doa sebagai ekspektasi rabbani selayaknya dilakukan masyarakat. Dengan meminta fatwa pada hati, masyarakat berdaya upaya menghadirkan pemimpin yang tepat untuk Indonesia ke depan. Akhirnya siapa pun berharap agar pemimpin terpilih memang benar-benar mampu membangun politik kemaslahatan bagi kebangunan dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 52281
Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
Dimuat di Surat Pembaca Jurnal Nasional, Selasa 7 Juli 2009
PEMILIHAN presiden (Pilpres) akan digelar Rabu (8/6) nanti. Hajatan Pilpres untuk menentukan pemimpin nasional periode 2009-2014 merupakan titik penting arah perjalanan bangsa dan negara ke depan. Untuk itu, masyarakat yang memiliki hak pilih perlu mencermati hajatan Pilpres sebagai upaya memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin yang tepat memiliki berbagai kriteria, di antaranya kemampuan membaca kondisi zaman dan menakar kemampuan bangsa, berpikir visioner bagi kemajuan bangsa, dan mampu menginspirasi bangsa untuk bersama mewujudkan kemajuan.
Namun demikian, memilih pemimpin yang tepat tidaklah semudah mencabut sehelai rambut dari kulit kepala. Dari tiga pasangan Capres-Cawapres memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Janji-janji program selama kampanye yang lalu tak ada jaminan direalisasikan. Masing-masing pasangan mengklaim bahwa perjuangan yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Lantas, apa yang mesti diperbuat masyarakat pemilih di hari H nanti?
Kecenderungan masyarakat memilih pemimpin berdasarkan kultus individu seyogianya dihilangkan. Paradigma ”pejah gesang ndherek panjenengan” bukan zamannya lagi dipertahankan. Amat naif jika masyarakat melihat calon pemimpin sebagai titisan kekuatan masa lalu. Saat ini masyarakat perlu melihat calon pemimpin dari sisi kemampuan beserta rekam jejaknya. Terkait rekam jejak, setiap pasangan tentu memiliki rekam jejak yang tidak seluruhnya baik, maka yang perlu diperhatikan adalah kesadaran calon pemimpin akan kelemahannya. Calon pemimpin yang menyadari kekurangannya tentu lebih baik daripada calon pemimpin yang merasa benar padahal apa yang dilakukan salah. Kesadaran akan kelemahan membuat pemimpin mengoreksi kesalahan untuk kemudian memperbaiki diri.
Dalam hal ini, masyarakat memang dituntut kritis dan tidak asal memilih. Kampanye Pilpres yang menyuguhkan visi, misi, dan program pasangan Capres-Cawapres bisa dijadikan bahan renungan sebelum menggunakan hak pilihnya. Di tengah ”pembodohan” kaum intelektual dan agamawan dengan argumentasi yang sering kali dipaksakan untuk membela pasangan tertentu, masyarakat bisa menjadi otonom dalam bersikap dan menentukan pilihan. Pada titik ini, masyarakat tak ada salahnya meminta fatwa pada hati dalam memilih pemimpinnya. Dengan kata lain, kejernihan hati diperlukan masyarakat di tengah silang-sengkarut obsesi kekuasaan. Kebersihan hati disertai dengan doa sebagai ekspektasi rabbani selayaknya dilakukan masyarakat. Dengan meminta fatwa pada hati, masyarakat berdaya upaya menghadirkan pemimpin yang tepat untuk Indonesia ke depan. Akhirnya siapa pun berharap agar pemimpin terpilih memang benar-benar mampu membangun politik kemaslahatan bagi kebangunan dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 52281
Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar