Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Sabtu, 26 Januari 2013
Selama tahun ini,
jelang hajatan pemilihan umum 2014, hiruk-pikuk politik tak mungkin
terhindarkan. Untuk menuju kekuasaan, partai politik yang lolos verifikasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipastikan kian kencang menabuh genderang. Partai
Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia
Raya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan,
dan Partai Hati Nurani Rakyat bersiap merebut hati rakyat.
Sejak kini, meskipun
masa kampanye akan berlangsung tahun depan, rakyat perlu mengawal dan mengawasi
sepak terjang partai politik itu. Kepercayaan rakyat terhadap partai politik yang
cenderung menurun bisa menjadi energi positif untuk lebih hati-hati dan waspada.
Rakyat perlu bersikap kritis terhadap calon legislatif yang akan ditentukan
partai politik sebagai anggota DPR dan DPRD masa bakti 2014-2019. Pemilihan
umum adalah pintu gerbang melahirkan sosok-sosok berintegritas dan memiliki
kemampuan mumpuni untuk menjalankan lembaga legislatif. Mereka yang terpilih
akan menentukan nasib rakyat dan juga nasib bangsa dan negara ini. Maka, agar kinerja
lembaga legislatif dapat berjalan baik, rakyat bertanggung jawab untuk menolak
dan melawan politisi busuk.
Sebagaimana diketahui,
istilah politisi busuk pernah mengemuka pada pemilihan umum 2004. Harapannya,
politisi-politisi yang dinilai busuk tak menembus lingkaran kekuasaan. Namun
apa daya, politisi-politisi busuk masih saja bergentanyangan. Pemilihan umum
2009 pun menghasilkan beberapa politisi busuk yang menggerogoti uang negara.
Merujuk pada riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada
semester II tahun 2012, ada sekitar 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak
pidana korupsi. Bisa dibayangkan betapa merananya rakyat negeri ini apabila
wakilnya di lembaga legislatif lebih dari separuhnya berbuat korupsi.
Perbuatan negatif
politisi memang bisa menguatkan stigma bahwa politik itu kotor. Namun, pada
hakikatnya, politik itu bersifat netral. Para pelaku politiklah yang membuat
wajah politik itu bersih atau kotor. Rakyat tak mungkin membenci politik
meskipun politik kerapkali dikendalikan politisi-politisi busuk sehingga
menjadikan rakyat penuh kenestapaan. Dalam karya klasik Republic-nya
Plato dan Politics-nya Aristoteles diterangkan bahwa politik itu sejatinya
agung, indah, dan mulia—sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah
masyarakat bermartabat dan berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang
berlandaskan hukum, norma dan aturan-aturan, sehingga terciptalah keadilan dan
kesejahteraan rakyat (Thomas Koten: 2013). Rakyat harus bersatu padu menolak
dan melawan politisi busuk agar politik bisa berjalan untuk membangun kemaslahatan
publik.
Lahirnya politisi busuk
lewat pemilihan umum 2014 sangat dimungkinkan. Salah satu indikasinya adalah
kecenderungan pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Politisi
yang kini berkuasa melakukan kongkalingkong
dengan pengusaha-pengusaha hitam agar memperoleh uang melimpah untuk bertarung
dalam pemilihan umum 2014. Hanya demi harta dan kuasa, izin pertambangan cenderung
dilakukan asal-asalan dan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup. Lembaga-lembaga
peduli lingkungan hidup tentu perlu membuka daftar politisi yang melakukan hal
tersebut agar rakyat bisa mengetahui secara lebih jelas.
Pada titik ini,
inisiatif sejumlah partai politik untuk mengumumkan daftar calon legislatif ke
publik sebelum resmi diserahkan ke KPU perlu diapresiasi. Transparansi partai
politik ini selayaknya bisa dimanfaatkan rakyat untuk melihat rekam jejak dan
integritas calon legislatif, baik yang berwajah lama maupun yang berwajah baru.
Dalam UU No. 8/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 51 Ayat 1
Huruf g diterangkan bahwa seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara karena
melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih bisa termasuk
calon legislatif bermasalah.
Kriteria politisi busuk
tentu cakupannya luas. Tak hanya penjahat lingkungan hidup dan koruptor, tetapi
juga pelanggar hak asasi manusia. Politisi yang kini berkuasa dan tak jelas
kinerjanya bagi rakyat juga termasuk politisi busuk. Politisi busuk hanya
menjadikan kekuasaan sebagai lahan mencari uang untuk kepentingan perutnya. Pungkasnya,
rakyat perlu memiliki kesadaran politik untuk memberi “tanda merah” pada politisi
busuk. Lembaga-lembaga nonpartai politik bisa menguatkan gerakan tolak politisi
busuk ini. Wallahu a’lam.