Pilpres Buruk Jika Pelanggaran Dilupakan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Kritis Mengawal Hasil Pilpres" Harian Seputar Indonesia,Jum'at 17 Juli 2009

SUKSESI kepemimpinan nasional telah dilakukan di negeri ini lewat mekanisme prosedural pemilihan umum setiap lima tahun. Dari hasil penghitungan suara versi quick count dapat terlihat salah satu pasangan unggul mutlak dibandingkan dua pasangan lainnya. Sejak proses Pilpres dari deklarasi pasangan, kampanye, dan pemungutan suara, masyarakat telah menjadi saksi sejarah pelaksanaan Pilpres untuk menghadirkan pemimpin nasional lima tahun mendatang.

Dengan melihat hasil penghitungan suara versi quick count, kita memang bisa memastikan siapa pemenang Pilpres 2009. Namun demikian, Pilpres belumlah selesai. Aturan perundang-undangan menyebutkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki hak otoritatif mengumumkan hasil penghitungan suara secara resmi dan menetapkan presiden-wakil presiden terpilih. Maka, siapa pun perlu menunggu seperti apa perolehan suara masing-masing pasangan presiden-wakil presiden yang diumumkan KPU.

Pada titik ini, kita seyogianya bisa berpikir jernih. Ada beberapa koreksi yang layak diajukan ketika sebagian media massa justru berani membuat pernyataan presiden terpilih. Apa yang dilakukan media massa itu memang tidaklah salah, namun menunjukkan ketidakpatuhan pada mekanisme yang berlaku. Bahkan, pada hari pemungutan suara telah terjadi pelanggaran aturan ketika hasil quick count ditayang sebelum pemungutan suara selesai. Anehnya, tidak seluruh media massa terutama televisi meminta maaf terkait apa yang telah dilakukan. Media massa seakan-akan merasa hebat dan paling benar meskipun harus menabrak aturan. Hal ini bukan berarti tidak menghargai hasil quick count, namun mengajak siapa pun untuk taat pada aturan. Kecurangan dan pelanggaran juga dapat terlihat saat hari pemungutan suara di berbagai tempat.

Diakui atau tidak, kecenderungan mengabaikan setiap kecurangan dan pelanggaran memang begitu kentara. Siapa pun memang berhak mengapresiasi pelaksanaan Pilpres, namun janganlah melupakan setiap kecurangan dan pelanggaran yang terjadi. Kita seyogianya berpikir arif karena melihat kecurangan dan pelanggaran sebagai hal yang wajar merupakan sikap abai terhadap pembangunan karakter positif bangsa. Di kemudian hari, kecurangan dan pelanggaran bisa berjalan masif karena dianggap biasa tanpa penanganan secara hukum. Apapun hasil Pilpres, kita tidak bisa mengatakan hajatan Pilpres berjalan baik sebelum kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama Pilpres ditangani. Seberapa besar kuantitas dan kualitas kecurangan dan pelanggaran, bangsa ini perlu dibelajarkan untuk hidup tertib, taat aturan, dan berkesadaran hukum! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

0 komentar: