Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at 9 September 2011
Negeri ini memiliki dasar negara Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara tentu melewati ideologisasi. Proses ideologisasi merupakan ikhtiar lumrah menanamkan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa. Pancasila pun dihindarkan dari pengkultusan tokoh ketika Bung Karno berseru dalam orasinya pada 24 September 1955, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia.”
Apa yang dituturkan Bung Karno itu memang mengundang tafsir. Dalam rentang waktu kapankah penggalian Pancasila dalam bumi bangsa Indonesia? Entah apa maksud Bung Karno, Bung Karno menegaskan bahwa beliau bukan pencipta Pancasila, tetapi bangsa Indonesia. Dengan mengacu ungkapan Bung Karno, muncullah pertanyaan, apakah bangsa Indonesia yang menciptakan Pancasila telah benar-benar menjadikan Pancasila “hidup” dalam laju kehidupan bangsa?
Dalam perjalanan panjang negeri ini, Pancasila mengalami dinamika, bahkan tragedi. Pancasila dikatakan dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk. Di sisi lain, Pancasila menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni. Di masa lalu, istilah anti-Pancasila kerap terdengar untuk menyebut sosok atau sekelompok masyarakat yang beroposisi kritis terhadap kekuasaan. Tentu masih teringat dalam memori kolektif bangsa, di mana kekuasaan Orde Baru menetapkan adanya Hari Kesaktian Pancasila. Terkait istilah itu, alam bawah sadar bangsa bisa saja mempertanyakan “Pancasila Kok Sakti?”.
Bagaimana pun, Pancasila bukan nyawa bergerak. Justru manusialah yang menggerakkan Pancasila agar memiliki makna dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pada titik ini, manusia yang dimaksud lebih ditekankan kepada penguasa (baca: para penyelenggara negara). Dengan lima silanya, Pancasila perlu dilaksanakan para penyelenggara negara secara murni dan konsekuen—meminjam bahasa Orde Baru. Apakah Pancasila telah dilaksanakan secara murni dan konsekuen?
Ada kecenderungan Pancasila justru menggugat penguasa. Fakta kehidupan bisa menjadi bukti. Keadilan sosial, misalnya, masih jauh dari harapan ketika klaim pertumbuhan ekonomi ternyata tak merata, sehingga kesenjangan sosial tetap menganga. Keuangan Yang Maha Esa (bukan Ketuhanan Yang Maha Esa) menjadi paradigma, sehingga lebih mengabdi pada harta dan tahta. Para penyelenggara negara menciptakan dunianya sendiri untuk sekadar memenuhi kepentingan pragmatisnya. Menjadi penyelenggara negara bertindak tidak mengorientasikan kemaslahatan bangsa sebagai tujuan utama. Negeri yang dihuni berjuta penduduk ini seolah-olah malah telah dijadikan “kerajaan” di mana masyarakat dipaksa sebagai pelayannya. Negeri Indonesia seolah-olah bukan milik bersama, tapi hanya milik segelintir elite yang menggunakan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan demi kemakmuran orang-orang yang berada dalam lingkarannya
Sederet fakta miris kondisi kehidupan bangsa tentu bukan amunisi kritik terhadap Pancasila. Pancasila tidak perlu dikritik. Dalam hal ini, aktualisasi Pancasila perlu dilakukan. Pancasila perlu diaktualkan dalam kehidupan bangsa. Dikatakan Kuntowijoyo (1997), Pancasila sebagai ideologi dituntut tetap pada jati dirinya, baik ke dalam (intrinsik) maupun keluar (ekstrinsik). Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal secara eksternal. Secara intrinsik, Pancasila harus konsisten, koheren, dan koresponden. Pertama, konsisten (bahasa Latinnya consistere, berarti “berdiri bersama”), artinya “sesuai”, “harmoni”, atau “hubungan logis”. Satu sila harus merupakan kesatuan yang padu. Misalnya sila pertama memiliki hubungan logis dengan Pasal 29 UUD 1945, sila kedua dengan kemerdekaan, sila ketiga dengan Pasal 18 (Pemerintahan Daerah), sila keempat dengan Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD 1945, dan sila kelima dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945.
Kedua, koheren (bahasa Latinnya cohaerere, berarti “lekat satu dengan lainnya”), artinya satu sila harus terkait dengan dengan sila lainnya, tidak berdiri sendiri-sendiri. Sila kedua tidak terlepas dari sila pertama, sila ketiga, keempat, dan kelima, dan seterusnya. Memilih salah satu dari kelima sila dan meninggalkan sila yang lain adalah inkoherensi. Ketiga, koresponden (bahasa Latinnya com berarti “bersama”, respondere berarti “menjawab”), artinya kesesuaian antara praktik dengan teori, kenyataan dengan ideologi. Pancasila dengan lima sila harus dapat terlihat dalam praktik kehidupan bangsa. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus dioperasionalisasikan dalam kehidupan nyata (Kuntowijoyo, 1997).
Dalam hal ini, penyelenggara negara memiliki kepentingan mengaktualisasikan Pancasila. Pancasila harus dibaca sebagai kalimat aktif agar efektif, bukan sebagai frase yang netral. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibaca sebagai “Memahaesakan Tuhan”, dan seterusnya (Kuntowijoyo, 1997). Itu artinya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dibaca sebagai “Memanusiakan manusia di bumi Indonesia ini secara adil dan beradab”, Keadilan Sosial Bagi Seliruh Rakyat Indonesia harus dibaca “Menegakkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Tanpa Terkecuali!”.
Di sisi lain, Pancasila dengan lima sila tentu menjadi kerangka dari batang tubuh UUD 1945. Amandemen UUD 1945 selama empat kali di era reformasi harapannya memang mengacu pada Pancasila. Lima sila dalam Pancasila membingkai batang tubuh UUD 1945 yang mendasari perumusan segala undang-undang dan peraturan lainnya di bawahnya. Pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai penyelenggara negara harus benar-benar memperhatikan kelima sila Pancasila. Pertanyaannya, apakah para penyelenggara telah menempatkan Pancasila dalam proses menyelenggarakan negara dengan berjuta-juta penduduk ini? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar