Galakkan Kampanye Intelektual

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa HARIAN JOGJA, Selasa 20 September 2011

Kampanye pemilihan walikota-wakil walikota Jogja terus menggeliat. Hampir dapat dipastikan apabila Zuhrif Hudaya-Aulia Reza, Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji, dan Haryadi Suyuti-Imam Priyono sebagai tiga pasangan calon berkehendak menduduki kursi puncak pemerintahan kota Jogja. Masing-masing pasangan calon mengklaim visi dan misinya paling tepat membawa Jogja lebih baik lima tahun mendatang.

Untuk dapat terpilih, tiga pasangan calon tersebut pastinya akan berupaya maksimal menggaet massa pemilih. Tak hanya memajang gambar dan propaganda di ruang publik, beragam metode kampanye lainnya juga dilancarkan. Blusukan kampung dilakukan agar dapat dekat dengan masyarakat. Dengan alasan serupa, beragam kegiatan sosial dijadikan siasat tersendiri. Tak bisa dimungkiri jika persoalan kesejahteraan merupakan isu sensitif, maka pasangan calon tak lupa mewacanakan program kesejahteraan di tengah masyarakat.

Pertanyaannya, benarkah kampanye yang dilakukan itu mampu memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat? Benarkah yang disuarakan oleh masing-masing pasangan calon saat kampanye akan ditepati ketika kekuasaan tergenggam? Jawabannya tentu tak mudah. Dalam hal ini, masyarakat pemilih dituntut kritis dan tak begitu saja terpikat oleh bujuk rayu para pasangan calon. Tak mungkin bagi pasangan calon mengkampanyekan dirinya negatif. Siapa pun pasangan calon tentu akan mencitrakan diri layak dipilih.

Jika berpikir jernih, upaya mewujudkan Jogja lebih baik memang harus dilakukan siapa pun yang kelak memimpin kota ini. Masing-masing pasangan calon harus menyadari bahwa menyejahterakan kehidupan warga Jogja adalah tugas dan kewajibannya. Memajukan bidang pendidikan dan kesehatan maupun bidang lainnya tak bisa ditawar lagi harus menjadi agenda pemerintahan ke depan.

Maka, adu visi, misi, konsep, dan stategi membangun kota Jogja ke depan menjadi keniscayaan. Kampanye dengan mengedepankan laku intelektual perlu digalakkan. Kampanye model ini tak hanya debat antar-pasangan calon yang kerapkali sekadar ingin saling menjatuhkan. Ada baiknya diadakan diskusi atau seminar secara terbuka di depan publik dengan menghadirkan para ahli dari pelbagai bidang. Para ahli seperti pakar pendidikan, pakar kesehatan, budayawan, pakar ekonomi, ahli tata kota, dan ahli lainnya meninjau dan mengkritisi visi, misi, konsep, dan strategi masing-masing pasangan calon. Pasangan calon tentu tak bisa berdalih tak menguasai segenap bidang, karena sebagai pemimpin semestinya memiliki kapasitas dan kecerdasan yang mumpuni. Bukankah walikota-wakil walikota memimpin sebuah pemerintahan kota dengan berbagai bidang yang harus digarap?

Di sisi lain, pasangan calon diharapkan bisa menjabarkan visi, misi, konsep, dan strategi mengelola dan membangun kota Jogja secara lebih rinci dan jelas lewat tulisan. Tak ada salahnya apabila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bekerja sama dengan pihak media massa untuk memberi ruang mempublikasikan tulisan dari masing-masing pasangan calon.

Kampanye dengan laku intelektual tentu lebih mencerdaskan. Masyarakat Jogja bisa mengetahui penguasaan konsep dan strategi membangun dan mengelola kota Jogja dari calon pemimpinnya. Keruntutan berpikir dalam memaparkan persoalan dan solusi pemecahannya bisa dibaca dan disaksikan. Hal ini berbeda dengan kampanye oral yang kerapkali hanya meninabobokan masyarakat lewat kefasihan bermulut manis. Namun, kampanye secara intelektual tampaknya masih menjadi idaman. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pembelajar di UPY Yogyakarta

0 komentar: