Menempa Perilaku Anak Usia Dini

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu 23 Desember 2012 
 
Judul Buku: Mendesain Perilaku Anak Sejak Dini Penulis: Nur Faizah Rahmah, S.Psi. Psi. Penerbit: Adi Citra Cemerlang, Solo Cetakan: I, 2012 Tebal: xiv+170 halaman ISBN: 978-602-19782-1-4

Buku ini mengajak kita membentuk perilaku anak-anak kita sejak dini agar menjadi pribadi yang positif, baik, dan mulia. Sebab, usia dini memang usia emas (golden age) yang menentukan arah dan kualitas hidup manusia selanjutnya.
 
Ditegaskan penulis buku, pengalaman indah, positif, dan bermanfaat perlu diperoleh anak-anak dalam usia prasekolah. Mereka sedang dalam masa peka untuk belajar; mulai dari bergaul, berbahasa, berdisiplin, dan masih banyak lagi. Persoalannya, masih banyak dari kita yang keliru dalam mempersepsi kebutuhan dan kemampuan mereka, sehingga mengakibatkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang optimal dan maksimal. Kalau kita perhatikan, anak usia prasekolah memiliki perilaku khas, seperti egosentrisme, banyak bicara, ingin bermain melulu, ekspresif dan spontan, rasa ingin tahunya besar, dan kaya imajinasi. Mereka berkeinginan untuk belajar berempati dan memecahkan masalah. Menurut penulis buku, mengetahui perilaku khas itu penting dilakukan agar kita bisa mengarahkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak (halaman 21-29).
 
Dalam masa prasekolah, perilaku buruk anak juga muncul. Dijelaskan penulis buku, perilaku buruk pada anak usia prasekolah menuntut kita memahami situasi yang dihadapi anak. Sebut saja perilaku buruk tantrum atau temper tantrum, yakni luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Manifestasi tantrum beragam, dari merengek dan menangis saja, menjerit-jerit, mengguling-gulingkan badan di lantai, menendang, memukul, mencakar, dan sebagainya. Tantrum kerapkali muncul pada anak usia 2 tahun sampai 3 tahun, atau lebih cepat lagi pada usia 16 bulan. Biasanya tantrum menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 4 tahun. Menyaksikan itu, kita hendaknya tidak menggunakan kekerasan secara fisik maupun psikis untuk mengatasinya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak di kemudian hari.
 
Terkait tantrum, kita perlu memahami bahwa emosi merupakan hal yang lumrah. Anak justru harus diberi kesempatan menghayati dan merasakan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahannya. Kita hanya berperan mendampingi, memeluk (jika dibutuhkan), dan menyatakan pengertian kita atas perasaan yang sedang dialami anak tanpa memberikan intervensi apalagi berusaha menghentikan emosi tersebut. Intervensi dilakukan bila tantrum telanjur muncul dalam perilaku yang membahayakan dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Kunci mengatasinya dengan komunikasi yang positif. Meskipun dalam situasi tantrum, anak sebenarnya dapat diajak bicara apabila telah tenang emosinya. Tantrum protes, tantrum sosial, tantrum merengek, dan tantrum tidak kooperatif dari anak perlu dihadapi secara bijak (halaman 81-88).
 
Selain tantrum, perilaku buruk lainnya yang perlu dipahami adalah cekcok dan bertengkar, berbohong, mencuri, berkata kasar dan jorok, membangkang dan membantah, menjadi penakut, mempunyai sahabat khayalan, senang memegang alat kelamin, dan memiliki kebiasaan tertentu yang kurang baik. Lewat buku ini, kita diajak agar bisa bijak mengatasinya. Kita perlu “bersahabat” dengan perilaku buruk anak prasekolah. Kata-kata larangan, memojokkan anak atau dengan kekerasan bukanlah solusi, tetapi malah melanggengkan perilaku buruk itu di kemudian hari. Ketidakjujuran, tawuran, kriminalitas, dan kasus negatif di sekitar kita bisa disebabkan ketidakberhasilan kita mengatasi perilaku buruk yang muncul pada anak usia prasekolah.(HENDRA SUGIANTORO).

0 komentar: