Pendidikan Sekadar Angka-angka?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Selasa 14 Juli 2009

PENDIDIKAN merupakan aspek penting mengembangkan individu manusia menjadi insan tangguh yang mampu mendayagunakan potensinya. Melalui pendidikan, potensi akal (al-’aql), hati (al-qalb), dan jasad (al-jasad) yang dimiliki individu manusia dikembangkan dan diarahkan menuju kebaikan positif. Pengembangan ketiga potensi dasar itu tentu saja harus berjalan beriringan. Dengan kata lain, pendidikan yang hanya mengutamakan akal saja akan mengakibatkan individu manusia menjadi tidak seimbang.

Dalam hal ini, peserta didik sebagai individu manusia di lingkup sekolah perlu mendapatkan pengembangan keseluruhan potensi. Namun, fakta penyelenggaraan pendidikan nasional dewasa ini justru melupakan aspek hati demi sekadar mengejar target perolehan angka kuantitatif. Dengan bahasa lain, dunia pendidikan sepertinya mendewakan angka-angka sebagai ukuran kualitas. Berhasil atau tidaknya peserta didik ditentukan oleh angka-angka dalam lembaran rapor dan ijazah. Akhirnya guru pun terjebak pada pola-pola mengajar sebatas transfer ilmu pengetahuan dan melupakan pendidikan nilai-nilai. Kondisi ini tidak mutlak kesalahan guru, tapi juga pengaruh dari kebijakan otoritatif kekuasaan yang menjadikan angka-angka kuantitatif sebagai standar keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.

Kebijakan ujian nasional, misalnya, menyebabkan pihak sekolah dan guru berlomba-lomba menjejali peserta didik dengan beragam latihan soal. Makna pendidikan pun tereduksi ketika hanya diartikan menjawab a, b, c, atau d dalam lembaran jawaban. Disadari atau tidak, pola-pola semacam itu tidaklah mengembangkan aspek intelektual peserta didik secara utuh. Peserta didik hanya memahami konsep ilmu dan pengetahuan secara parsial, bahkan tidak memiliki pehamaman yang komprehensif. Kenyataan itu tentu memprihatinkan dan bisa dikatakan sebagai ”keprihatinan kuadrat”. Pertama, keprihatinan karena aspek hati atau pendidikan nilai-nilai kurang diperhatikan. Kedua, keprihatinan karena pengembangan aspek akal atau kemampuan intelektual berjalan tidak mendalam. Akibatnya, keluaran dari dunia pendidikan formal menjadi krisis kemampuan dan nurani.

Apa yang terjadi dalam realitas sosial di negeri ini seharusnya menyadarkan pemangku kepentingan pendidikan untuk melakukan refleksi. Koruptor-koruptor di negeri ini tentu saja pernah mendapatkan mata pelajaran Matematika di bangku sekolah bahwa 10-4=6 bukan 4. Para perusak lingkungan pun telah menempuh mata pelajaran IPA di bangku sekolah bahwa lingkungan harus dipelihara untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Karena proses pendidikan sekadar mengejar perolehan angka kuantitatif, mata pelajaran yang dipelajari di bangku sekolah melupakan pembentukan sikap dan perilaku. Dampaknya, perilaku-perilaku merusak dan tidak konstruktif bagi tatanan kehidupan begitu mengemuka.

Untuk itu, pendidikan harus diorientasikan (kembali) untuk menyeimbangkan pengembangan potensi peserta didik. Pendidikan agama di sekolah pun tidak akan mampu membentuk perilaku mulia peserta didik jika hanya berkutat pada menghafal dan menjawab soal-soal ujian. Dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas pun sudah ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah perlu menanamkan nilai-nilai, tidak sekadar melulu mengejar target angka kuantitatif.

Dalam melakukan hal itu, guru tentu saja memiliki peran menentukan. Kalau dilihat, pendidikan nasional sebenarnya tidak diarahkan sekadar penguasaan kecakapan intelektual. Dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dapat kita saksikan pengembangan potensi peserta didik menjadi tujuan dari pendidikan nasional. Pengembangan potensi itu diarahkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru berperan untuk mewujudkan pengembangan potensi itu (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6).

Disadari atau tidak, tugas penting dunia pendidikan nasional saat ini tidak sekadar memenangkan ajang olimpiade internasional dalam bidang ilmu pengetahuan. Tugas penting dunia pendidikan bukan sekadar memperbanyak lulusan bergelar sarjana dan doktor. Lebih dari itu, pendidikan nasional memiliki tugas besar melahirkan individu-individu manusia yang mampu menerima titah langit sebagai khalifah di muka bumi. Penyelenggaran pendidikan nasional harus melahirkan individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki daya jasmani, luas wawasan berpikirnya, mampu memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaaan, mampu memelihara waktunya untuk hal yang berguna, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.

Menjadi penting di sini adalah membingkai proses penyelenggaraan pendidikan dalam upaya mewujudkan kemampuan individu manusia untuk beribadah kepada Allah SWT. Setiap proses penyelenggaraan pendidikan diarahkan agar individu manusia mampu menghayati tugas utamanya di muka bumi. Ilmu pengetahuan yang dipelajari diarahkan agar manusia dapat memakmurkan kehidupan, bukan malah berbuat kerusakan. Potensi akal, hati, dan jasad harus dikembangkan menuju pada kebaikan sehingga individu-individu manusia yang lahir dari proses pendidikan dapat membangun peradaban Indonesia yang adiluhung dan bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=75228

0 komentar: