Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 26 Desember 2012
Tidak seluruh masyarakat di negeri ini bisa merasakan jenjang pendidikan tinggi. Kemampuan dan kemauan memang dibutuhkan untuk mengambil pilihan menempuh bangku kuliah. Dengan lulus dari jenjang pendidikan tinggi, ada harapan untuk menghadapi hari depan yang lebih baik. Kini menyandang gelar sarjana seolah-olah merupakan keniscayaan demi menjalani profesi. Wartawan, misalnya, mensyaratkan minimal lulusan S1. Tak terkecuali bagi guru yang mengajar di sekolah. Jenjang pendidikan juga bisa menentukan pemerolehan gaji dalam dunia pekerjaan formal.
Setiap tahun, pekerjaan formal memang menanti ribuan lulusan jenjang pendidikan tinggi. Lowongan pekerjaan setiap saat senantiasa dipublikasikan di media cetak, media elektronik maupun cyberjournalism. Namun, harapan untuk menjalani pekerjaan formal tak selalu berujung manis. Ada lulusan jenjang pendidikan tinggi yang terpontang-panting menembus dunia pekerjaan formal. Muncullah istilah pengangguran sarjana atau pengangguran intelektual. Berbagai opini pun menguak sebab-musabab terjadinya pengangguran di kalangan sarjana. Kewirausahaan, misalnya, menjadi salah satu solusi agar lulusan jenjang pendidikan tinggi tak semata mencari pekerjaan (job seeker), tetapi memiliki orientasi menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).
Apabila berpikir jernih, pekerjaan itu selalu ada. Pengangguran bisa terjadi di antaranya karena paradigma yang memandang pekerjaan sekadar pada ranah formal. Malah ada lulusan pendidikan tinggi yang enggan bekerja sesuai disiplin keilmuannya, padahal mampu melakukan pekerjaan itu. Dalam hal ini, ada yang menggelitik penulis, mengapa lulusan pendidikan tinggi tidak diberdayakan untuk membangun kampung? Disadari atau tidak, sebenarnya begitu banyak yang harus dikerjakan dalam upaya membangun masyarakat. Potensi lulusan pendidikan tinggi dengan kompetensinya merupakan aset berharga yang perlu diberdayakan agar bisa memberikan dampak positif.
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 26 Desember 2012
Tidak seluruh masyarakat di negeri ini bisa merasakan jenjang pendidikan tinggi. Kemampuan dan kemauan memang dibutuhkan untuk mengambil pilihan menempuh bangku kuliah. Dengan lulus dari jenjang pendidikan tinggi, ada harapan untuk menghadapi hari depan yang lebih baik. Kini menyandang gelar sarjana seolah-olah merupakan keniscayaan demi menjalani profesi. Wartawan, misalnya, mensyaratkan minimal lulusan S1. Tak terkecuali bagi guru yang mengajar di sekolah. Jenjang pendidikan juga bisa menentukan pemerolehan gaji dalam dunia pekerjaan formal.
Setiap tahun, pekerjaan formal memang menanti ribuan lulusan jenjang pendidikan tinggi. Lowongan pekerjaan setiap saat senantiasa dipublikasikan di media cetak, media elektronik maupun cyberjournalism. Namun, harapan untuk menjalani pekerjaan formal tak selalu berujung manis. Ada lulusan jenjang pendidikan tinggi yang terpontang-panting menembus dunia pekerjaan formal. Muncullah istilah pengangguran sarjana atau pengangguran intelektual. Berbagai opini pun menguak sebab-musabab terjadinya pengangguran di kalangan sarjana. Kewirausahaan, misalnya, menjadi salah satu solusi agar lulusan jenjang pendidikan tinggi tak semata mencari pekerjaan (job seeker), tetapi memiliki orientasi menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).
Apabila berpikir jernih, pekerjaan itu selalu ada. Pengangguran bisa terjadi di antaranya karena paradigma yang memandang pekerjaan sekadar pada ranah formal. Malah ada lulusan pendidikan tinggi yang enggan bekerja sesuai disiplin keilmuannya, padahal mampu melakukan pekerjaan itu. Dalam hal ini, ada yang menggelitik penulis, mengapa lulusan pendidikan tinggi tidak diberdayakan untuk membangun kampung? Disadari atau tidak, sebenarnya begitu banyak yang harus dikerjakan dalam upaya membangun masyarakat. Potensi lulusan pendidikan tinggi dengan kompetensinya merupakan aset berharga yang perlu diberdayakan agar bisa memberikan dampak positif.
Untuk
memberdayakan sarjana itu, pengorganisasian dari pihak kelurahan niscaya
diperlukan. Pihak kecamatan bisa saja melakukan hal ini, namun jangkauannya terlalu
luas dalam urusan manajemen kampung. Hal pertama perlu dilakukan adalah mendata
lulusan pendidikan tinggi di setiap kampung, baik yang telah memiliki pekerjaan
formal maupun yang masih dalam tahap pencarian profesi. Tidak kalah penting,
peta permasalahan di setiap kampung perlu dirumuskan. Permasalahan yang
dijumpai di setiap kampung bisa serupa dan bisa saja berbeda. Dalam geraknya, sarjana-sarjana
disatupadukan. Dalam menyusun program kerja, sarjana-sarjana diikutsertakan.
Para pakar juga dilibatkan untuk mendiskusikan permasalahan kampung dan mencari
alternatif solusi pemecahannya. Sarjana-sarjana bekerja lintas kampung dalam
satu kelurahan; menyapa masyarakat di setiap kampung untuk memberikan pendidikan,
penyadaran, pencerahan, dan apapun yang dibutuhkan masyarakat. Jika diperlukan,
sarjana bisa saja bergerak lintas kelurahan.
Dalam pandang penulis, alangkah menakjubkan apabila sarjana-sarjana bisa digerakkan dan diberdayakan untuk membangun kampung. Sarjana-sarjana yang terorganisasi itu pastinya bisa memberikan kontribusi positif. Program kerja yang digulirkan bisa beraneka macam. Terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai petani, penyuluhan pertanian dan pendampingan dalam usaha bercocok tanam bisa dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana pertanian. Sarjana psikologi bisa diarahkan untuk menyapa masyarakat kampung dalam mengatasi problematika kehidupannya. Di tengah laju kehidupan ini, permasalahan yang menghinggapi manusia sangat beragam. Sarjana psikologi bisa turut membangun aspek kejiwaan masyarakat.
Begitu pula dengan sarjana hukum yang bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait hukum. Tak dimungkiri apabila masih ada masyarakat yang buta terhadap hukum dan perundang-undangan. Sarjana kesehatan bisa turut memberikan kesadaran hidup sehat atau menangani persoalan kesehatan di tengah masyarakat. Sarjana pendidikan bisa memberikan pendidikan kepada masyarakat secara nonformal. Tak terkecuali dengan sarjana-sarjana lainnya yang perlu juga menyapa dan membangun kehidupan masyarakat di kampung. Dalam program kerja tertentu, sarjana yang bergerak bisa dari beragam disiplin ilmu sesuai dengan peta permasalahannya.
Upaya memberdayakan sarjana membangun kampung tentu saja tidak terlepas dari tersedianya dana. Pemerintah daerah bisa memberikan anggaran dana kepada setiap kelurahan terkait hal tersebut. Perusahaan-perusahaan maupun pihak swasta bisa diajak untuk menegakkan tanggung jawab sosialnya. Bahkan, dana bisa didapatkan dari iuran warga di setiap kampung. Harapannya, program kerja yang digulirkan bisa berjalan berkesinambungan. Sistem penggajian bagi sarjana yang membangun kampung perlu juga dirumuskan. Sarjana memang bisa bekerja dengan dalih pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, sarjana juga memiliki tuntutan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pungkasnya, potensi lulusan jenjang pendidikan tinggi perlu diberdayakan. Masih begitu banyak permasalahan di tengah masyarakat yang selayaknya menggugah para sarjana untuk aktif memberikan kontribusi. Dengan membangun kampung, para sarjana dengan sendirinya ikut menopang pembangunan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.
Dalam pandang penulis, alangkah menakjubkan apabila sarjana-sarjana bisa digerakkan dan diberdayakan untuk membangun kampung. Sarjana-sarjana yang terorganisasi itu pastinya bisa memberikan kontribusi positif. Program kerja yang digulirkan bisa beraneka macam. Terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai petani, penyuluhan pertanian dan pendampingan dalam usaha bercocok tanam bisa dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana pertanian. Sarjana psikologi bisa diarahkan untuk menyapa masyarakat kampung dalam mengatasi problematika kehidupannya. Di tengah laju kehidupan ini, permasalahan yang menghinggapi manusia sangat beragam. Sarjana psikologi bisa turut membangun aspek kejiwaan masyarakat.
Begitu pula dengan sarjana hukum yang bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait hukum. Tak dimungkiri apabila masih ada masyarakat yang buta terhadap hukum dan perundang-undangan. Sarjana kesehatan bisa turut memberikan kesadaran hidup sehat atau menangani persoalan kesehatan di tengah masyarakat. Sarjana pendidikan bisa memberikan pendidikan kepada masyarakat secara nonformal. Tak terkecuali dengan sarjana-sarjana lainnya yang perlu juga menyapa dan membangun kehidupan masyarakat di kampung. Dalam program kerja tertentu, sarjana yang bergerak bisa dari beragam disiplin ilmu sesuai dengan peta permasalahannya.
Upaya memberdayakan sarjana membangun kampung tentu saja tidak terlepas dari tersedianya dana. Pemerintah daerah bisa memberikan anggaran dana kepada setiap kelurahan terkait hal tersebut. Perusahaan-perusahaan maupun pihak swasta bisa diajak untuk menegakkan tanggung jawab sosialnya. Bahkan, dana bisa didapatkan dari iuran warga di setiap kampung. Harapannya, program kerja yang digulirkan bisa berjalan berkesinambungan. Sistem penggajian bagi sarjana yang membangun kampung perlu juga dirumuskan. Sarjana memang bisa bekerja dengan dalih pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, sarjana juga memiliki tuntutan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pungkasnya, potensi lulusan jenjang pendidikan tinggi perlu diberdayakan. Masih begitu banyak permasalahan di tengah masyarakat yang selayaknya menggugah para sarjana untuk aktif memberikan kontribusi. Dengan membangun kampung, para sarjana dengan sendirinya ikut menopang pembangunan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar